Part 6 - Move On

15.3K 1.4K 84
                                    

Setelah meeting tadi siang, Vania harus berkali-kali sebisa mungkin mengontrol diri agar wajahnya tidak tiba-tiba terlihat memerah atau pura-pura tidak mendengar Kendra yang sedari tadi sibuk menggodanya. Kendra tampaknya sangat bersemangat menjodohkan Rico dengan dirinya. Vania sampai geleng-geleng kepala. Semenyedihkan itukah wajahnya yang baru putus cinta sehingga harus dicomblangi segala?

"Ini reportnya, udah gue copy tiga rangkap." Vania meletakkan laporan bulanan ke atas meja Kendra.

"Thanks, Van. Oh ya, Van."

"Apa?" Vania kembali membalikkan badan.

Duh. Kayaknya Kendra mau godain gue lagi nih.

"Duduk dulu kenapa," Kendra berkata sambil tertawa.

"Gue masih mau ngerjain yang lain," Vania mencoba berkilah.

Ia sudah capek sedari tadi Kendra tak berhenti menggodanya. Tetapi ia juga tahu, menghindari Kendra ibarat menegakkan benang basah, mustahil.

Kendra sudah seperti emak-emak yang rempong karena anak gadisnya ketahuan naksir anak bujang tetangga depan rumah, pikir Vania.

"Besok juga masih ada waktu kok. Duduk sini aja dulu," Kendra kembali merayu.

Sarap bos yang satu ini, batin Vania. Atasan yang lain mintanya kerjaan diberesin cepet-cepet. Nah yang satu ini, malah mentingin ngerumpiin gebetan daripada selesaiin kerjaan. Eh bentar, gebetan? Gebetan siapa nih? Gebetan gue? Astaga!

Vania mendecak tanpa sadar. Ia jadi malu sendiri dengan apa yang baru saja dipikirkannya. Sejak kapan ia menobatkan Rico sebagai gebetannya.

"Kenapa Van? Kok muka lo mendadak merah gitu?" selidik Kendra.

"Nggak apa-apa. Cepetan lo mau ngomongin apa?"

"Duduk sini dulu," kembali Kendra membujuk Vania.

Akhirnya Vania mengalah.

"Nih, ada permen sama cemilan. Lo makan aja mau yang mana."

Kendra meletakkan toples-toples cantik dengan pita warna-warni berisi permen, biskuit coklat, kacang bawang, dan keripik kentang di hadapan Vania lalu membuka tutupnya satu persatu.

"Banyak amat," komentar Vania.

"Iya, gue kalau kerja harus sambil ngunyah," sahut Kendra sambil tertawa. "Nih, cobain biskuitnya. Biskuit coklat ini bikinan nyokap gue, lho."

"Ntar habis lho sama gue."

"Habisin aja, nggak apa-apa. Kalau habis 'kan tinggal gue bawa lagi dari rumah."

"Lo mau ngomongin apa sih?" tanya Vania seraya mengambil sepotong biskuit lalu menggigitnya.

Kendra malah tertawa. Ia lalu mencodongkan badan ke arah Vania yang duduk di hadapannya, kemudian berkata, "Tadi sama Rico ngobrolin apa aja? Ceritain napa, dari tadi gue tanyain ngindar mulu."

Tuh 'kan. Tebakan gue bener. Apa sampai jam pulang kantor nanti gue kudu nebelin telinga dari cecaran Kendra?

"Nggak ngobrolin apa-apa. Emang kudu ngobrolin apa?" Vania berusaha menyembunyikan kegugupannya dan detak jantungnya yang seolah tiba-tiba berdetak seribu kali lebih cepat.

"Ya... Sia-sia dong gue maksa-maksa si Andre supaya ikut gue ke pantry. Padahal itu 'kan emang sengaja, supaya lo sama Rico bisa ngobrol berdua." Kendra memasang raut wajah kecewa.

"Jadi yang tadi itu beneran sengaja? Lo emang sengaja ninggalin gue sama Rico?"

"Ya iya lha. Kalau nggak, ngapain juga gue mau narik-narik tangan si cowok geje bernama Andre, terus maksa-maksa dia nemenin gue. Belum lagi kami ribut di pantry gara-gara gue nggak bikinin dia es teh. Itu semua 'kan demi kalian berdua. Emang demi siapa?" Kendra semakin menekuk wajahnya, membuat Vania tiba-tiba merasa bersalah.

Senandung Cinta VaniaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang