"Ee aqua yang dingin yang dingin e, mijon (mizone) e mijon", teriak salah seorang pedagang asongan ketika aku baru saja duduk dikursi penumpang. Kemudian menyusul dibelakangnya penjual sate kerang berteriak, "Sate kerang selak gak uman (sate kerang keburu nggak kebagian). Sate kerang selak gak uman (sate kerang keburu nggak kebagian)". Ada lagi penjual minuman dari arah gerbong belakang menuju ke gerbong depan sambil membawa kotak dengan tali yang dilingkarkan dilehernya sambil berteriak dengan cengkok dangdut, "Hemaviton jre..eeng, kratingdeng. Hemaviton jre..eeng, kratingdeng". Mendengar semua ocehan itu aku tersenyum dan sedikit heran.
"Yah gini kondisi di kereta. Udah kayak pasar", kata Tita sambil tersenyum sepertinya dia menangkap mimik keheranan wajahku.
Ini adalah kali pertama aku naik kereta, sempat kaget karena suasana dalam kereta benar-benar ramai seperti pasar. Tak pernah terbayangkan sama sekali kalau suasananya akan seramai ini. Hari itu aku berangkat dari rumah ke Malang untuk mengikuti tes SNMPTN tulis. Aku menumpang tinggal dikos kakak temanku. Ditengah perjalanan Tita mabuk berat hingga badannya lemas. Untungnya kami dijemput begitu sampai distasiun.
Esok paginya kakak Tita, mbak Ifa begitu aku memanggilnya, menawarkan pada kami mau berangkat ke UB (Universitas Brawijaya) sendiri apa diantar? Karena kebetulan kami sama-sama tes di Universitas Brawijaya. Karena aku tidak ingin merepotkan mbak Ifa lagi, akhirnya aku dan Tita memutuskan untuk berangkat sendiri dengan bekal peta buta terminal arjosari dan mengingat kode angkot yang harus kami naiki.
"Inget ya keluar kos langsung cari angkot LA. Bilang supirnya turun dipojok jalan terus sedikit nanti kalian ketemu banyak angkot. Habis itu kalian naik angkot AL bilang aja turun UB pak. Terus nanti kalo pulang cari angkot AL bilang bapaknya turun di fly over habis itu kalian nyebrang terus naik angkot LA lagi!!", jelasnya panjang lebar sambil memberikan secarik kertas bergambar denah lokasi terminal arjosari.
"Ya mbak", jawabku dan Tita hampir bersamaan.
"Oh iya inget jangan pasang muka kayak orang nggak tau jalan walaupun kalian sebenernya nggak tau jalan biar nggak ditipu sama sopirnya nanti kalian ditarik ongkos mahal. Maklum sopir disini banyak yang curang. Ngerti kan?", nasihatnya.
"Iya mbak", jawabku dan Tita hampir bersamaan lagi. Sejenak mbak Ifa diam sambil memandangi kami bergantian.
"Tapi kok aku nggak yakin ya sama kalian!! Bener nih nggak mau dianter?", tanya mbak Ifa.
"Alah mbak tenang aja wes nanti kalo ada apa-apa kan bisa telfon", ujar Tita meyakinkan.
"Ya sudah mbak berangkat dulu ya. Ati-ati nanti dijalan!", pamit mbak Ifa yang saat itu akan berangkat mengajar. Sekilas tentang mbak Ifa, dia adalah seorang guru yang mengajar di salah satu SMKN di Malang.
Setelah mandi, makan dan menyiapkan semua yang nantinya akan dibutuhkan, kami pun berjalan keluar kos dan siap-siap memberhentikan angkot LA. Tidak butuh waktu yang lama untuk mendapatkan angkot LA karena begitu banyak angkot LA yang lewat.
"Pojok pak", ujar Tita seperti instruksi mbak Ifa yang menyuruh kami untuk turun dipojok terminal begitu kami melewati pintu keluar bis terminal arjosari.
"Pojok sini apa sana mbak?", tanya supir sambil menunjuk kearah depan.
"Waduh pojok mana Tit?", tanyaku pada Tita.
"Sini aja pak", kata Tita setelah menggelengkan kepala padaku.
Akhirnya kami naik angkot AL setelah sempat nyasar sebelumnya kerena ternyata kami berhenti dipojok terminal yang salah. Kami minta diturunkan dipojok terminal setelah melewati pintu keluar bis terminal arjosari, seharusnya kami turun dipojok terminal setelah melewati pintu masuk terminal arjosari. Pantas saja kami tidak menjumpai angkot setelah kami turun dan berjalan lurus dari tempat kami berhenti. Gumamku dalam hati.
