Tadi para tamu muda yang bersenda gurau saling bicara tentang sikap sepasang pengantin itu dengan bermacam-macam dugaan yang lucu-lucu.
Ada yang bilang betapa pengantin wanita dengan malu-malu menolak pendekatan pengantin pria, ada yang bilang pengantin wanita mengajak bergelut lebih dulu sebelum menyerah, dan masih banyak macam lagi. Sepantasnya pada saat seperti itu sepasang pengantin tentu setidaknya sedang berpelukan mesra.
Akan tetapi ketika mereka memandang ke atas pemharingan tampak darah berlepotan dan tubuh pengantin wanita dengan pakaian masih lengkap rebah terlentang tak bernyawa. Pengantin wanita yang cantik dan muda belia itu mati di atas ranjang pengantin, menggeletak di atas gelimangan darahnya sendiri, sedangkan pengantin pria tidak nampak bayangannya lagi di dalam kamar itu.
Jendela kamar masih tertutup rapat, akan tetapi langit-langit kamar itu robek lebar berikut gentengnya yang terbuka.
Jerit tangis terdengar memenuhi malam sunyi, tawa gembira seketika berubah menjadi tangis duka. Perayaan pesta pora berubah menjadi perkabungan yang menyedihkan.
Para tamu segera pulang tanpa pamit, nama Dewi Suling dibisikkan oleh bibir dan hati penuh rasa takut.
Apakah yang sebenarnya telah terjadi di dalam kamar pengantin itu? Kedua orang muda yang baru sekali itu mengalami tidur sekamar dengan seorang lawan jenis menjadi jengah dan malu. Ketika para sanak dan kerabat, seperti sudah menjadi kebiasaan, mengantar pengantin pria memasuki kamar pengantin sambil menggoda dengan berbagai kata-kata kemudian menutup pintu kamar pengantin, suara ketawa mereka itu masih bergema dan terdengar dari dalam kamar pengantin.
Pengantin pria, pemuda she Bhok itu semenjak kecil hanya tekun membaca kitab mempelajari sastera.
Mimpipun belum pernah berdekatan dengan seorang wanita apalagi berduaan sekamar. Kini ia melangkah maju, langkah-langkah kecil dengan kedua kaki menggigil dan jantung berdebar seperti hampir pecah rasanya, pengantin wanita duduk di atas pembaringan sambil menundukkan mukanya.
Mengerlingpun ia tidak berani sungguhpun ia tahu bahwa ia kini sudah berduaan sekamar dengan calon suaminya. Ia tahu betapa suaminya seorang pemuda yang halus dan tampan sekali dan sebetulnya ia merasa bahagia di dalam hati akan menjadi isteri pemuda itu.
Akan tetapi rasa malu membuat ia tidak berani berkutik. Hanya kedua telinganya saja yang pada saat itu hidup, mendengarkan penuh perhatian ke arah suaminya bergerak. Sampai suaminya itu duduk di atas pembaringan di sebelahnya, ia tidak berani mengerling apalagi menengok.
Mungkin ada satu jam lebih kedua orang muda remaja yang usianya baru antara enambelas sampai delapanbelas tahun ini sudah duduk bersanding tak bergerak-gerak seperti dua buah arca yang amat bagus buatannya.
Si wanita duduk menunduk sampai punggungnya melengkung dan dagunya menyentuh dada, mata setengah terpejam dan mukanya tertutup untaian mutiara yang semacam kerudung. Yang pria, masih dalam pakaian pengantin yang indah, mukanya yang tampan itu kemerahan, sepasang pipinya yang putih halus menjadi merah karena tadi ia dipaksa minum arak pengantin oleh para handai taulan yang memberinya selamat, sepasang mata yang lebar bening itu berkilauan akan tetapi mulutnya tersenyum-senyum malu.
Beberapa kali ia mengerling ke kanan, beberapa kali ia menengok, beberapa kali bibirnya bergerak-gerak hendak mengeluarkan suara, Namun, semua itu sia-sia belaka, tak dapat ia mengeluarkan suara karena setiap kali jantungnya melonjak-lonjak seperti mau meloncat keluar dari mulut melalui kerongkongannya.
Ia sudah berusaha untuk menggerakkan tangan kanan buat menyentuh jari-jari tangan halus isterinya yang berada di atas pangkuan, namun tangannya gemetaran dan hilang tenaganya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pendekar Cengeng
Fiksi UmumPendekar yang di juluki Pendekar Cengeng selalu mengacau di Thian-an-bun yang di bantu oleh pendekar wanita Dewi Suling. Bagaimanakah pendekar tersebut mendapat julukan Pendekar Cengeng dan siapakah nama aslinya penasaran bisa di baca dalam Kisah Pe...