Malam nanti rencananya iblis senior akan menggoda Markadut dan Markisut agar anaknya diijinkan untuk dikapitalisasi. Godaan harta, kenikmatan, kejayaan, dan kesejahteraan tentunya. Manusia banyak tergelincir pada strata itu, entah mengapa. Mungkin karena mereka lupa bersyukur, dan lupa berbagi dengan dhuafa yang membutuhkan. Godaan kemiskinan, kefakiran, penderitaan lebih banyak menempa manusia menjadi lebih tangguh dan selalu dekat dengan Allah.
Matahari tergelincir ke horizon Barat . menyisakan pendar - pendar cahaya keemasan di langit sebelah barat. Sekawanan burung kuntul meninggalkan sawah yang telah memberikan mereka makan untuk anak dan bini mereka. Petani pun menggiring keluarganya dan ternaknya ke kandangnya. Suara kluntungan sapi menjadi irama magis setiap pagi dan sore di jalanan desa.
Sore itu Samingun, penjudi bangkut itu sudah ada di rumah Tumin, gembong maling sapi. Ia memenuhi janjinya tadi pagi. Jika diijinkan istrinya, malam ini ia akan ikut maling sapi bersama Tumin. Ia ingin segera bangkit dari keterpurukan hidup. Samingun biasa bergelimang harta, kemewahan, kenikmatan, kesejahteraan. Semua harus tercabut dari akarnya, ludes, tiris, dan kering harta. Layaknya Lurah Sosro yang kehilangan kelamin setelah dicabut dari akarnya oleh istri pertamanya.
"Diijinkan istrimu, Ngun?"
"Mau enggak makan kalau tidak diijinkan?"
"Eh, jangan terlalu berharap, Ngun. Maling juga ada gagalnya. Sama seperti bertaruh juga."
"Minimal ada usaha untuk mendaptkan uang, Min."
"Karena apa semua itu kau lakukan, Ngun?"
"Tanggung jawab."
"Hahaha.." Tumin terkekeh mendengar jawaban Samingun. Kekeh sayang sinis dan ironis. Tangung jawab diejawantahkan dengan maling, merampas hak orang lain.
Tumin menjelaskan malam ini mereka akan maling sapi milik warga Cinta Mulya. Sapi milik Sarjo. Sarjo mempunyai lima ekor sapi yang gemuk-gemuk dan sangat terawat. Tumin menjelaskan di Cinta Mulya ada penunjuk jalannya. Tumin merencanakan mengambil dua ekor sapi jantan dewasa yang gemuk-gemuk. Mereka akan menuntun sapi itu melintasi persawahan menuju Sidoretno. Di Sidoretno sudah ada yang menunggu dengan mobil box.
Samingun hanya manggut-manggut mendengar penjelasan dari Tumin. Entah mengangguk paham atau mengangguk tidak mengerti.
"Kita berangkat sekarang, Ngun. Nanti sampai jam dua malam di rumah Tekad dahulu, sambil membaca situasi."
"Siap. Ayo kita berangkat."
"Eh tunggu! Ada ritualnya."
"Bagaimana?"
"Ayo, ikut ke kamar."
Mereka memasuki kamar paling belakang dari rumah Tumin. Istri Tumin sudah menyediakan ubo rampe untuk melakukan ritul, agar misi mereka sukses. Sebuah baskom besar berisi kembang tujuh rupa dan air tujuh sumur diletakkan di tengah kamar. Dupa yang sudah menyala harumnya memenuhi bilik itu.
"Kita harus membasuh tubuh kita denganm air ini, Ngun."
"Baik."
"Buka seluruh pakaianmu."
"Bugil?"
"Iya goblok!"
"Baik."
KAMU SEDANG MEMBACA
Tarian Dari Surga (Sekuel Lurah Sosro)
Cerita Pendek#1 dalam Satire 03- 09-2021 #1 dalam Satire 27 -10-2020 #1 dalam Satire 29-11-2019 #2 dalam Satire 20-08-2018 Sebelum membaca cerita ini baca dulu "Lurah Sosro." Etika membaca cerita ini masih sama dengan Lurah Sosro. Awali dengan istighfar karena...