41. Tiang Gantungan Panglima Mongol

2K 47 1
                                    

"Tarr-tarrr......!" Cambuknya berbunyi keras dan berubah menjadi segulung sinar hitam yang menyambar-nyambar dari atas. Dewi Suling terkejut sekali, akan tetapi ia masih dapat menahan hatinya dan berpura-pura ketakutan ketika cambuk menyambar. Tahu-tahu cambuk itu ujungnya telah melibat tubuhnya, membuat kedua lengannya terbelenggu. Hal ini terjadi tanpa ia rasakan, kulitnya tidak terluka dan bajunya tidak robek. Hal ini saja sudah membuktikan betapa ampuhnya cambuk ini dan betapa pandainya Kwa-ciangkun, bermain cambuk.

"Hayo engkau ikut bersamaku lebih dahulu!" Kwa-ciangkun menarik gagang cambuknya sehingga tubuh Dewi Suling tertarik keluar dari barisan wanita.

"Eh, Kwa-ciangkun, hendak kau bawa ke mana dia? Wah-wah, dia paling cantik di antara semua......! Berikan dia padaku, ciangkun!"

Terdengar suara Panglima Ban Ciang dan hati Dewi Suling berdebar girang. Inilah yang diharapkannya. Akan tetapi alangkah mendongkol hatinya ketika ia mendengar Kwa-ciangkun menjawab,

"Maaf, Tai-ciangkun. Saya tidak berani melepaskan wanita ini sebelum memeriksanya. Dia mencurigakan, siapa tahu akan mendatangkan bahaya. Kalau sudah saya periksa dan ternyata tidak apa-apa tentu akan saya antarkan kepada ciangkun!" Setelah memberi hormat, Kwa-ciangkun menarik cambuknya dan membentak kepada Dewi Suling. "Hayo, kau ikut aku sebentar!"

"Aku dipilih ciangkun...... kenapa kau menghalang? Cis, tak tahu malu!" Dewi Suling mencoba untuk membantah dengan kata-kata, akan tetapi perwira tinggi besar itu sudah menyeret cambuknya sehingga Dewi Suling terpaksa menggerakkan kaki mengikutinya, ditertawai oleh para perwira lain yang menyaksikan adegan ini dengan gembira.

"Kwa-ciangkun jangan sampai lecet kulitnya yang halus. Sayang!" kata seorang perwira.

"Kalau dia mata-mata, serahkan kepadaku saja!" teriak perwira kedua.

Kwa-ciangkun tertawa bergelak, "Ha-ha-ha jangan kalian mimpi, kawan-kawan! Kalau dia tidak berdosa, tentu Tai-ciangkun yang akan memilikinya, dan kalau dia ternyata mata-mata musuh, hemm, aku sendiri sudah tahu bagaimana caranya menghukum seorang mata-mata cantik seperti ini. Ha-ha-ha!"

Dewi Suling menggigit bibir menahan kemarahannya sambil menanti kesempatan baik, wanita yang sudah "matang" ini tidak sembarangan menurutkan perasaannya, maka ia sengaja terhuyung-huyung ketika ditarik memasuki sebuah kamar yang ternyata adalah sebuah kamar lebar terisi sebuah tempat tidur dan meja kursi. Dengan kerling matanya Dewi Suling melihat betapa ketika perwira tinggi besar muka hitam itu menutupkan pintu kamar, ada beberapa orang perwira dengan muka menyeringai berada di luar kamar, agaknya hendak mengintai! Hal itulah yang membuat Dewi Suling kembali menahan sabar.

"Hayo katakan siapa engkau? Engkau mata-mata kaum pemberontak yang dikirim mereka dan sengaja menyelundup masuk Thian-an-bun, ya? Hendak menyelidiki keadaan markas di sini, bukan?" Sambil berkata demikian perwira itu menggerakkan gagang cambuknya dan tubuh yang tadinya terbelit cambuk, kini terputar di dalam kamar lalu roboh berlutut di atas lantai.

"Hayo mengaku kau!" Cambuk digerakkan lagi dan "tarr, tarr, tarr......!" ujung cambuk melecut-lecut ke arah tubuh Dewi Suling. Kembali Dewi Suling terkejut dan kagum karena ujung cambuk seperti berubah menjadi tangan yang merenggut dan merobek-robek pakaiannya.

Sementara itu, ada tiga orang perwira mengintai di luar kamar dari celah-celah daun pintu, melihat betapa cambuk Kwa-ciangkun melecut-lecut dan merobek-robek pakaian wanita cantik itu, mula-mula pakaian luarnya kemudian pakaian dalamnya yang juga berwarna putih bersih dari sutera tipis, ketiganya melotot. Biji mata mereka seolah-olah hendak melompat keluar, mereka menyaksikan bentuk tubuh yang amat hebat, dengan lekuk-lengkung sempurna menggairahkan, dengan kulit yang putih halus.

Dewi Suling bukanlah seorang gadis yang masih hijau. Sama sekali bukan! Dia bahkan bekas seorang iblis betina cabul sehingga tentu saja ditelanjangi dengan cambuk seperti itu ia sama sekali tidak merasa canggung ataupun malu. Malah ia sengaja menggerak-gerakkan tubuhnya seperti tidak disengaja, akan tetapi sesungguhnya gerakan-gerakannya memperlihatkan pemandangan yang amat menarik hati sehingga tangan Kwa-ciangkun yang memegang gagang cambuk menjadi gemetar!

Pendekar CengengTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang