Ibu?

54 6 0
                                    


Mobil angkot terus menelusuri jalanan kota yang ramai. Hingga akhirnya berhenti di persimpangan dan menurunkan beberapa penumpang, termasuk Basir.

Basir turun dan segera berjalan menuju tujuan ketiganya. Terik matahari sangat menyengat di siang bolong seperti ini.

Pintu gerbang hitam dibuka, Basir melangkah masuk melewati halaman rumput. Menuju pintu utama.

Basir bergegas menuju lantai dua. Anak-anak yang sedang belajar di ruang tamu menatap Basir antusias, beberapa dari mereka menyusul naik ke lantai dua. Mengikuti Basir dari belakang.

Basir bergerak cepat, tidak memperdulikan anak-anak panti itu. Tangannya terus bergegas mengambil beberapa baju milik Azzam dan juga miliknya, dengan cepat dimasukkan nya ke dalam kantong keresek hitam.

Balik kanan. Mata Basir menatap anak-anak itu dengan tatapan dingin. Pun anak-anak itu, menatap Basir dengan penuh tanda tanya. Kaki Basir tidak bisa melangkah maju, pintu kamar di kepung oleh empat-lima anak.

" Minggir. " Suara Basir terdengar amat dingin di langit-langit kamar.

"Bagaimana keadaan Azzam? "
" Dia sakit apa?! "
" Dimana abang Sam? "
" Bagaimana dengan biaya rumah sakitnya?! "

Basir berdecak, mendengus kesal. "Bisakah kalian minggir?!"

Tanpa menunggu lagi, Basir langsung menerobos kepungan anak-anak di pintu, berjalan cepat menuruni anak tangga.

Pun Anak-anak panti, mereka menjajari langkah kakinya dengan kaki Basir, menuruni anak tangga sambil bertanya banyak hal, yang hanya di jawab dengusan kesal Basir.

Sebagian anak-anak yang masih belajar di ruang tamu hanya menatap sejenak saat melihat Basir dan beberapa anak lainnya melewati ruang tamu. Bergegas ke pintu utama.

" Bisakah hentikan pertanyaan-pertanyaan itu?! Kalian akan mendapatkan jawabannya sendiri! " Basir membuka pintu, berjalan ke luar, mengabaikan wajah kecewa anak-anak panti tadi.

Jalanan kota terlihat padat, asap-asap kendaraan mengepul membuat polusi dimana-mana. Basir melambaikan tangan, membuat angkot berhenti, dan bergegas naik ke dalam nya. Melesat di jalanan kota yang padat.

Sepuluh menit kemudian Basir telah sampai ke tujuan terakhirnya. Rumah Sakit Kota.

Basir mengeluarkan uang kertas empat ribu an yang sudah lecek, menyerahkan nya ke sopir angkot. Lalu berjalan melewati halaman Rumah Sakit yang asri, dengan cepat masuk ke dalam lobby , menuju ruang rawat inap Azzam.

♤♤♤

Kepalaku menoleh saat mendengar suara pintu berderit. Basir dengan gontai berjalan masuk menuju sofa. Terduduk di sampingku sambil menyenderkan punggungnya.

" Kau lama sekali. " Ucapku datar sambil menatap wajah lelah Basir.

" Bagaimana anak itu? " Basir menatap Azzam lamat-lamat.

" Aku jelaskan sambil kau makan. " Kaki ku berjalan ke arah meja kecil di pojok ruangan, mengambil satu bungkus nasi uduk yang ku beli tadi pagi, saat Basir berangkat.

Tanganku menyerahkan nasi uduk itu ke Basir.

Basir masih terus menatap Azzam,melamun. " Aku tidak lapar. "

" Kalau begitu aku tidak akan menjelaskan apapun. "

Basir mendengus, menarik paksa nasi uduk dari tanganku. Aku menyeringai. Kembali duduk di samping Basir, menyenderkan punggung ku ke sofa.

Basir mengunyah nasi uduknya ganas, menatapku setelah lama menunggu. Aku menarik nafas, mulai menjelaskan.

" Ada kabar buruk dan kabar baik hari ini. " Ucapku sambil menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskan perlahan.

" Kita mulai dengan kabar buruknya, yaitu... " Aku menggantungkan kalimatku, menarik nafas lagi.

Basir menoleh ke arahku, menunggu kalimat berikutnya.

" Dokter Ghani bilang, donor hati yang sesuai untuk Azzam sangat sulit di temukan. Ditambah kondisi Azzam yang semakin lemah, jika kondisi Azzam terus menurun, dan donor hati belum juga di temukan, mungkin kemungkinan buruk akan terjadi."

Basir mendengus, mulutnya berhenti mengunyah, menaruh piring itu di meja kecil dan mengambil segelas air, kemudian terduduk kembali di sofa.

Aku menarik nafas, membenarkan posisi duduk yang masih bersandar di sofa empuk ini, memejamkan mata, mulai melanjutkan kalimatku berikutnya.

" Sungguh, aku tidak tahu ini kabar baik atau ternyata kabar buruk juga. Tadi siang Azzam terbangun dari pingsan nya. Ia menatapku dengan mata menyipit, tersenyum, dan tidak banyak bertanya. Aku langsung menekan bel darurat di tembok dekat kasur Azzam. Beberapa detik kemudian Dokter Ghani dan perawat lainnya datang, bergegas memeriksa Azzam. " Aku menarik nafas, entah yang keberapa kalinya aku melakukan ini.

" Lalu?! "

" Sepuluh menit, mereka telah selesai berkutat dengan Azzam dan juga alat-alat itu. Dokter Ghani berkata padaku, kondisi Azzam belum stabil, kadang bisa terbangun dan kemudian pingsan lagi. Aku hanya mengangguk, kembali menatap Azzam. Namun, aku merasa ada yang aneh, sangat aneh... "

"Katakan Sam! "

" Aku merasa Azzam sangat bahagia, Basir. Mukanya memang sendu, tapi senyuman kecil saat ia terbangun dan menatapku tadi, masih mengembang di pipinya saat dia kembali pingsan. Kau tahu? Dua jam lalu Azzam terbangun lagi, menatapku dengan senyuman kecil itu, dia hendak menyampaikan sesuatu, namun terbatuk-batuk, hingga akhirnya aku menekan bel darurat itu, dan Dokter Ghani langsung memeriksanya. "

Aku menarik nafas lelah. Kemudian melanjutkan cerita.

" Dokter Ghani berkata padaku, kalau ia telah memberikan pil makanan untuk Azzam, beberapa hari kedepan Azzam akan makan pil itu. Tidak bisa makan nasi, dan setelah Dokter Ghani selesai memberikan pil itu, ruangan ini kembali lengang, mata Azzam tertutup lagi. Namun aku salah! Dia tidak pingsan. Bibirnya bergetar, ingin menyampaikan sesuatu padaku. Samar-samar aku mendengar kalimatnya, dia bilang, ' ibu? Aku rindu ibu, teramat rindu. Mengapa ibu baru menemuiku? Ibu kemana saja?' aku kaget dengan kalimat yang ku dengar, berusaha memahami semuanya. Tapi mata Azzam masih tertutup, bibirnya tersenyum kecil. Aku memberanikan diriku membalas kalimat Azzam, ' Ini aku, abang Sam, ibumu tidak ada disini, Azzam.' Namun ruangan itu lengang lagi, kalimatku hanya dibalas senyuman kecil Azzam. "

Aku membuka mataku, membenarkan posisi duduk, menatap Basir yang terlihat sedang berfikir keras mencerna kalimat-kalimat ku tadi.

" Aku berfikir, Azzam hanya bermimpi tentang ibunya, Basir, kondisinya sekarang sangatlah lelah." Kataku berusaha menenangkan hati Basir.

Basir mengangguk, membaringkan tubuhnya di sofa setelah aku bangkit berdiri.

" Aku ingin ke ruangan Dokter Ghani, bertanya satu-dua hal. " kataku memberi tahu, sambil terus berjalan kearah pintu.

Basir tidak membalas kalimatku, matanya telah tertutup, dia pasti sangat lelah.

Entah apa rencana langit-langit berikut-nya. Besok lusa, sebuah pertengkaran besar akan terjadi.

♤♤♤

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Nov 24, 2016 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Explanation of My LifeWhere stories live. Discover now