Tika Tik Tuk dan Surat

26 4 0
                                    

Kamu dan senja. Selalu mengajarkan bagaimana menekan setiap tuts piano untuk menyambut malam dengan simfoni laguku.

Puisi lagi. Menyelipkan kertas buram yang disobek buru-buru kedalam tempat pensil mini berwarna kuning. Huruf miring, tegak bersambung ala pujangga abad lampau kini ikut meramaikan siangku. Maksudku, selalu. Mirip roman picisan yang tak pernah terpikir akan kualami. Mungkin secret admirer yang meletakannya. Apa? Secret admirer? Gila. Aku gak mungkin punya fanatik yang rajin membuat setiap kalimat indah diatas robekan kertas daur ulang ini setiap hari. Lagipula kalaupun iya kenapa harus aku? Parasku biasa aja, jauh dari garis jelek tapi tidak dekat dengan kata cantik. Maksudku, biasa saja.

Kini aku memerhatikan tiga orang pelawak kelas, tiga anak manusia yang salah tempat bermain. Masalahnya Rendi, Akbar dan Nino memiliki sifat yang rada belok dibandingkan para cowok lain di kelas. Selain tiga-anak-manusia-yang-salah-tempat itu, para cowok di kelasku adalah jenis-jenis calon ustad teladan yang gak akan mengkhianati istri mereka dan agama. Yeah, kecuali tiga buah makhluk yang tak jelas kepribadiannya. Sengaja disebut 'buah' karena aku masih ragu dengan jenis mereka.

Akbar yang memiliki tubuh paling tinggi dan ramping mirip sumpit kehilangan pasangannya memulai aksi. Menenteng speaker yang melantunkan lagu Roma Irama berjudul Pujangga, menari-nari depan papan tulis bersama dua antek-anteknya. Mengikuti irama kendang yang mengundang mereka untuk bergoyang gaya Harlem Shake. Sebenarnya lucu juga, tapi sayangnya tiga orang itu selalu melakukan persimpangan sosial misalnya sering merokok, kebut-kebutan bahkan lebih parah membuat orangtua mereka kewalahan karena sering bolos beberapa kali. Disamping itu mereka baik, selalu care kepada teman meski dengan cara yang sedikit kasar.

Hingga kini aku terjebak mencintaimu. Hingga kini aku tak bisa keluar dari jeratan waktu yang memaksaku. Memaksaku untuk memikirkanmu. Sebenarnya Nona, aku tak pantas menyayangimu.

"Menye!," yang dipanggil menolehkan kepala, keluar dari lingkaran etew yang mereka ciptakan itu. Menye. M-e-n-y-e. Itu adalah sapaan akrab Nino. Bayangkan, nama Nino lebih memberikan kesan jika dia adalah orang keren daripada, um, Menye. MENYEnangkan. Itu asal-usul nama Menye, katanya supaya dia selalu sumringah dimanapun berada. Tapi hal itu dibuktikan dengan jelas melihat Menye yang selalu menebar senyum ringan dimana-mana. "Tika tik tuk tigulutuk ke lubang perkutut," Menye tertawa sambil memainkan ujung kerudungku. Dia duduk dibelakangku, hal yang kusesali di dunia. Sebenarnya,paling kusesali di dunia. Rendi duduk sebangku dengan Menye sedangkan Akbar duduk didepanku bersama satu cowok lain yang lebih pendiam. Kesimpulannya adalah, mejaku satu-satunya yang paling menyeramkan karena diapit oleh dua neraka.

Aku kembali membaca puisi hari ini dengan tempo waktu yang sedikit berbeda. Kali ini pagi hari. Jika aku mendekatimu, aku benar-benar takut membuatmu kecewa. Seperti Bintang dan Matahari yang selalu berada dalam lini waktu berbeda.

Suara Rendi begitu berisik di meja belakang, mengisi penuh gendang telinga, dia memeragakan aksi Miko dalam filmnya. "Jerawat hilang, hilang, hilang. Jerawat hilang, lang, lang."

Akbar memutar posisi duduknya. Menghadapku. Acuh tak acuh ketika yang lain ketawa untuk lawakan Rendi yang sukses. "Tika, kalau besok-besok aku baik, kamu mau ubah sikap kamu ke aku? Aku janji gak akan malu-maluin."

"Sikap aku?," pura-pura tak peduli dengan mengisi lks. "Kamu? Malu-maluin?."

"Kamu suka jutek. Dan itu khususon buat aku doang. Apa aku salah?."

Menulis terlalu tekan sehingga membuat ujung pensilku patah seketika tepat begitu Akbar selesai dengan kalimatnya. Menatap Akbar untuk satu detik lalu menghadap ke meja belakang dimana dua jin rawa-rawa lain bersemayam. "Apa sih, kenapa tarik-tarik kerudung, Menye?."

"Nah kan," nyengir kuda khas Menye. "Gitu caranya kamu jadi ngadep ke belakang Tika tik tuk."

"Uh," aku mencibir, menyesal kenapa berbalik ke arahnya.

Pulang sekolah ketika aku baru selesai piket, ada sobekan kertas buram diatas tas. Dua puisi dalam satu hari?. Sesuatu menggumpal dalam hati,menekan agar terus berjalan, hingga aku sampai di cahaya suci, dimana semuanya menjadi terang dan aku mengerti semuanya. Aku menyukaimu, bolehkah, Nona?.

Rendi adalah satu-satunya cowok yang masih tersisa disana, entah kenapa malah membantuku membereskan lks dan buku-buku yang belum sempat aku masukkan ke dalam tas. Tersenyum tipis begitu mata kami beradu, hanya mampu membiarkannya membereskan semua itu. "Aku bawa motor."

"Dan?."

"Aku sendiri."

"Lalu?."

"Aku bawa helm dua, um, kalau kamu mau, maksudnya, yeah, gitu deh."

Menyampirkan tas ke bahu, mengangguk sopan kemudian berjalan menjauh. Menekan bumi dengan kedua sepatu hitamku. Merasakan angin menghampiri, menyelimutiku dengan hawanya yang dingin. Kemudian angin itu pergi lagi, kembali meninggalkanku sendirian dibahu jalan, sepi.

Puisi-puisi itu.

Sikap mereka hari ini.

Semuanya belum cukup untuk membuktikan prasangkaku.

Aku mengacungkan puisi terakhir yang kudapat, menerawang kertas itu berharap akan menjelaskan siapa pemiliknya sebelum ini. Kemudian, sesuatu terjadi. Ada satu kalimat pendek dibelakang kertas itu, mendekatkan ke mataku, membaca berkali-kali sampai aku yakin aku tidak salah baca. Membuka binderku lalu mengeluarkan semua puisi yang selama ini aku dapat. Fakta menakjubkan, ternyata aku ceroboh karena tidak melihat kalimat yang disimpan dibelakang kertas itu.

Teruntuk Tika Tik Tuk, dari tiga orang yang setiap hari ada didekatmu.

Tika Tik Tuk dan SuratTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang