Bagian 1

194K 13.9K 639
                                    

Satu tamparan keras mendarat di pipi kiri Namira sesaat setelah gadis itu turun dari mobil. Matanya melebar karena terkejut dengan serangan yang sangat tiba-tiba itu. Dan tangannya sontak memegang pipinya yang terasa perih karena tamparan tersebut cukup kuat. Matanya langsung menoleh ke seseorang yang dengan seenaknya menampar wajahnya sedemikian rupa.

"Maksud lo apa?!" teriaknya kemudian, merasa tak terima dengan perlakuan orang tersebut.

"Jangan coba-coba deketin Kana lagi," jawab lawan bicaranya dengan nada mengancam dan mata yang menyipit tajam.

"Siapa yang deketin Pak Kana? Suami lo itu yang ngebet banget ngajak gue kawin."

Wanita yang tak diketahui namanya oleh Namira itu tampak menggeram kesal sebelum pergi begitu saja tanpa menyahuti lebih lanjut perkataannya barusan. Entahlah, ia berpikir bahwa wanita itu malu karena selama ini memang suaminya yang gemar mendekatinya, bukan Namira.

Namira memberikan pelototan tajamnya kepada beberapa orang yang tengah menatapnya. Sial, gara-gara wanita itu, ia menjadi pusat perhatian saat ini. Bagaimana tidak, ia baru saja sampai di salah satu restoran untuk makan siang, tetapi seorang wanita asing yang tak ia kenal langsung menyerangnya begitu saja.

Ia kemudian mendecak kesal saat merasakan perih yang belum hilang dari wajahnya. Tamparan wanita itu benar-benar luar biasa. Seharusnya ia membalasnya tadi. Selain mendapat tamparan keras, ia juga dituduh melakukan hal yang tidak-tidak. Menyebalkan sekali.

"Jadi makan, nggak?"

Satu suara itu berhasil membuat Namira sadar bahwa ia tidak pergi sendirian. Ia bersama seorang pria yang juga membuatnya kesal semenjak pertemuan pertama mereka. Dan yang lebih menyebalkannya lagi, pria itu terlihat santai-santai saja setelah kejadian memalukan tadi. Bukannya menolong, pria itu malah berdiri diam di sampingnya—seolah-olah tak ada kejadian apa pun yang terjadi.

"Nggak!" jawab Namira dengan ketus seraya kembali masuk ke dalam mobil. Suasana hatinya berubah menjadi buruk saat ini. Seleranya untuk menyantap makan siang telah menguap habis.

Pria yang pergi bersama Namira yang bernama Kevan tersebut hanya mengangkat kedua bahunya saja sebelum menyusul gadis itu yang sudah berada di dalam mobil.

"Kamu yakin nggak mau makan? Bukannya tadi kamu bilang kamu laper," tanya Kevan setelah ia berada di balik kemudi, tepat di samping Namira.

"Nggak usah banyak tanya. Anterin aku pulang aja, buruan."

Kevan menghela napas panjang seraya mengubah posisi duduknya menjadi miring ke kiri, menghadap ke arah Namira yang saat ini tampak begitu kesal. "Kalo kamu mau nikah sama—"

"Bisa nggak kamu nggak usah ngomongin soal nikah? Aku baru aja kena musibah. Seharusnya kamu hibur aku," potong Namira langsung yang kini tengah menatap Kevan dengan kesal.

Kevan memilih untuk diam dengan tatapan matanya yang mengarah lurus ke arah Namira. Dan gadis itu menyadari kalau Kevan tengah menatapnya dengan lekat sehingga membuat dirinya sedikit risi. Ia lalu mendengus pelan sebelum melayangkan pandangannya ke luar jendela, menjauh dari pandangan Kevan.

Namun, beberapa detik kemudian, Namira dibuat terkejut ketika Kevan tiba-tiba saja memegang dagunya sebelum mengarahkannya untuk menghadap ke arah pria itu.

"Pipi kamu merah. Kuat banget ya tamparannya?" tanya Kevan seraya menatap pipi sebelah kiri Namira dengan salah satu tangannya yang masih bertengger di dagu gadis itu.

Namira menelan ludahnya kelu saat merasakan tangan Kevan yang begitu lembut menyentuh dagunya. Ia akan kalah kalau pria itu terus bersikap selembut ini kepadanya. Padahal, semenjak Kevan melontarkan ajakan untuk menikah dengannya, ia langsung memasang pertahanan dalam dirinya agar tidak terpengaruh dengan ajakan tersebut.

Jujur saja, sejak pertama kali bertemu dengan Kevan dalam acara makan malam antara keluarga mereka sekitar satu minggu yang lalu untuk membicarakan soal perjodohan di antara mereka, ia sudah tertarik dengan Kevan. Pria itu merupakan tipenya—kaya, tampan, dan seagama.

Namun, yang menjadi masalahnya saat ini adalah pria itu ingin langsung menikah dengannya. Kalau saja pria itu mengajaknya untuk berpacaran terlebih dahulu, ia pasti akan langsung menerimanya. Demi Tuhan, ia baru dua puluh lima, dan ia masih ingin bermain-main dengan cinta. Itulah sebabnya ia memasang tembok dalam dirinya agar tidak terpengaruh oleh Kevan yang terlihat sangat menggiurkan di matanya.

"Kita ke apartemen saya aja, ya? Di mobil nggak ada obat apa pun," ucap Kevan dengan tangannya yang sudah mengusap lembut pipi Namira yang membuat gadis itu langsung menahan napasnya.

Kevan benar-benar merasa kasihan dengan Namira. Wajah gadis itu terlihat sangat merah dengan sedikit goresan luka yang ia yakini berasal dari cincin yang dipakai oleh wanita asing tersebut. Sejujurnya, ia sudah tahu apa yang membuat gadis yang ingin dinikahinya ini mendapat serangan seperti itu. Menurut penyelidikannya dengan bertanya pada sahabat dekat Namira, gadis itu sering menjalin hubungan dengan suami orang. Katanya itu merupakan hobinya.

Awalnya ia juga tidak percaya dengan hal tersebut, tetapi setelah melihat apa yang baru saja terjadi, ia percaya. Gadis ini benar-benar aneh. Di saat gadis lainnya memilih untuk mencari seorang pria yang masih lajang, gadis yang satu ini malah mencari pria beristri. Ada-ada saja. Itulah sebabnya ia tidak berusaha untuk menolong Namira, ia yakin gadis itu lebih tahu apa yang harus dilakukannya karena ia yakin Namira sudah terbiasa mendapat perlakuan seperti itu.

Namira berdehem pelan seraya menyingkirkan tangan Kevan dari wajahnya setelah menyadari bahwa mereka sudah terlalu lama berada dalam posisi seperti itu. "Pulang aja," ucapnya kemudian, menyahuti perkataan Kevan sebelumnya.

Kevan menghela napas panjang seraya mengubah posisi duduknya seperti semula lantas menyalakan mesin mobilnya. "Saya masih pengen ngomong sama kamu. Apartemen saya aja, ya?"

"Pulang, Kevandra. Aku mau pulang," jawab Namira seraya menahan agar pekikannya tak keluar dengan matanya yang sedikit melebar saat menatap Kevan.

"Iya-iya pulang," Kevan terkekeh pelan seraya mengacak rambut Namira.

Namira langsung menepis tangan Kevan. "Jangan pegang-pegang, bukan muhrim," ketusnya kemudian yang lagi-lagi membuat Kevan tertawa.

"Pokoknya saya nggak bakal nyerah sebelum kamu terima ajakan saya untuk nikah sama saya," Kevan berkata dengan penuh tekad seraya menjalankan mobilnya.

Namira hanya memutar kedua bola matanya sembari membuang pandangannya ke luar jendela mobil. Kalau Kevan begitu gigih untuk mengajaknya menikah, maka ia begitu gigih untuk menolaknya. Sampai detik ini pun ia tidak tahu apa tujuan pria itu begitu ingin menjadikan dirinya sebagai istrinya. Namun, apa pun alasannya, ia tetap tidak akan menerimanya. Ia sudah bilang kalau saat ini ia masih ingin bermain-main dengan cinta.

Tidak ada kata menikah untuk saat ini.

••••

Sama kayak ceritaku yang sebelumnya, mungkin cerita ini juga akan diapdet setiap hari. Semoga kalian nggak bosen ya😋

Tapi... setiap part-nya isinya bakalan pendek-pendek. Jadi, jangan kaget dan protes ya😋

24 November, 2016

Becoming His WifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang