Bab 1

2K 155 4
                                    

Rasa bersalah itu muncul lagi. Dia menggerogoti jiwaku yang rapuh ini. Membuatku semakin tak berdaya.

Aku tahu aku memang salah. Mengapa aku tak membiarkan saja dia memperlakukanku sesukanya.

Mengapa aku melakukan itu?

"Catherine!"

Aku tersadar dari lamunanku.

Sial.

Guru Matematika meneriaki aku. Guru killer itu lalu menghampiriku.

"Apa yang sedang kamu lamunkan? Sebentar lagi Ujian Akhir Semester dan kamu masih saja memikirkan hal yang tidak perlu?"

Argh.

Guru sok tahu.

Memangnya dia tahu aku memikirkan hal yang perlu atau tidak?

"Coba kamu jawab soal yang di papan tulis."

Aku beranjak dari tempat dudukku dan maju ke depan kelas.

Fiuh.

Untunglah aku bisa menjawab soal dengan mudah. Yap, aku terkenal cerdas di angkatanku. Aku meraih nilai tertinggi di hampir semua mata pelajaran. Makanya, aku sendiri sih santai saja kalau disuruh menjawab soal.

"Bagus. Silahkan duduk."

Aku pun duduk kembali.

***

Ah... Waktu berasa sangat panjang. Bel sekolah tak kunjung berbunyi.

Ketika diam menyelimutiku, rasa bersalah itu kembali muncul.

***

"Akhirnya!"

Bel pulang sekolah pun berbunyi. Aku bergegas memasukkan bukuku ke dalam tas.

Sesampainya di depan kelas, aku melihat kakak kelasku, Michael.

Badan tinggi atletis, tampan. Sempurna. Yang membuatnya makin sempurna adalah ceweknya.

Badan bak model, cantik, berpenampilan menarik.

Memang sih, dia tidak lebih cantik dari aku. Tapi tetap saja, rasanya aku iri banget dengan mereka.

Aku merasa pernah melihatnya sebelum aku masuk SMA. Dimana ya?

"Hey! Jangan bengong gitu ah!"

Aku menengok ke arah datangnya suara.

"Ah, lo bikin kaget gue aja, Put!"

Yap, temanku ini namanya Putri. Lebih tepatnya teman baikku. Aku sudah berteman akrab dengannya semenjak SD. Makanya, dia tahu betul soal diriku.

Tapi soal rahasiaku...

"Lo lagi mengagumi doi dari jauh ya?"

Sial.

Aku merasa menyedihkan.

"Enak aja! Gue mengagumi doi dari dekat tuh! Tadi dia lewat depan gue!"

"Dasar, saking jonesnya lo sampe ngomong kayak gitu."

Sial.

"Enak aja! Gue udah banyak ditembak cowok tahu!"

"Tapi lo nolak. Sama aja bohong."

Benar-benar.

"Ah, udah capek gue debat sama lo. Sekarang kita pulang aja."

***

Rumahku dan Putri hanya berbeda satu blok. Kami melambaikan tangan tanda berpisah.

Sesampainya di depan pagar rumahku, aura kesepian kembali menggelugutiku.

Yap, aku tinggal sendirian. Orang tuaku bekerja di Australia dan tidak pernah pulang lagi ke sini semenjak aku umur 6 tahun.

Kalian mungkin berpikir aku menyedihkan. Yap, memang kenyataannya begitu. Orang tuaku hanya membiayai sekolahku dan memberikanku uang jajan. Memang sih kebutuhanku tercukupi. Tapi tetap saja, aku masih butuh kasih sayang.

Aku masuk ke dalam rumah dan merasakan hawa menyeramkan.

Semenjak umurku 7 tahun, hawa tersebut tidak hilang-hilang. Aku merasa sangat menderita. Tak ada seorang pun yang tahu hal ini. Yang orang lain tahu hanyalah aku sangat bahagia.

Aku ingin keluar dari kesesakan ini tapi tak bisa. Aku tak ingin seumur hidup merasa bersalah.

Tapi. Aku tak menemukan titik terang secuil pun.

The Meaning of Life [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang