Melihat punggung itu dari sudut belakang. Mengambil jarak teraman, menatapnya diam-diam. Berharap jika suatu waktu nanti punggung itu akan berbalik, kepala itu akan menoleh dan ada senyum di sana.
Tentu saja. Tentu saja itu hanya hayalan Petra Ral. Ia sadar betul kalau dirinya terlihat bodoh karena berpikir seperti itu—kembali ia tepis lagi pikirannya.
Sudah seberapa lama ia melakukan hal ini berulang-ulang? Kembali mengulang dalam hal mencari dan mengharap tengokannya. Ia terlalu ikhlas untuk mengingat hal-hal apa saja yang membuatnya semakin jatuh dalam keindahan dan kekurangan lelaki itu.
Sejenak sebelum ia mengikuti Ujian Scouting Legion, ingatannya berpulang pada hari pertama ia bertemu pahlawannya.
…
Your Follower
Disclaimer: Hajime Isayama
Your Follower is a work of fanfiction, I own nothing but the plot and you better forgive me for the wait, Ay!
For Kuroba Aya aka Si Ketek Alia
Your Follower
…
Hari itu, Petra menghilang.
Gadis kecil pemilik iris amber itu tengah menatap kagum pada boneka kelinci kayu yang menggantung di atas papan nama Kedai Teh Sakura Minamoto. Warna irisnya berkelap-kelip di bawah sinar matahari, mencetak ambisi anak kecil yang polos di wajahnya. Ia mau boneka itu. Ia mau memilikinya.
Maka dengan sedikit keberanian, Petra menyuarakan keinginannya pada pelayan kedai yang kebetulan lewat. “Bibi, aku mau boneka kayu itu, dong!” ujarnya sambil menunjuk boneka kayu itu.
Bibi kurus yang memakai apron dan bando merah itu hanya meliriknya sekilas, kemudian melanjutkan jalan seperti ia tidak melihat wajah Petra. Suara hak sepatu kayu yang dipakai pelayan itu mengalun di udara, menandakan pemiliknya telah pergi. Mengecuntukan bibir, Petra pun menangis kencang di tengah lautan telinga yang membayangi tempatnya. Meminta perhatian di sana. Namun, tak ada yang bertanya. Kaki-kaki jenjang yang setara dengan tingginya itu melangkah tanpa ragu melewatinya, memberikan tatapan tak masuk akal pada gadis kecil tanpa orangtua yang tengah menangis kencang di depan kedai teh.
“Hei, anak sialan! Kemari kau! Kembalikan dompetku! Hei!” Seketika tangisan Petra berhenti. Matanya yang sembap terlihat berkelip penasaran pada kejadian kejar-kejaran di depannya. Irisnya kini berfokus pada lelaki gendut yang tengah mengejar anak laki-laki kurus yang larinya sangat cepat. Terlihat sekali orang-orang sekitar tak membantu menangkap lelaki kurus itu. Semua terlalu sibuk pada belanjaan masing-masing. Pasar di hari Minggu terlalu ramai untuk menangkap pencuri secepat itu.
Anak lelaki itu kemudian berbelok ke gang sempit, dan di situlah Petra bergerak menuruti naluri anak kecilnya. Rasa ingin tahunya rilis kala ia berlari mengikuti jejak lelaki itu.
Petra tidak mengerti akan hal gaib apa yang membawa kakinya menuju tempat di mana lelaki itu menghilang di balik tembok gang. Ya. Menghilang secepat itu. Secepat kipas dapat berputar. Petra berjalan menelusuri gang kecil tempat lelaki kurus itu menghilang. Gang itu terlihat sempit dan hanya muat untuk dua orang dewasa yang kurus. Pantas saja lelaki itu lewat sini, paman gendut yang mengejarnya tadi pasti akan berpikir seribu kali untuk mengejarnya lewat gang yang akan menghimpit tubuh besarnya itu.
Petra mulai memasukinya tanpa ragu. Gang itu penuh pertigaan dan kepala gadis itu serasa ingin meledak ketika ia sadar bahwa semakin ia menelusuri gang itu, semakin jauh pula ia mempersesat dirinya. Penerangan gang kecil itu semakin menipis. Hanya ada sinar matahari yang menyusup lewat celah-celah atap yang menutupi gang kecil itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Your Follower
Teen FictionMelihat punggung itu dari sudut belakang. Mengambil jarak teraman, menatapnya diam-diam. Berharap jika suatu waktu nanti punggung itu akan berbalik, kepala itu akan menoleh dan ada senyum di sana.