Jadi JONES Sebentar Saja

2.2K 112 67
                                    

Author : Abiyasha

******


Gamma menarik napas dalam sementara pandangannya tidak lepas dari rintik yang disaksikannya dari balik jendela. Hujan deras yang tadi menyambutnya ketika memasuki Klorofil tinggal menyisakan gerimis. Dia hanya mampu menggeleng pelan menyaksikan beberapa gelintir manusia dengan nekat berjalan tergesa—beberapa bahkan berlari kecil, menembus genangan air hingga memercik dan membasahi sepatu atau pakaian mereka—tanpa menggunakan payung. Mereka akan tetap basah, batinnya. Dengan satu embusan napas yang cukup keras, kedua biji mata Gamma beredar ke atas meja yang sudah satu jam lebih menopang kedua lengannya. Satu cangkir teh hijau, satu piring datar kecil berisi sisa remahan strawberry cheesecake dan blueberry muffin, satu gelas sedang berisi air putih yang isinya sudah tandas setengah, beberapa puluh origami burung bangau, serta tumpukan kertas lipat bermotif, tersebar memenuhi mejanya.

Dia meraih satu lagi kertas lipat yang masih utuh dan dengan segera, jemarinya mulai terampil membentuk lipatan demi lipatan hingga menjadi satu lagi origami berbentuk burung bangau. Sejak putus dari Raffa sebulan lalu, Gamma menjadikan Klorofil sebagai bagian dari usahanya untuk menyembuhkan luka hati. Pilihan tempat dan waktunya selalu sama. Dia memasuki kafe tidak lebih dari pukul 6 sore sepulangnya dari kantor, duduk di meja paling pojok setelah memesan satu cangkir teh—meski jenisnya bervariasi setiap hari—dan dua potong cake yang pertama kali tertangkap oleh penglihatannya, meletakkan tas setelah dirinya duduk, mengeluarkan kertas lipat, dan mulai membuat origami yang sama. Jika meja favoritnya sudah ditempati, Gamma akan memotong porsi kue yang dipesannya dan waktu yang dihabiskannya menjadi lebih singkat. Origami selalu menjadi guilty pleasure sekaligus pelarian setiap kali dirinya putus cinta. Kapan tepatnya Gamma memulai kebiasaan itu, dia sendiri tidak tahu, tidak peduli, dan tidak ingin mengingatnya. Terkadang, dia membawa origami yang sudah dibuatnya ke apartemen, tetapi tidak jarang, dia membuangnya ke tempat sampah, atau meninggalkannya begitu saja di atas meja. Semuanya tergantung suasana hati yang sedang menyelimutinya saat itu.

Ketika seorang pramusaji datang untuk menarik piring serta cangkir kotor, serta menanyakan apakah ada yang ingin dipesannya lagi, Gamma mengangguk.

"Saya mau satu crème brûlée, Mbak."

Setelah pramusaji itu berlalu—membuat mejanya sedikit lebih lapang—Gamma iseng menghitung berapa origami yang suda dibuatnya malam ini. Dua puluh tiga. Sebuah tawa sinis keluar dari mulutnya sebelum dia meraih lagi kertas lipat ke-24. Ketika baru melipat kertas menjadi dua bagian secara diagonal, sebuah suara membuat wajahnya menengadah.

"Saya tidak tahu apakah kamu ingin diganggu atau tidak, tapi sudah 5 hari saya perhatikan, kamu selalu melakukan hal yang sama. Tidak bosan? Dan saya khawatir dengan kadar gula yang masuk ke tubuh kamu melalui kue-kue yang kamu pesan akan membahayakan kesehatan kamu. Tidak berniat untuk mengakhiri hidup kamu pelan-pelan kan?"

Gamma langsung menegakkan tubuh. Keningnya mengerut, matanya menyelidik pria bertubuh semampai yang berdiri di seberangnya dengan sebuah kamera terkalung di leher.

"Apakah kita saling kenal?"

"Belum, tapi saya tidak keberatan memperkenalkan diri." Pria itu kemudian mengulurkan tangannya, dibarengi dengan seulas senyum tipis. "Alta."

Tatapan Gamma masih terpaku pada uluran tangan pria itu. Ragu menyusupinya, berebutan dengan berbagai pertanyaan yang berkecamuk dalam benaknya. Namun, dengan satu helaan napas, dia kemudian membalas uluran tangan itu. "Gamma."

"Boleh saya duduk di sini?"

Gamma hanya mengangguk sebelum meneruskan kembali apa yang sempat tertunda. Pun, ketika pramusaji membawakan satu porsi crème brûlée pesanannya, dia hanya mengucapkan terima kasih dan membiarkan makanan penutup yang berasal dari Prancis itu tidak tersentuh.

Realita JONESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang