"Ng, sakit... Ella," erang Emmanuel ketika tangan Daniella dengan cekatan membersihkan luka-luka di wajah Emmanuel. Dia tak sempat mengutarakan rasa senangnya karena Daniella tahu-tahu menyeretnya juga Vegard menuju ruang kesehatan. Beruntung seorang petugas disana belum terlanjur pulang. Karena tersisa satu orang, maka Emmanuel pun diobati Daniella dengan keterampilan seadanya sementara Vegard ditangani petugas ruang kesehatan.
"Lo ngapain sih, pake berantem segala. Nggak terima karena temen lo menang bola dari lo?" gerutu Daniella sambil menaruh kembali kasa dan obat merah ke atas meja.
Emmanuel mengabaikan celoteh cewek itu dan memilih menghadap ke cermin. Dia ingin tahu seberapa parah luka di wajahnya. Kalau sampai benar-benar tidak bisa diperbaiki maka Vegard akan habis ditangannya setelah ini.
"Lo liatin gue?"
Daniella membeku ditempatnya sebelum buru-buru menggeleng. Dia sadar tidak punya keperluan lagi di tempat itu jadi sudah seharusnya dia kembali ke kamar sekarang.
"Tunggu... kita belom bicara,"
Daniella menyentak tangan Emmanuel dan menatap cowok itu dengan tatapan memicing. Cowok itu tampak tidak berubah sedikitpun, tetap seenaknya dan tidak bisa diatur. "Gue nggak punya topik apapun buat dibicarain ama lo,"
"Daniella... ayolah udah berapa lama kita nggak bicara?"
Emmanuel setengah tersenyum walau otot wajahnya terasa perih saat melakukannya. Dia cukup menikmati reaksi bingung yang tahu-tahu tampak di wajah cewek itu. Tak ada yang keluar dari bibir Daniella membuat Emmanuel teringat sesuatu. Dia merogoh tas dan menarik secarik kertas dari sana.
Daniella memandangi cowok itu dalam diam sampai tangan Emmanuel menyodorkan kertas itu ke arahnya. "Apaan nih?"
Emmanuel mengangkat bahu sambil menarik tasnya dan berjalan menuju pintu keluar. "Gue anggap hubungan kita belum kelar karena syarat yang lo minta udah gue penuhi, bye."
Daniella dibuat terpaku untuk kedua kalinya ditempatnya berdiri. Kertas itu adalah salinan hasil studi semester kemarin. Di atas lembaran itu tidak terdapat satu pun nilai yang masuk kategori cukup. Hampir semua nilai A. Daniella menajamkan pendengarannya ketika terdengar gelak tawa di luar ruang kesehatan. Dari celah pintu dia melihat keakraban antara Emmanuel dan cowok yang sebelumnya dihajarnya.
"Lo apain dia kok belom nongol,"
"Gue bikin dia balik lagi ama gue..."
"Trus jauh-jauh lo manggil gue buat apa?"
Emmanuel hanya tertawa sambil memegang wajahnya. Daniella meringis mendengar pembicaraan itu. Dia enggan beranjak dari tempat itu dan menunggu sampai dua orang itu menghilang barulah dia kembali ke kamarnya.
*
"Apa yang kaulakukan?" Paris memerhatikan gerak gerik Acancia yang mondar mandir seperti menunggu kehadiran seseorang diruang tamu. Gelagat wanita muda itu terlalu mudah dibaca dari suasana yang berhasil ditampakannya melalui ekspresi wajahnya.
"Menunggu Emmanuel, apalagi memang..." kata Acancia sembari melirik ke belakang, ke arah jam besar yang bersemayam di sudut tembok ruang tamu.
"Oh, tumben sih, biasanya menungguku sekarang dia. Ada masalah apa memangnya?"
Acancia menatap Paris dengan tatapan menyela. Kadang dia bingung sebenarnya siapa diantara kedua cowok itu yang memulai pertentangan hingga detik ini. Disatu sisi dia tahu bahwa semua biang kerok adalah Emmanuel, namun disisi lain tidak menutup kemungkinan bahwa Paris juga tidak ubahnya dari adiknya itu.
"Hari ini Ben bilang akan mengajaknya makan malam karena dia berhasil melewati satu semester dengan nilai memuaskan."
"Benarkah?"

KAMU SEDANG MEMBACA
Better Enemy
RastgeleEmmanuel Juan adalah musuh abadi Paris. Dia akan melakukan apapun agar bisa melihat kembali luka dimata sang kakak atas kesalahan dimasa lalu keduanya. Termasuk menyeret Daniella mahasiswi idaman sang kakak ke dalam pusaran permainannya. Dia berhara...