Hari ini langit tak secerah biasanya. Burung-burungpun enggan bernyanyi karena awan hitam membuatnya malas. Aku duduk didepan jendela, menatap rintikan hujan yang kian lama kian deras mengguyur bumi Jakarta ini. Sejenak, terdengar seperti nyanyian kecil seolah biola memainkan melodinya. Aku tak tahu apa itu, mungkin irama hujan yang memberi ketenangan pada sore yang pergi dan malam yang mulai menjelang.
Aku, Zefanya Arabella. Panggil aku Fanya. Hujan ini dengan perlahan menghentikan rintikannya, dan sejenak, semburat pelangi senja memancar, meski direndung gelap, sang Tujuh warna itu tetap memancar dengan semestinya, indah dan terkesan eksotis.
Aku kembali menghela napas, mengingat kejadian beberapa hari yang lalu yang membuat aku kembali luka. Rafael, pria yang aku cintai meninggalkan aku dan lebih memilih gadis lain. Aku kira, dia pria yang setia padaku. Nyatanya, mataku dibuat buta oleh cintaku padanya.
"Maafkan aku, Fanya. Kau terlalu baik untukku.." itulah kata terakhir yang ia ucapkan hingga ia menghilang ditelan kenangan. Aku tak mengerti, semakin tak mengerti mengapa ia setega itu. Melupakan adalah hal terberat yang harus aku lakukan. Bagaimana mungkin aku bisa melakukannya karena Rafael sendiri duduk bersebelahan denganku dikelas.
"Fan, Rafael berdua dengan Cindy disana, mengapa kau hanya berdiam diri, kau sudah tak menyayanginya?" tanya sahabatku, Vella. Aku hanya menatap mereka sekilas, kemudian menoleh kearah Vella.
"Bukan aku yang menginginkannya, Vell. Apa boleh buat? Cinta tak bisa dipaksakan.." ujarku menunduk. Aku yakin, Vella pasti belum mengerti penjelasanku, seperti biasa, ia adalah gadis polos dan sedikit lemot.
"Maksudmu apa Fan? Hey! Rafael itu pacarmu, dan Cindy bukan siapa-siapa, kau berhak marah padanya."
"Aku tak lagi berhak marah padanya karena Rafael bukan siapa-siapaku lagi Vella. Jadi tolong jangan bahas ini lagi. Aku, aku..." Aku menundukkan kepalaku, tetesan air mataku semakin menganak sungai. Aku tak ingin siapapun melihat keadaanku yang Rapuh.
"Kau putus dengannya? Aku tak menyangka dia setega itu Fan.." Vella seperti merasakan sakitnya hatiku. Aku dan Vella adalah sahabat sejati, karena tanpa aku beritahupun, ia pasti akan tahu bahwa aku sedang tidak baik-baik saja meskipun aku berusaha menutupinya dengan senyuman.
"Lalu, bagaimana dengan Bisma?" tanyaku padanya.
"Kita punya masalah yang sama, Fan. Bisma tak pernah menaruh hati padaku. Hanya aku, aku yang selalu mengejarnya, dan yang dikejarpun semakin jauh bahkan tak terlihat.." ia menatap lurus kedepan. Ya tuhan, apa yang harus kami lakukan?
Saat pulang sekolah, aku mendadak tersenyum melihat Rafael berdiri diparkiran sekolah, karena ia yang memulai dahulu. Ia melambaikan tangannya, dan aku balas pula dengan lambaian. Tapi ternyata aku salah, di belakangku ada Cindy. Sedari tadi aku terlalu percaya diri bahwa Rafael akan kembali padaku.
Aku malu, malu untuk mengakui kalau aku masih menyimpan rasaku. Aku hanya bisa berlari, berlari tanpa tahu kemana kaki membawaku pergi. Hingga akhirnya aku sampai disebuah Danau, danau Kenanganku bersama Rafael.
"Rafaeeeeeeelllll.....!!! kenapa kau mengakhiri hubungan kita?! Kenapa? Salahku apa Raf? Aku tulus padamu tapi kamu tak pernah menganggap Rasaku. Apa ada yang salah dariku? Tolong jelaskan mengapa ini dapat terjadi?" aku berteriak sekuat yang aku bisa. Mengeluarkan segala keluhan yang mengganjal di hati dan pikiranku. Aku bebas berteriak disini karena tak ada seorangpun yang tahu tempat ini selain aku dan Rafael.
Aku menangis, menyesali setiap hari, bulan dan tahun yang telah aku lewati bersamanya. Dua tahun, Lima bulan, Tujuh belas hari, Sembilan jam, Empat puluh lima menit, Tiga puluh tujuh detik yang telah aku lewatkan dengannya. Mengapa kita harus betemu walau akhirnya kita harus terpisah? Tolong jelaskan padaku Rafael, kenapa?