Gadis itu berdiri mematung tepat di pagar yang membatasi pengunjung dengan udara bebas. Baru melihatnya dari jauh saja Revan sudah bisa merasakan betapa rikuhnya gadis itu. Ingin rasanya ia berlari dan memeluk gadis itu segera, merengkuhnya dan mengatakan bahwa seluruh dunia ini tidak ada apa-apanya jika mereka bersatu. Tapi Revan juga tahu itu egois, dan kalau dia melakukan itu sekarang, dia tidak akan pernah bisa melepaskan diri lagi.
Revan memaksakan langkah-langkahnya untuk mendekat pada gadis itu. Gadis itu tetap diam, hanya rambut dan kemejanya saja yang bergerak-gerak tertiup angin sore yang lembut. Revan menghela napas, sedikit menyesali keputusannya untuk menemui gadisnya ini. Dengan berada sedekat ini dengannya, rasa sakit yang mendekam di dadanya malah terasa semakin menyesakkan. Apa karena bergabung dengan sakit yang dirasakan gadis itu juga?
Hey, I know there are some things we need to talk about.
Akhirnya Revan sampai tepat di samping gadis itu. Dia berdiri menumpukan lengan di pagar, ikut memandangi kota dari ketinggian seperti yang dilakukan gadis itu. Sebisa mungkin dia membuat gestur seolah dirinya hanya pengunjung biasa, mereka hanya teman biasa yang kebetulan bertemu, dan... pokoknya, segala hal yang biasa. Diliriknya sebentar wajah gadis itu. Hampa. Tanpa perasaan. Tidak ada kesedihan terpancar disana, tidak ada apa-apa...
And I can't stay
Just let me hold you for a little longer now
Diam-diam Revan menghela napas, menetralkan ekspresinya, meniru gadis itu. Dia tersenyum, memejamkan mata dan berlagak menikmati angin yang meniup wajah dan menerbangkan rambutnya. "Clara," disebutnya nama gadis itu. Pelan, lembut, ringan... tapi tetap saja dadanya seperti tertohok. Perih.
Clara terlalu cerdas. Terlalu kuat. Terlalu tegar. Sudah merupakan hal yang hebat bahwa dia tidak terlihat habis menangis terus-menerus, seperti yang seharusnya terjadi kalau gadis ini bukan Clara. Dan sekarang ini, setelah Revan muncul di sisinya, dia tidak histeris lalu menghambur ke pelukan cowok itu. Dia memahami permainannya. Dia mengerti perannya dalam sandiwara ini.
"Bisa juga lo nemuin gue," kalimat itu mengalir dengan riang dari mulut Clara. Dia menoleh sebentar pada Revan, sebelah alisnya terangkat seolah menantang, dan bibirnya tersenyum tipis. Kemudian dia membuat gerakan seolah mengendus bahunya sendiri. "Perasaan aroma gue ga kentara tuh. Apa jangan-jangan elo tuh werewolf ya? Bisa ngebauin orang lain dari jauh?"
Revan tersenyum. Awalnya dia memang senang mendengar keriangan dalan suara Clara, senyumnya, juga candaannya. Tapi sebentar kemudian sakit menguasai hatinya lagi. Sakit karena harus membuat gadis yang disayanginya ini berpura-pura. Karena gara-gara dirinya gadis ini harus berusaha kuat. Karena demi menguatkan diri Revanlah gadis ini tidak menangis.
Lalu dalam hatinya Revan membuat janji. Janji bahwa pada saatnya nanti, dia akan melaksanakan tugasnya dengan sempurna. Pada saatnya nanti, Revan akan benar-benar menjaga Clara, mengobati rasa sakitnya, dan membuatnya tertawa lepas dengan tulus, tanpa berpura-pura.
I promise that one day I'll be around
I'll keep you safe
I'll keep you sound
"Bukan," balas Revan. "Ini karena gue tau lo itu orangnya gamon. Lo gabisa move on dari tempat ini, gabisa jatuh cinta ke tempat lain buat didatengin."
Right now it's pretty crazy
And I don't know how to stop or slow it down
Sebenarnya Revan begitu ingin melakukan semua itu saat ini juga. Menjadi tamengnya Clara, melindunginya... Tapi keadaan masih memegang kendali, dan waktu belum memberikan izinnya.
Clara tertawa geli. "Gausah nuduh gitu deh," dia menyikut lengan Revan membuat keseimbangan Revan sedikit tersentil. "Gue tau kok, lo dituntun sama rasa kangen lo ke gue yang sebegitu besarnya."
Giliran Revan yang tertawa keras. "Pede mulu lo."
"Bukan gue yang pede, elo yang gengsian gak mau ngaku," bantah Clara.
Kemudian keduanya tertawa bersama. Dan Revan mengangkat lengannya, merangkul Clara dan merapatkan gadis itu kepadanya.
When you miss me close your eyes
I might be far but never gone
Lama mereka tersenyum sambil memandangi kota di bawah sana. Clara menyandarkan kepalanya pada bahu Revan.
"Revan," bisik Clara.
"Hm."
"Kalo nanti gue yang kangen sama lo gimana?"
Revan menolehkan kepalanya sedikit ke bawah, melihat pada Clara yang masih tersenyum. "Gapapa."
Clara menjauhkan kepalanya. Memandang ke atas kepada Revan, dan tatapan mereka bertemu. Dengan wajah merengut, dia bertanya. "Gapapa apanya?"
"Apa yang buat lo kuatir?" tanya Revan pelan. "Kalo nanti gue jauh, itu ga berarti gue ninggalin lo. Ga akan pernah."
"Tapi lo pergi, Revan... Lo ga disini kayak gini lagi."
Revan mengubah posisinya menghadap Clara dan menarik Clara membuat mereka berdiri berhadapan. Kedua tangan Revan menggenggam bahu Clara.
"My Clara, dengerin gue," ujar Revan lembut, menatap kedua mata Clara lekat-lekat, mata yang jujur. Revan saat ini bisa melihat dengan jelas luka yang terpancar dari kedua mata itu. "Gue pergi untuk kembali."
Clara semakin cemberut. "Berapa lama ha? Lo kira pas lo balik nanti gue gak bakal udah punya pacar? Lo kira gue bakal gamon? Lo kira..." Clara berhenti, kata-katanya menghilang begitu saja di lorong otaknya.
"Pacaran aja. Palingan ntar pas gue balik lo gak kuat buat nolak gue," jawab Revan lembut dan tersenyum. "Dan lo, Clara, kalo mau nangis ya nangis aja kali. Ngapain diumpetin? Gue ada disini buat nemenin lo nangis. Biar nanti pas gue udah pergi, lo ga perlu nangis lagi sendirian tanpa gue."
Clara tersenyum, dan bersamaan dengan itu air matanya bergulir membasahi pipinya. Satu, dua, dan seterusnya. Dan saat tangisan itu semakin deras, dia menghambur ke pelukan Revan. Revan balas mendekap dengan erat, meredam tangis gadis itu di tubuhnya. Hatinya menjadi lebih ringan, karena pada akhirnya mereka berdua melepaskan drama itu. Menjadi diri mereka sendiri, menjadi dua orang yang sedang menggelar perpisahan.
Hanya sementara... Revan berjanji—lebih kepada dirinya sendiri—bahwa kepergiannya benar-benar untuk sementara. Setelah lulus dan memuaskan ayahnya, dia pasti datang. Entah itu untuk menetap, atau untuk menjemput Clara.
Dan semua itu, semua yang akan dia lakukan, bukan hanya untuk membebaskan diri dari kekangan ayahnya. Tapi juga untuk mengubah dirinya menjadi Revan yang lebih pantas untuk berada di sisi Clara. Agar tidak perlu ada kepergian yang kedua kalinya.
When you fall asleep tonight just remember that we lay under the same stars.
Dalam pelukannya, di bawah langit yang sudah penuh coretan oranye, di bawah kepergian matahari dan menyambut bulan-bintang, Revan berbisik. "Kita bakal selalu saling memiliki."
Clara merenggangkan pelukannya. Di bawah sinar bulan, ia tersenyum. "Dan kita bakal telponan, chatting, semuanya. Gue ga akan nangis lagi asal kita tetep ngelakuin semua itu. Janji?"
Revan mengangguk. "Ga perlu kuatir."
Take the piece of my heart
And make it all your own
So when we are apart
You'll never be alone
You'll never be alone... Clara.