Liam--untuk yang kedua belas kalinya dalam waktu kurun dua jam--memandang ke arah cermin. Kemeja kotak-kotak warna hitam, celana jeans belel hitam juga, dan sepatu fantofel, sangat tidak matching dengan kostum yang dia pakai saat ini. Kemeja, celana jeans belel, dan beanie dipadukan dengan sepatu fantofel. Satu kata yang mewakili: apa bagusnya?
Prom bagi mahasiswa jurusan MIPA ITB bukanlah prom yang muluk-muluk seperti prom di film-film. Prom adalah pesta biasa, yang bertujuan untuk mengenalkan diri pada junior-junior yang diundang. Lupakan soal tuksedo dan gaun-gaun mahal lainnya. Ini hanyalah sebuah pesta pertengahan semester di rumah Perrie Edwards.
Ketika Liam sampai di lokasi pada pukul enam sore malam itu, ada banyak sekali mahasiswa-mahasiswa dari jurusan lain yang berkerumun di sana. Joe Jonas, teman satu SMP Liam dulu, sekarang masuk kuliah jurusan Hukum, sedang minum bir di atas jok motor. Taylor Swift, mantan gebetan Liam, jurusan Sastra Jerman, sedang mengobrol dengan seorang cowok berambut pirang.
Oke, pesta yang bagus. Banyak bir dan minuman-minuman beralkohol lainnya. Liam berjalan menghampiri Zayn, yang memakai kaus distro agak kedodoran dan celana skinny jeans. Zayn terlihat sangat kecil dan kerempeng memakai baju itu.
"Hai," sapanya. "Masuk, yuk."
"Eh... apa? Oh, yuk," jawab Zayn, terkekeh canggung, tangannya ditarik Liam masuk ke dalam rumah mewah Perrie Edwards, cewek paling terkenal di sekolah yang masuk jurusan Teknik Kimia.
"Hey yo, Liam!" sapa Orlando, muncul di antara gerombolan anak laki-laki mabuk, diikuti oleh Sebastian, Troye, dan Connor tentunya (Rumus: di mana ada Troye, pasti ada Connor. Di mana ada Connor, di situ ada Troye). "Gimana kabarnya, coeg? Masih mikirin Louis hah?"
Orlando mengajak Liam dan Zayn duduk di meja panjang yang kosong. Cukup jauh dari keramaian. Seenggaknya tidak ada anak mabuk di sini.
"Gimana, Zayn? Betah sama Liam? Udah tiga bulan loh, mecahin rekor baru elu, Li," kata Connor. Zayn tertawa canggung.
"Kalian kapan... menikah?" tanya Troye, sambil membuka Google Translate.
"Apaan sih, saya belum mau nikah dulu," Zayn tersenyum awkward.
"Gue juga. Tapi gue udah mikirin mau bulan madu ke mana, jalan-jalan ke mana, ngerayain anniversary tiap taun di mana, dan suvenir kawinnya apa. Doain aja, semoga gue cepet merid terus bisa traktir kalian," Liam berkata santai, alhasil mendapat tatapan tajam dari Zayn.
"Bagus, bagus. Jangan lupa undang kita ke kawinan besok loh, Li. Gak diundang, gue bacok pale lu," ancam Connor.
"Wesss... Sabar bos! Tunggu aja bulan depan. Diundang, kok," Liam tertawa penuh kemenangan. Zayn menjitaknya. "Kamu nggak pernah bilang ke saya mau kawin bulan depan ya!"
"Tunggu aja, sayangku. Gue emang pelan, tapi pasti. Kita bakal kawin, keep cool," bisik Liam di telinga kanan Zayn, berusaha seduktif dan gagal. Yang dibisiki malah merasa jijik sekaligus tersipu malu.
"Ih, jijay banget sumpah," Connor berlagak muntah.
"Don't be like that! It's a good idea, though. Beside, they've been together for like, one... two... Three months! They're old enough to get married! And also they--" jari telunjuk Connor mendarat di bibir Troye, membuatnya bungkam.
"No more words, babe," kata Connor sarkastik, tapi ada rona merah menjalar di pipinya. Troye tersipu malu sampai telinga dan lehernya merah.
"Bentar deh, si pedo mana?" tanya Liam, menjulurkan kepalanya macam jerapah, mencari sosok Edward yang barangkali sedang ngegodain cewek di tengah ramainya pesta.
"Dia gak ikut, dia bilang ke gue kalo dia mau ngerjain tugas bareng pacarnya yang pertama," kata Tian, tangannya terulur menarik Liam untuk kembali duduk.
"Memangnya Edward punya berapa pacar?" Zayn angkat bicara, cukup mengejutkan Orlando dan Tian.
"You don't know? Are you fucking serious? Are you kidding me? Let me explain, Edward has almost, like, six girls. And he is a playboy. More than Liam," cerocos Troye, menyalakan rokoknya. "And once, he told me that he had his very first sex when he was in the third grade. It's amazing! Honestly, I'm joking, it's not amazing."
"What? When he was in the THIRD grade? You serious?!" seru Zayn kaget.
"Jangan kaget. Edward emang begitu," kata Tian, mengembuskan asap rokoknya ke udara. "Lagian nih, ya, lo tau Eleanor kan? Itu sebenernya mantan pacar Edward. Makanya Louis agak benci gitu sama dia. Eh sekarang, Louis malah mutusin Eleanor tanpa alasan terus pindah ke Kanada. Dapet cowok namanya Harry.
Padahal nih, ya, yang selingkuh tuh sebenernya Louis. Bangsat banget kan, dia yang selingkuh terus dia yang mutusin? Louis udah pacaran sama Harry tuh tiga taun, sejak kelas 2 SMA, mereka ketemuan lewat Facebook. Terus, ya namanya juga LDR, pasti banyak halangan. Louis kepincut sama Ele, pacaran deh. Bangsat kan ya?" Tian terkekeh maklum.
Liam ikut terkekeh. Sahabatnya itu belum berubah sejak dulu. Sejak SMP. Liam pernah memergoki Louis berciuman dengan guru Fisika masa SMA-nya, guru paling semok dan paling muda di sekolah. Dia juga pernah memergoki Louis melakukan itu bersama seorang gadis yang namanya Gisella.
Dosa apa gue punya sahabat kek gitu. Tapi biar lah, toh hidup ya hidupnya dia, batin Liam. "Sayang," katanya pada Zayn. Zayn menoleh.
"Pulang yuk. Kak Ara kayaknya udah nunggu di rumah."
"Mau ngapain?" perasaan Zayn udah nggak enak.
"Kita makan malem bareng. Jadi kan? Gaes, gue pulang doeloeh, ada acara spesial bareng kakak gue. Dadah," Liam menarik tangan kerempeng Zayn dan berjalan keluar dari pesta.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Angel Without Wings //ziam\\
FanfictionCase 1: Liam Payne, 19 tahun, skripsi gak kelar-kelar, playboy cap golok, begajulan, anak dugem, depresi kuliah, broken home, suka Matematika, PPKN, dan seabrek pelajaran anak SD lainnya, gak pernah serius sama suatu hubungan. Solusi:: Zayn Malik Ca...