Part 1

1.5K 112 42
                                    

       Langit mulai gelap. Sepertinya bumi akan menangis. Gilbran menyusuri lorong rumah sakit yang menjadi tempat tinggalnya selama 3 bulan belakangan ini.
 
       Dengan langkah berat Ia berjalan menuju taman rumah sakit, tempat favoritnya di rumah sakit ini, dengan dibantu oleh Andrian 'adiknya' yang membawa infus lengkap dengan penyangganya. Sedangkan Gilbran, tangan kanannya membawa gitar.

       Gilbran menghentikan langkahnya tepat di depan bangku kosong, lalu mendudukkan bokongnya di bangku tersebut dan menyimpan gitar disamping kanannya. Matanya menyapu daerah sekitar. Sepi. Sepertinya banyak orang yang enggan keluar karena langit mulai gelap.

       "Lo beneran mau disini?." pertanyaan Andrian membuat Gilbran memberhentikan pandangannya, kemudian menoleh menatap Andrian yang menatapnya khawatir.

       "Iya. Lo jemput gue 20 menit lagi." Gilbran menjawab pertanyaan adiknya dengan nada lemah, mungkin karena penyakitnya yang kian parah.

       "Tapi kan bentar lagi hujan gu-" Gilbran memotong ucapan Andrian. "Please kali ini aja, gue pengen hujan hujanan. Gue takut gak bisa hujan hujanan lagi."

       "Jangan bikin gue khawatir, gue takut kehilangan lo." ucap Andrian lirih bahkan hampir tidak terdengar, namun masih dapat di dengar oleh Gilbran. Gilbran tersenyum ke arah Andrian.

        Andrian menghela nafasnya berat, kemudian mengambil gitar kakaknya sambil berkata. "Gue bawa gitar lo, takut rusak." yang di balas anggukan oleh Gilbran. Andrian melangkahkan kakinya menjauh dari kakaknya.

       Tak lama setelah Andrian pergi meninggalkan Gilbran sendiri ditaman, hujan turun perlahan. Gilbran menikmati hujan dengan mata terpejam, menikmati sensasi yang di berikan hujan untuknya.

       Detik berganti menjadi menit, selama 15 menit Gilbran menikmati guyuran hujan. Kepalanya terasa berat, mungkin karena terlalu lama Ia di guyur hujan.

       Gilbran tidak merasakan adanya air yang jatuh mengenai kepalanya, hal itu membuat Gilbran mendongakkan kepalanya. Di lihatnya gadis yang mungkin seusianya tersenyum manis sambil memanyungi dirinya dan juga Gilbran.

          Gilbran menatap gadis yang belum dikenalnya itu. Beberapa saat menatap gadis itu membuat jantung Gilbran berdetak lebih cepat dari biasanya. Gadis itu terlihat manis dan cantik di mata Gilbran. Setelah menyadari ada yang aneh, Gilbran langsung memalingkan wajahnya.

       Gadis itu tersenyum hangat, kemudian bertanya pada Gilbran. "Lo di rawat di sini jugakan? Ngapain hujan hujanan sendirian." yang di jawab hanya deheman oleh Gilbran.

       "Gue boleh duduk sini engga?." gadis itu bertanya lagi, hanya di balas anggukan lemah Gilbran. Hujan perlahan terhenti, tapi Gilbran dan gadis itu sama sama enggan beranjak dari bangku yang mereka duduki.

       Hening beberapa saat, hingga gadis itu membuka suaranya memecahkan keheningan diantara mereka. "Gue Anesya Prastiwi. Panggil aja Anes." gadis itu memperkenalkan dirinya dan mengulurkan tangannya.

       "Gilbran. Gilbran Dirgantara." Gilbran menyambut uluran tangan Anes.

      "Lo korban kecelakaan?." pertanyaan Gilbran membuat Anes reflek menoleh, yang semulanya memandang taman rumah sakit, jadi memandang Gilbran.

        "Iya." Gadis itu menjawab seadanya. "Tapi kok lo gak make infus?." Gilbran bertanya lagi membuat Anes mendengus kesal, ternyata pemuda di sampingnya ini banyak bicara, Anes kira Gilbran adalah pemuda dingin, irit ngomong. Tapi nyatanya adalah sebaliknya.

       "Gue kabur."Anes terdiam sejenak kemudian melanjutkan kata katanya. "Gue capek di rumah sakit ini, gue selalu dikurung kaya kdi penjara. Padahal kan gue korban bukan pelakunya."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 17, 2016 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

GilbranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang