Chapter 6

4.9K 223 6
                                    

Mungkin salah satu syarat untuk memiliki izin membuka praktek sebagai psikiater adalam memiliki aroma terapi di dalam ruangannya. Sejak aku dulu hingga sekarang, setiap ruangan praktek yang aku datangi pastilah memiliki harum yang serupa. Untuk proses relaksasi begitulah kata Harry. Aku sudah 10 menit berada di ruangan ini menunggu Harry yang baru saja berpamitan dengan pasiennya yang lain.

Asistennya lebih memilih menghidangkan peppermint tea dibandingkan dengan secangkir kopi yang lebih kubutuhkannya sekarang. Harry's order , kira-kira seperti itulah ujar dari asistennya saat aku meminta untuk segelas kopi saja.

"Hello, Mione," sapa Harry saat memasuki ruangan ini.

"Hey," balasku yang langsung bangkit dari sofa nyaman miliknya lalu mengecup pipinya.

Dia duduk tepat di seberangku dengan kacamata yang selalu membingkai wajanhya dari tahun ke tahun.

"Bagaimana kabarmu?"

Aku diam. Bukannya tak mau menjawbanya, melainkan bingung untuk menjawabnya. Bahkan aku tak tahu apa yang tengah aku rasakan sekarang. Saat ini wajah Draco yang terbayang di pikiranku dan semua ucapan manis dan nakalnya. "Kau sedang bahagia," tandas Harry.

"Siapa sosok yang dapat membuat dirimu seperti ini?"

"Draco Malfoy," ujarku.

Satu hal yang aku sukai dari Harry adalah dia psikiater yang tak pernah berlaku seperti psikiater terhadapku, namun satu hal yang pasti aku tahu bahwa aku berada di tangan yang tepat. "Sebelum aku mengetahui lebih lanjut Mister Draco Malfoy ini, maukah kau bercerita tentang mimpi-mimpimu lagi?"

Aku mengangguk. Setelah menyesap teh yang disediakan asistennya aku mulai bercerita tentang apa yang menjadi mimpi dan halusinasi serta ingatan-ingatan yang kualami tentang masa laluku.

"Kau tahu bahwa ayahmu masih berada di rehabilitasi, bukan?"

Kembali aku mengangguk. "Kau tahu bahwa sosok yang kau lihat saat itu bukanlah dirinya. Kau hanya kelelahan dan bayang-bayang itu biasanya normal untuk datang," jelas Harry.

Stefan Granger, ayahku kini masih berada di rehabilitasi untuk para ketergantungan alkohol tingkat tinggi. Meskipun seperti itu, bayang-bayang dirinya akan mencariku sampai negara ini tak pernah lepas dari pikiranku. Aku selalu berpikir bahwa suatu saat ia akan berada di  hadapanku untuk membalas dendam akan segalanya.

"Lalu kapan terkahir kali kau meminum pil yang kuberikan?" tanyanya.

"Minggu lalu."

"Karena?"

Adegan-adegan saat Brown berteriak padaku di lorong itu seakan terulang lagi. Semua itu seakan menduplikasi setiap detail adegan saat kepolisian London menangkap ayahku beberapa minggu setelah ibuku menghembuskan napas terakhirnya.

Aku tahu gagal organ dalam yang menimpa ibuku adalah dampak dari semua perlakuan Stefan terhadapnya. Hampir seluruh tubuh ibuku dipenuhi lebam di akhir hayatnya. Aku begitu takut setengah mati saat itu, aku tahu bahwa hanya ibu yang kumiliki di dunia ini. Tetapi, aku tak mau kematiannya sia-sia. Pada satu malam, aku lari dari rumahku dan melaporkan semua yang terjadi kepada kepolisian. Umurku sudah sangat cukup untuk meyakinkan mereka bahwa ini bukan hanya ketakutan belaka. Aku menunjukan bekas luka yang kuterima dan meminta
mereka untuk menyelidiki kematian ibuku, meski semua itu berarti harus menggali kembali makamnya untuk proses otopsi. Setelah semua proses itu terlalui, akhirnya surat penahanan turun untuk menangkap Stefan Granger dan aku menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri bagaimana ia ditangkap di rumah kami dengan setengah sadar. Dengan matanya yang merah ia menatapku. Jantungku seakan berhenti saat ia tiba-tiba meronta dan berusaha untuk menerjang. "Kau yang melaporkan semua ini?" teriaknya.

SkyscraperTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang