1. Zulkarnain

69 17 12
                                    

     Zulkarnain Al-Harits, Zus. Panggil saja aku Zus.

     Aku sedang berdiri di koridor sekolah menunggu Azar. Dia teman sekolahku selama 9 tahun.

     Aku melihat pemandangan sekolahku dari sini, cukup bagus. Aku masih berdiri sampai aku menyadari bahwa ada orang lain yang memperhatikan ku dari dekat. Aku menengoknya. Aku  terkejut. Seorang perempuan dengan pakaian seragam sekolahku. Mungkin dia seangkatan denganku.

     Dia terus memperhatikan bet nama di bajuku. Aku cepat-cepat menoleh ke arah lain.

     "Namamu bagus, Zulkarnaen Al-Harits. Nama panggilanmu siapa?"

     Aku menatapnya bingung, ck dasar cewek aneh. Kenal saja tidak.

     "Hei aku sedang bertanya denganmu. Kau ini pura-pura tidak dengar atau kau memang tidak bisa mendengar?" ucapnya dengan nada suara yang lumayan keras.

     "Zus." Aku berjalan pergi. Dasar cewek aneh. Penganggu.

     Aku mengambil ponselku di dalam kantong, dengan cepat aku mencari kontak Azar.

     "Zar di mana sih? Lama banget"

     "Bentar, lagi turun tangga. Lo di mana?"

     "Di depan ruang bahasa."  Ucapku.

     "Tungguin gue!"

     Tolonglah, aku kembali menunggu Azar. Menunggu Azar. Untung saja dia sahabatku, kalau tidak mungkin aku sudah pergi meninggalkannya.

     "Woi!" ucap seseorang sambil menepuk bahuku.

     "Lama banget sih, ngapain aja?" Tanyaku.

     "Sorry sorry tadi gue abis ngambil buku dulu."

     "Buku apaan?"

     "Catetan geografi yang di pinjem Lea." Aku mengangguk pelan.

     Tidak ingin banyak bertanya aku segera mengajak Azar untuk pulang. Selama jadi anak SMA Azar tinggal serumah denganku.

     Aku berjalan beriringan dengan Azar. Orang bilang kita seperti anak kembar, padahal aku dan Azar beda banget. Ganteng nya aja gantengan aku, tapi kalo masalah pemikiran aku sama Azar itu satu paket. Sama.

     "Gue yang nyetir apa lo nih?" Tanya Azar.

     "Gue aja. Lo tinggal duduk manis," ucapku. Azar tersenyum dan mengangguk.

     Aku menyalakan mesin mobil. Sementara itu aku melihat Azar membuka pintu belakang. Aku mengerutkan kening.

     "Ngapain buka pintu yang itu?" belum sempat Azar duduk aku sudah bertanya.

     "Gue di sini aja ya, pengen tiduran wk,"

     "Emangnya gue supir."

     "Iya nih, supir seharinya Azar." Mendengar seperti itu aku segera menyuruhnya masuk.

     Aku menyetir dengan tenang, sementara Azar kulihat ia tertidur. Mungkin ia capek dihukum berdiri di tiang bendera karena ketahuan bolos di jam pelajaran Bu Erna.

     "Zar," panggilku.

     "Zar bangun, udah sampe. Tinggal ya?" Tak ada jawaban apa pun dari Azar. Ck dasar anak ini.

     Aku masuk ke dalam rumah. Sementara Azar, ia masih tertidur di mobil. Aku tak berniat menganggu tidurnya. Azar sudah besar. Sudah bisa bangun sendiri dan tahu tempat di mana seharusnya ia tidur.

TungguWhere stories live. Discover now