29. Menunggu Kepastian

3.8K 268 23
                                    

• Say You Won't Let Go, James Arthur.

•••

"Bisakah aku meminta satu permintaan terakhir? Kalau iya, bisakah aku memintamu untuk tetap tinggal?"

###

     WAKTU demi waktu mulai berlalu.

     Meski demikian, Raffa masih tetap di sana, duduk di antara deretan kursi yang dikhususkan untuk para tamu yang ingin menunggu. Dari tadi dia memang memutuskan untuk tidak pulang dan menginap di rumah sakit. Namun, dia tidak mungkin akan tidur di dalam ruang inap Adena karena keluarganya saat itu berada di dalam.

     Matanya terasa sangat berat dikarenakan hanya istirahat selama dua jam. Itu pun dia masih harus terbangun karena kebisingan yang diciptakan oleh para perawat dan dokter yang tanpa lelah berlari kesana-kemari saat menerima panggilan darurat dari kamar tertentu. Itu memang sudah biasa bagi mereka, tapi bagi Raffa tidak.

     Di tempat ini semuanya seakan 1x24 jam.

     Baru saja Raffa memejamkan matanya untuk beberapa menit, tiba-tiba harus terbangun lagi karena mimpi buruknya. Keringatnya bercucuran di pelipis, seakan udara dingin tak mampu menghalaukannya. Entah apa yang dimimpikan Raffa saat itu. Namun, perasaannya tak enak, kentara dari wajahnya yang berubah drastis.

     Nada-nada yang mengalun dari speaker pun mulai merambati telinga laki-laki itu. Sudah biasanya di tiap malam menjelang, pihak rumah sakit akan memutar sejumlah lagu ataupun instrumen dengan volume kecil. Setidaknya hal itu bisa menciptakan sedikit ketenangan di hatinya.

     Dia lalu mengamati jam di pergelangan tangannya. Sudah pukul enam pagi.

     Raffa membuang napasnya seraya mengusap wajahnya. Matanya tiba-tiba melirik pintu kamar Adena yang terbuka sedikit. Tak lama, seorang perawat keluar dari situ membawan catatan penting di dalamnya. Namun, pintu itu tidak ditutupnya kembali.

     Keingintahuan Raffa saat itu meningkat. Dengan penasaran, ia bangkit dan berjalan mendekati pintu nomor 613 itu. Namun langkahnya tiba-tiba terhenti di ambang pintu saat mendengar suara berat yang berasal dari dalam.

     "Belum ada tanda-tanda baik yang bisa membuat saya bernapas lega. Akhir-akhir ini sepertinya tidak ada kemajuan dari diri Adena. Kondisinya ... masih perlu dikhawatirkan."

     Terdengar embusan napas dari seorang wanita. Disusul dengan suaranya yang berkata, "Lalu bagaimana kondisi anak saya, Dok? Apa yang akan terjadi kalau-kalau..," Ucapannya tergantung. Dia mendesah keras.

     "Semua pilihan itu ada di tangan Adena sendiri. Dia yang memutuskan apa yang akan terjadi kedepannya. Saya hanya bisa membantu memberikan apa yang saya bisa, tapi sepenuhnya itu adalah hak Adena untuk memilih." Kata dokter itu.

     Di balik pintu, tangan Raffa terkepal. Rasanya ingin sekali ia masuk ke dalam, bertanya pada dokter itu maksudnya dengan nada kasar atau bahkan lebih parahnya lagi dia berani memukul pria tak bersalah itu. Hal itu memang terdengar berlebihan, tapi jika kalian berada di posisinya sekarang, kalau pasti tahu bagaimana rasanya.

     "Saya akan melakukan beberapa pemeriksaan lagi ke depan. Tapi, kalau masih belum ada perkembangan apa-apa dari dia, saya minta maaf," katanya lagi sebelum berjalan ke arah pintu.

     Laki-laki itu terdiam saat melihat dokter itu keluar dari ruangan Adena. Niatnya untuk melakukan hal tadi tiba-tiba terurung saat melihat kelelahan yang terpancar jelas di mata dokter bernama Andra itu. Hal itu membuat Raffa sadar kalau selama ini, Andra selalu mengusahakan hal paling baik buat Adena. Namun benar. Pilihan akhir itu ada di tangannya. Tangan Adena sendiri.

Lost And FoundTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang