Malam-malam jangkrik bersenandung
Seorang wanita berdiri mematung
Di sebuah pohon yang memandang bingung
Di sanalah ia digantung
Oh pohon gantungLelaki bertopi fedora itu terus menyanyikan lirik lagu itu. Orang-orang menyebutnya lagu pohon gantung. Lelaki itu berjalan menyusuri sebuah jalan beraspal yang membara. Jejak kakinya semerah darah. Ia membawa sebuah kopor berwarna coklat tua, sementara dipundaknya tersampir sebuah jaket lusuh.
Raut wajahnya datar, dengan mulut masih bersenandung. Pikirannya menembus waktu. Sementara angin kencang menerpa tubuhnya, membuat jaket di pundaknya berkibar. Dan hamparan rumput hijau yang membentang di sisi jalan menari.
Benar, gundik tak ada beda dengan lonte, pikirnya. Tapi, setidaknya gundik hanya disetubuhi satu lelaki. Otaknya meracau, sementara mulutnya masih menyanyikan lagu pohon gantung. Semilir yang menerpa wajahnya mengingatkannya pada wanita itu. Surtini, gadis desa yang hendak ia jadikan gundik.
"Aku lebih memilih mati," ucap Surtini dulu, ketika diminta lelaki itu menjadi gundiknya, "Gundik tak ada beda dengan lonte!" katanya kemudian.
Lelaki itu menyungging senyum. Kau dan pemikiran bodohmu, kenapa kau tak bercinta saja dengan anjing, pikirnya. Langkah kaki lelaki itu semakin cepat, kopor yang ia genggam semakin berat. Di ujung jalan ini, sebuah pohon mahoni tua berdiri gagah menyambut kedatangannya, daunnya yang rindang gemerisik diterpa angin.
Surtini, tak banyak yang ia ingat tentangnya. Ia hanya tahu, perempuan itu berasal dari keluarga miskin tak berguna. Namun kecantikannya telah menjadi buah bibir. Ketika akhirnya permintaannya ditolak oleh Surtini, lelaki itu hanya tersenyum simpul dan berlalu.
lelaki bertopi fedora telah sampai di ujung jalan. Jejak langkahnya yang semerah darah mengering. Mencipta aroma amis dan busuk. Pohon mahoni itu kini berada di depannya. Sepertinya pohon itu murung, mengetahui yang ia sambut adalah orang yang salah.
"Mengharapkan orang lain, mahoni tua?" tanyanya kepada pohon itu, yang tentu saja tak akan pernah ada jawaban.
Di naungan mahoni tua lelaki itu menurunkan kopor lalu membukanya. Seorang gadis cantik meringkuk di dalamnya dengan mata terbuka lebar. Wajahnya sepucat mayat. Namun dadanya naik turun, menandakan ia masih hidup.
"Kau bawa 'ku kemana?" ucap wanita itu perlahan.
"Tak dengarkah nyanyianku tadi, Surtini?"
"Kukira itu gonggongan." Surtini menatap tajam lelaki itu, "kau hendak membunuhku, Max?" ucapnya kemudian.
"Bukankah kau lebih memilih mati?" Lelaki itu membantunya berdiri, lalu, mengalungkan sebuah tali gantungan.
"Ya, itu lebih baik dari menjadi gundikmu," ucap Surtini.
Lelaki itu memandang Surtini jijik. Ia meludah, lalu mengikat tali itu kuat-kuat ke leher wanita di depannya. Dengan ketengan yang mengerikan, dilemparnya ujung tali itu ke subuah ranting yang cukup besar. "Mengapa tak bercinta saja kau dengan anjing, pelacur," teriaknya ketika ia hendak meraih ujung tali itu.
"Aku memang telah bercinta dengan anjing! Kemaluannya lebih baik dari kemaluanmu!"
Lelaki itu geram. Ditariknya tali itu dan membuat tubuh Surtini terangkat dengan leher terjerat. Tubuh Surtini berguncang, sebelum akhirnya kaku dengan lidah terjulur. "Tenanglah di neraka." Lelaki itu bergumam sambil berjalan ke belakang pohon. Ia mengambil sebuah pisau dan menarik garis lurus di pohon itu menggunakan pisau. Dilihatnya lagi garis-garis lain yang hampir memenuhi seluruh batang pohon. Ia menghitungnya.
"Seratus." Lelaki itu tersenyum, lalu pergi sambil menyanyikan lagu pohon gantung.
240615
KAMU SEDANG MEMBACA
Pohon Gantung
Mystery / ThrillerSeorang pria bertopi fedora tengah bersenandung. Aspal, rumput dan jaket di pundaknya belum tuli ternyata. Mereka semua tidak goblok, yang sedang dinyanyikannya adalah lagu pohon gantung.