Siang itu teriknya matahari sangat membakar. Rupanya September masih betah memeluk kemarau. Kudengar hasil panen tak begitu bagus bulan ini dan ternak banyak yang mati karena pakan yang tersedia hanya sedikit, namun para peternak dan petani wajib menyediakan hasil panen dan ternaknya untuk makanan para Lancana(4) dan dilarang menjualnya kepada siapapun karena pemasukan keuangan mereka yang menurun akibat kemarau berkepanjangan. Alhasil bukan hanya para Hungsu yang menjadi korban amukan Purana. Tetapi kami para tawanan juga akan sengsara. Tidak ada makanan yang disuguhi, bahkan sisa-sisa tulang pun tak ada tersaji dipiring-piring kami.
Siang berganti petang. Matahari sedikit tergelincir pertanda tak lama lagi malam datang. Inilah yang selalu kutunggu. Usai memberikan penghormatan dengan bersujud kepada para Tentara Purana, aku segera mengambil spot kesukaanku, dimana lagi kalau bukan diatas atap gubuk yang telah menjadi rumahku ini. Menunggu Angkasa memutar piringan hitam itu menjadi hobi baruku. Melihatnya menari lepas-bebas diatas dipan-dipan tempatnya biasa menari sungguh menyenangkan jiwaku
Jemari lentiknya terus bergerak seperti sayap burung, disempurnakan lagi dengan postur tubuh layaknya angsa putih. Begitu menawan. Disaat itu juga keberanianku mulai terkumpul. Dengan cepat kulompati pagar kawat ini dan pergi menghampirinya. Satu langkah kudekati rumahnya, satu detik itu pula dadaku semakin bergemuruh.Hingga kakiku berhenti tepat didepannya, Angkasa berhenti menari, melihatku dengan tatapan malunya. Perasaan apa ini, ketika senyumnya lepas padaku dan hatiku mencelos begitu saja. Biji mataku rasanya ingin keluar saja karena terlalu memujanya.
“Ada apa Tuan kemari?” Suara itu, suara yang selalu ingin kudengar.
“ Ak-aku ingin melihatmu menari… seperti tadi…” Sedikit gagap, tapi berhasil kuucapkan. Raut wajah Angkasa berubah seketika. Ada semburat rasa tidak suka disana setelah mendengar pengakuanku. “Maaf jika aku bertindak tidak sopan. Tapi kau harus tahu, bahwa tarianmu tadi begitu indah, Nona.”
Angkasa tersenyum lagi, tapi kali ini dengan deretan gigi putihnya yang sedikit terlihat. Tidak menari, Angkasa justru duduk dengan kedua kakinya yang dilipat kebelakang. Aku tidak mengerti mengapa dia tidak memperdulikanku sekarang. Tidak ingin sia-sia karena telah melompati pagar pembatas ini, maka nyaliku kukumpulkan lagi dan mencoba duduk disebelahnya.
“ Baru pulang?” Angkasa mengangguk.
“ Apa yang sudah kau kerjakan hari ini?”
“ Tidak banyak. Hanya menanam biji kopi,” aku tersenyum kecut mendengarnya. Menanam biji kopi dengan lahan seluas puluhan hektar masih dikata hanya, miris sekali.
“ Bagaimana dengan Tuan? Apa yang telah kau lakukan hari ini?”
“ Aku, Aku tidak melakukan apapun selain menerima hukumanku membersihkan kandang ternak milik Purana biadab itu.” Ucapku tegas karena sedikit marah mengingat apa yang telah dilakukan mereka untuk menghukumku yang mereka anggap bersalah karena telah diam-diam tidur saat waktu bekerja.
Setelah itu lama kami diam karena tidak tahu apa lagi yang akan dibicarakan. Mengusir kecanggungan, Angkasa lebih mengeraskan lagi lantunan musik dari piringan hitamnya. Sekarang suasana menjadi lebih bingar dari sebelumnya.
“ Dari mana kau mendapatkan piringan hitam itu? bukankah itu milik para Purana?” tanyaku lagi ketika menyadari tangan Angkasa melakukan gerakan kecil dan sederhana dalam mengikuti irama.
“ Itu imbalanku karena telah melakukan pekerjaan hebat hari ini,” ucapnya dengan bangga seraya menunjukkan telapak tangannya yang memerah karena memar dan goresan kecil karena luka.
“Angkasa, mengapa tanganmu begitu merah? Apakah mereka memukulmu? Kurang ajar! Beraninya mereka bertindak kasar terhadapmu!” Ah! Aku begitu khawatir dengannya. Namun Angkasa justru tertawa sangat lebar dengan tangan kiri yang mencoba menyembunyikan tawanya.
“ Mereka tidak pernah memukulku, Tuan. Mereka justru memujiku wanita kuat karena memindahkan batu-batu besar ketepi jalan agar kendaraan mereka dapat lewat dengan lancar. Aku orang yang baik, tidak mungkin mereka memukulku.”
“ Tapi kau terlalu memaksakan dirimu, Angkasa.”
“Tidak, Tuan. Itu telah menjadi kebiasaanku, dengan itu aku bisa mengoleksi Piringan hitam ini yang banyak. bukankah itu sangat menyenangkan?” Dia berucap sambil tersenyum, tapi aku benci itu. ketika dia terlalu pasrah terhadap nasib yang dimilikinya.
“ Tapi tetap saja aku tidak menyukai itu, Angkasa.” Kesalku.
“ Sayangnya aku sangat menyukai itu, Tuan.” Godanya yang membuatku semakin kesal. Namun hanya sementara karena Angkasa segera bangkit dari duduknya dan kembali menari.
“ Kau tidak ingin ikut?” Umpannya. Awalnya aku tidak mengerti maksud dari ajakan itu, namun ketika tangannya terulur kepadaku dan dengan alisnya yang naik turun, aku jadi paham bahwa dia mengajakku masuk dalam dunia tarinya.
Kami menari cukup lama, dengan tawa dan canda sebagai penghantarnya. Angkasa memutar, kutarik tangannya agar mendekatiku, lalu ia dengan gerakannya menjauh lagi dan begitu seterusnya.
Gerakannya yang cepat dan dinamis sangat kontras jika dibandingkan dengan tubuhku yang begitu kaku. Tapi aku menikmati semua ini, entah itu deru napasnya ataupun rambutnya yang sesekali tidak sengaja menghantam wajahku ketika ia berbalik.
“ Tuan, siapa namamu?” tanyanya disela napasnya yang memburu.
“ Namaku?” kulihat dia mengangguk dengan cepat.
“ Sedari tadi kau memanggilku dengan nama. Tidak adil rasanya jika aku tidak tahu namamu, Tuan”
Sebelum menjawab pertanyaanya, kutahan dulu suaraku untuk menunggu tubuhnya mendekatiku, dan ketika dia tepat dihadapanku hanya dengan radius sepuluh sentimeter saja, kutarik napasku dan mulai membisikkannya.
“ Namaku, Ry—
————————
Lancana(4)—> Lancana adalah tingkat kasta yang paling tinggi, dimana orang-orang yang berada ditingkatan ini merupakan raja dan keturunannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Angkasa
Short StoryIni kisah sederhana, tentang cinta yang hanya sampai sebatas khayal. Dengan memasukkan sedikit dongeng yang pernah kita bicarakan... Dan sedikit cinta yang pernah ku idamkan...