Tiga

10 2 0
                                    

Brak!!

Batu ditanganku berhenti melanjutkan kisah yang kutulis. Mataku langsung tertuju pada sumber suara dihadapanku. Kutatap lamat-lamat. Mataku nyalang. Gemuruh didada karena tak percaya apa yang kulihat. Rumah Angkasa dipenuhi polisi dan tentara militer. Tubuhnya dipaksa keluar rumah hingga suasana menjadi gaduh dan mengundang banyak mata untuk menyaksikan.

Apa yang telah dilakukan Angkasa hingga Tentara beringas itu murka?!
Tanpa kusadari tubuhku semakin condong kedepan, seperti akan meloncati pagar pembatas dari atas atap ini. Saudaraku didalam rumah juga ikut keluar untuk mencari tahu apa yang sedang terjadi. Aku segera turun dari atap dan menyusul saudaraku yang lain mengintip dari lubang kecil di salah satu sisi pagar ini.

“ Adrie, Apa yang terjadi?” tanyaku kepada adikku dengan menggoncangkan bahunya menuntut jawaban segera.

“ Hungsu itu ketahuan mencuri, Ryan”

“Apa? Mencuri?” Adrie mengangguk sambil memegang bahunya yang kugoncang tadi.

“ Hungsu bodoh itu mencuri piringan hitam milik Raja. Kudengar dia telah melakukannya sebanyak Sembilan kali. Bodoh, bisa-bisanya dia mencuri benda semacam itu.”

Aku tidak percaya itu semua, gadis baik sepertinya tidak mungkin mencuri. Tapi ketika kulihat mereka merampas piringan hitam dari tangannya, semua ini semakin jelas, dan bodohnya aku masih terdiam ditempat ini tanpa membantunya sedikitpun. Tubuhku kehilangan fungsinya sementara untuk bergerak.

“ Adrie, kenapa mereka sangat marah? Angkasa tidak mungkin mencuri.”

“ Ryan, Kau mengenalnya? Tapi kurasa tadi pagi dia bilang bahwa namanya adalah Anggun, bukan Angkasa.” Apa yang dikatakan Adrie? Angkasa-ku adalah Anggun? Sejak kapan Adrie tau namanya?

“ Adrie, mengapa kau tahu namanya?”

“ Tentu, tadi pagi ia baru saja menjual ikan-ikan sungainya kepadaku. Dan para tentara itu sangat marah, makanya sekarang gadis itu dihukum karena dua kesalahan besarnya.” Dadaku semakin tak karuan mendengar pernyataan Adrie. Kenyataan bahwa ia sengsara karena keluargaku membuat sukmaku tergerak, ingin membantunya. Biar saja aku yang menanggung kesalahannya. Kupanjati pagar ini, teriakan Adrie tak kuhiraukan karena tekadku sekarang cuma satu. Menyelamatkannya.

Tapi belum sempat menginjaki tanah rumahnya, tubuhku beku seketika. Mereka telah membunuhnya dihadapanku, membelah perutnya dengan piringan hitam tipis walau tumpul tapi berhasil membedah perut kurusnya. Kutahu itu sangat menyakitkan, menahan sakit hingga isi perutnya pecah, mengeluarkan apa yang ada didalamnya. Merah. Darah. Sangat mengenaskan untuk dilihat.

Bersama dengan itu amis menguasai hidungku, kukira ini aroma darah, ternyata asap sisa membakar ikan menembus indera penciuman ku. Aku tidak mengatakan ini lezat. Ini Amis. Menjijikan.

“ Ryan, mengapa kau masih disini? Yang lain sudah menunggumu didalam. Kita makan besar hari ini. ibu membuat ikan bakar dengan bumbu merah kesukaanmu. Cepat, nanti kau tidak akan kebagian.” Yuina, saudaraku yang lain berbicara dengan semangat dan suka cita. Mengapa keluargaku bisa makan dengan ekspresi itu disaat pihak lain justru menderita karenanya.

Ingin rasanya memuntahkan semua isi perutku untuk menebusnya, tapi tak ada yang keluar selain bintik bening serupa air dari sudut mataku.
Kenyataan ini lekaslah berhenti, karena aku benci merah, darah, ikan, keluargaku, bahkan diriku sendiri…
---------------------------------------✂

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 10, 2016 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

AngkasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang