Sebuah paviliun tunggal berdiri di tengah sebuah taman dengan pepohonan yang rimbun. Paviliun itu dipajang mewah dengan macam-macam perabot yang serba antik. Seorang laki-laki setengah baya bermuka merah duduk menyanding sebuah meja perjamuan. Ia duduk seorang diri, mulutnya menyungging senyuman sinis yang membayangkan kejudasan wataknya. Matanya selalu memandang keluar ke arah jalanan kecil di tengah taman, agaknya dia sedang menunggu kedatangan seseorang.
Langkah kaki yang ringan cepat sekali mendatang dari kejauhan, tampak seorang laki-laki setengah umur berpakaian pelajar muncul dijalanan berliku di tengah taman sana, dengan langkah dan gerak gerik yang sangat hormat dia memasuki paviliun terus memberi hormat kepada laki-laki muka merah, sapanya: "Entah ada keperluan atau petunjuk apa Pocu (pemilik) memanggil hamba?"
Senyuman sinis yang terbayang di ujung mulut laki-laki muka merah sudah sirna, pelan-pelan dia gerakkan tangan kanan serta berkata dengan kalem:
"Su-ya, silakan duduk."
"Hamba tidak berani."
"Duduklah, hari ini ada beberapa patah kata yang ingin kusampaikan kepadamu, sebelum kita bicara, marilah kau temani aku makan minum sepuasnya."
Laki-laki setengah umur yang dipanggil Su-ya (guru) itu mengambil tempat duduk di sebelah samping, wajahnya menampilkan perasaan was-was, kuatir dan jeri, sorot matanya guram dan menunduk tak berani adu pandang dengan sang Pocu.
"Hayolah, habiskan secangkir ini, jangan sungkan dan rikuh, sengaja kusuruh koki masak beberapa hidangan istimewa ini, tanggung lezat dan nikmat, cobalah, boleh kau buktikan sendiri."
Laki-laki setengah umur berdiri sambil angkat cangkir araknya terus ditenggak habis, sekilas sorot matanya bentrok dengan orang, terus menunduk lagi dengan tersipu-sipu, rasa tidak tenteram batinnya lebih kentara pada air mukanya. Sebaliknya laki-laki muka merah bersenyum dengan riang gembira, setelah menghabiskan beberapa cangkir sambil menik¬mati hidangan, tak tertahan laki-laki setengah umur buka suara.
"Pocu ada pesan apa, silakan katakan saja."
"Su-ya, sudah lima tahun kau berbakti dalam perkampungan ini, bukan?" tanya sang Pocu.
Laki-laki setengah umur mengiakan.
"Kau bukan orang she Sim?" Pocu menegasi.
Laki-laki setengah umur itu tersentak kaget sambil angkat kepalanya, sorot matanya membayangkan rasa takut dan ngeri, badannya gemetar, ternyata mukanya yang pucat itu kelihatan ada codet hitam bekas luka sebesar telapak tangan, kalau tanpa codet yang menyolok ini, wajah laki-laki pelajar setengah umur ini boleh terhitung laki-laki cakap.
Laki-laki muka merah tetap tersenyum lebar katanya lebih lanjut.
"Siangkoan Hong, terus terang aku amat kagum akan tekad dan keteguhan semangatmu, kau sengaja merusak muka, ganti she dan mengubah nama, selama lima tahun menyelundup ke dalam perkampungan kita ini, baru kemarin malam waktu kau mengadakan pertemuan rahasia dengan Samhujin di belakang taman itu baru aku tahu seluk be!uk persoalannya, ai ........."
Dari rasa jeri dan takut kini terunjuk rasa gusar dan dendam pada air muka dan sorot mata laki-laki setengah umur, mulutnya sudah terbuka hendak bicara, tapi urung.
Sikap sang Pocu rada berubah, katanya dengan nada menyesal.
"Siangkoan Hong, aku amat menyesal dan merasa bersalah terhadapmu, namun semua itu sudah menjadi kenyataan, tak mungkin diperbaiki lagi .........."
Menyalang sorot mata laki-laki setengah umur itu, katanya dengan dendam,
"Apakah Pocu tidak tahu bahwa Cu Yan-hoa sudah menikah dan sedang hamil .......?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Hati Budha Tangan Berbisa - Gu Long
General FictionWataknya dingin, angkuh, semua itu menjadikan jiwanya nyentrik. Untunglah di dalam lubuk hatinya yang paling dalam masih terbetik juga sifat pembawaan yang baik, jiwa luhur dan cinta kasih terhadap sesama manusia. Sayang keluhuran jiwanya ini sering...