Apa yang kau pikirkan tentang sebuah status yang bernama ‘pacaran’? Mungkin kebanyakan orang berfikir bahwa pacaran adalah hal yang sangat menyenangkan. Bisa bermanja-manja, mengukir kisah manis untuk masa tua nanti, atau itu merupakan sebuah hal wajib yang harus dilakukan semasa muda. Ya itu semua tergantung bagaimana ceritanya.
Aku juga tengah berada dalam status ini, bersama kekasihku bernama Kim Mingyu. Kami sama-sama berada ditingkat 3 SMA. Terhitung sudah hampir 3 tahun kami berpacaran. Aku dan dia berteman sejak masih duduk di bangku SMP.
“Sungyoung-ah ..” suara yang sangat kukenal memanggilku. Tepat diarah jam 3, ada Mingyu yang berjalan cepat menuju kemari.
“Hai! Park Seonsangnim sudah keluar?” tanyaku saat ia sudah menempatkan dirinya tepat disampingku.
“Ya. Aku juga tidak menyangka orang itu akan keluar kelas tepat waktu. Kau tau sendiri kan jika ia sangatlah rajin hingga waktu sudah habispun masih asyik menerangkan.”
Aku hanya tersenyum kecil menanggapinya. Hingga kurasakan sebuah tangan mengalung dibahuku, Mingyu menarik tubuhku agar lebih mendekat. Huft, aku sangat merindukan pria ini.
“Sebentar lagi lulus, masa sekolah ini akan berakhir. Pernahkah kau merasa berat untuk meninggalkan semua yang ada disini?” tanya Mingyu.
“Ya, 3 tahun berada disini sangat menyenangkan. Banyak sekali yang terjadi dan sangat sulit terlupakan.”
“Kau mau melanjutkan kemana?”
“Aku belum tahu. Kau sendiri?”
“Aku dan Jung Hani akan melanjutkan ke Kyunghee University.”
Deg!
Selalu saja ada nama gadis itu dalam pembicaraan kami. Lihat? Bahkan mereka merencanakan masa depan tanpa aku tahu. Jadi siapa kekasih Mingyu disini? Hahaha, bodohnya lagi-lagi aku hanya bisa tersenyum pahit.
“Kalian, merencanakan ini berdua?”
“Ya, kenapa? Ada yang salah?” tanya Mingyu dingin.
“Tidak. Hanya saja, kau bahkan tak pernah mengajakku untuk berbicara tentang kedepannya.”
“ Kau ingin mendebatkan masalah ini?”
Aku menggeleng cepat. “Tidak. Lagipula kau benar, aku takkan melanjutkan ke jenjang lebih tinggi, jadi untuk apa kita mendiskusikannya.” Sebisa mungkin aku mencoba tertawa, walau akhirnya yang terdengar malah sangat mengerikan.
“Mmm, Mingyu-ah .. boleh aku mengatakan sesuatu?” tanyaku ragu. Kulihat ia hanya menoleh kecil dan mengangguk.
“Kau dan Hani .. apa tidak bisa menjaga jarak walau hanya sedikit?”
Dan benar saja, reaksi yang diberikannya yaitu marah. Dengan wajah dingin dan kilatan mata yang sangat menusuk, aku hapal betul setiap yang ada pada dirinya. Sedetik kemudian ia melepaskan rangkulannya dibahuku, menarik kasar tubuhku agar bisa saling berhadapan.
“Kenapa kau terus mengatakan hal ini?”
“Kalian adalah sepasang sahabat yang terlewat dekat. Aku tahu jika Hani mencintaimu, Mingyu.”
“Tahu apa kau tentangnya?” tanyanya sinis.
“Aku juga wanita, aku tahu betul arti tatapannya padamu selama ini. Jung Hani .. dia mencintaimu, Mingyu. Tak bisakah kau percaya padaku?” suara yang keluar dari tenggorokanku bahkan terdengar parau sekarang. Ya, sebisa mungkin kutahan air mataku. Sudah terlalu sering aku menangis dihadapannya, bisa saja Mingyu muak.
“Aku dan dia sudah bersahabat dari kecil. Tak mungkin Hani menyimpan rasa padaku, kalau memang benar pun dia pasti sudah mengatakannya dari dulu. Jadi kau jangan pernah berani mencoba menghasutku agar aku dan Hani menjauh! Kau hanya akan melakukan hal yang sia-sia.”
Mingyu pergi begitu saja, meninggalkanku yang benar-benar sudah merasa sangat sesak dibagian dada. Menangis, hanya itulah yang rasanya bisa kulakukan. Beginilah kisahku dan dia selama 3 tahun, Mingyu selalu memproritaskan Hani diatas segalanya. Bahkan waktunya lebih banyak dengan Hani dibandingkan denganku.
“Haruskah aku menyerah?”
*****
Sial sekali! Saat jam pulang sekolah, hujan turun dengan derasnya. Hari ini aku tak membawa payung maupun mantel, mengingat bahwa tadi pagi cuaca sangatlah cerah dan tak mungkin akan turun hujan. Namun ternyata dugaanku salah, sekarang hujan turun dengan derasnya, udara juga menjadi sangat dingin.
Satu persatu murid meninggalkan sekolah ini. Ada yang membawa payung, ada yang menggunakan mobil dan ada juga yang dijemput oleh keluarganya. Sementara aku disini hanya bisa tersenyum pahit. Aku tinggal sendirian di apartement, ayah dan ibuku menetap di Jepang karena urusan bisnis mereka. Aku dibesarkan dengan uang, bukan dengan kasih sayang. Selama aku hidup, aku tak pernah punya teman. Bukannya aku tak ingin berteman, hanya saja tak ada satu pun orang yang tahan denganku. Sejujurnya, aku sendiri tak tahu apa yang membuat mereka tak bisa berteman lama dengan diriku ini. Namun yang kudengar dari banyaknya omongan sinis dibelakangku, aku menyadari jika mereka tak tahan karena sikap diamku. Ya memang, kuakui aku memanglah pemalu dan bisa dikatakan anti sosial. Waktuku hanya kuhabiskan untuk berdiam dirumah, tak pernah pergi bermain atau apapun. Hanya Mingyulah, yang bisa bertahan disisiku selama ini. Itulah yang membuatku terus mempertahankannya apapun yang terjadi.
Lagi-lagi aku menelan pahit saat melihat sesuatu disana. Mingyu dan Hani tengah melawan hujan dengan sebuah mantel dikepala mereka. Dengan manisnya Mingyu membuka pintu mobilnya untuk Hani, membiarkan gadis itu masuk ke dalam terlebih dulu. Dia tega sekali! Disini akulah yang kekasihnya, namun kenapa gadis lain lebih diperlakukan spesial dibanding aku? Aku bahkan bingung memikirkan cara bagaimana bisa pulang.
Dan akhirnya mobil mewah itu pergi meninggalkan sekolah. Seperti biasanya air mata sialan ini mengalir, aku sungguh tak bisa berbuat apapun selain menangis. Benci, aku benci dilahirkan dengan keadaan lemah tanpa bisa melawan segala yang membuatku menangis. Kenapa sangat menyedihkan hidup yang kujalani ini?
Sekolah benar-benar sudah terasa sepi, ditambah langit yang mulai gelap. Terpaksa aku menerobos hujan daripada aku tinggal disekolah sendirian. Aku tak seberani itu. Semoga saja bis yang akan membawaku cepat datang, sehingga aku tak perlu menunggu lama di halte.
“Kau Han Sungyoung, kan?” suara berat seseorang membuyarkan lamunanku. Kepalaku menoleh kesamping, ada sosok namja yang tingginya sekitar 180 cm dengan wajah dingin yang sangat tampan.
“Iya, aku Han Sungyoung. Apa kau mengenalku?” tanyaku pelan. Pria itu tersenyum kecil. Manis. Dibalik wajah dinginnya, ternyata ia menyimpan senyuman semanis itu.
“Aku Jeon Wonwoo, kelas 3-4. Kita pernah memesan taxi yang sama saat di Gangnam dulu. Kau tak ingat?”
“Ahhh, aku ingat. Maaf melupakanmu.” Aku tertawa garing dan menunduk hormat padanya. Bagaimana bisa aku melupakan hal itu? Mengingat bahwa kejadian itu terjadi belum sebulan lamanya. Otak ini benar-benar lambat!
“Mingyu tidak mengantarmu pulang?” tanyanya lagi.
“Dia sedang ada urusan. Kau tahu aku kekasih Mingyu?”
“Satu sekolah juga tahu akan hal itu.” Ia menjawab diiringi senyum lagi.
Aku hanya tersenyum simpul lalu kembali menghadap ke depan.
Hening.
Kami diam dengan pikiran masing-masing. Kenapa aku gugup? Kenapa dia tidak mengatakan apapun? Aku benci situasi yang canggung seperti ini. Tapi aku sendiri tak bisa mencairkan suasana. Jadi, apa yang harus kulakukan?
“Sungyoung-ssi ..” panggilnya lagi.
Aku menoleh padanya seketika. “Ya?”
“Bisakah lain kali aku mengajakmu pergi?”
*****
Seperti dugaanku. Aku jatuh sakit. Tubuhku memang sangat cengeng, tak bisa terkena air hujan sedikit saja. Itulah yang membuatku sangat sering jatuh sakit dan absen dari sekolah. Namun kurasa kali ini aku tak bisa lagi absen. Satu bulan lagi aku ujian, dan sekarang semua mata pelajaran sangat gencar melakukan pembahasan untuk menghadapi ujian penting ini. Jika aku tak sekolah, mungkin banyak pelajaran yang akan tertinggal. Jadi mau tak mau, aku harus tetap pergi ke sekolah.
Kulirik kecil ponsel milikku. Dari kemarin, Mingyu sama sama sekali tak menghubungi atau mengirim pesan padaku. Tak ada satupun kabar darinya. Sudah bisa kutebak, dia marah. Sebegitu pentingkah Hani? Sampai-sampai aku diabaikan seperti ini hanya karena masalah kecil.
Setelah mengenakan sweater pink pastel, sesegera mungkin aku pergi dari apartement. Suhu tubuhku terasa sedikit lebih panas dari biasanya, ditambah dengan tenggorokan yang sakit, dan kepalaku juga terasa pusing. Semoga saja ini akan berkurang saat aku memasuki kelas nanti. Setiap orang pasti takkan bisa mencerna pelajaran jika tubuhnya dalam keadaan tak baik.
Seperti biasanya aku menunggu dihalte. Jika kalian pikir Mingyu sering mengantar atau menjemputku, maka kalian salah. Dia akan melakukan itu jika memang ia ingin. Tapi jika tidak, ya pasti dia akan berangkat dengan Hani lalu pulang dengan Hani juga. Disini rasanya aku adalah selingkuhannya, bukan kekasihnya. Dan lagi-lagi, yang bisa kulakukan hanyalah diam, diam dan diam. Entah sampai kapan ini akan terjadi.
Bis akhirnya datang, tanpa menunggu lama lagi aku masuk kesana. Kursi cukup penuh, ada yang kosong tapi disebelahnya ada orang lain. Sekali lagi kujelaskan, aku tak pandai beramah-tamah dan permisi pada orang itu agar aku bisa duduk disebelahnya. Jadi sekarang, aku memutuskan untuk berdiri.
“Sungyoung-ah ..” seseorang memanggilku dari belakang, refleks aku menoleh. Ada Wonwoo disana yang memberi isyarat untukku agar duduk disampingnya. Ya, kurasa duduk disamping Wonwoo lebih baik daripada berdiri disini.
“Kita bertemu lagi.” Ucapnya hangat.
“Ya. Aku tak tahu jika rumahmu searah denganku.”
“Kau tak pernah memperhatikan sekitar, ya? Hampir 3 tahun aku sering sekali satu bis denganmu. Tapi kau tak pernah menyadari itu.”
“Jinjja?” Wonwoo hanya mengangguk.
Separah itukah sikapku? Kenapa rasanya aku benar-benar sangat tak peduli dengan keadaan sekitarku. Selalu saja terfokus dengan duniaku sendiri. Seolah memang aku ini hidup tanpa perlu bantuan orang lain. Jujur saja, ingin rasanya aku merubah sikapku. Menjadi lebih hangat dan terbuka pada orang lain, agar bisa menyenangkan lalu punya banyak teman. Tapi ternyata itu semua tak semudah yang kubayangkan. Sikap yang kuterapkan dari kecil, tak bisa semudah itu kurubah sekarang.
“Kau tak dijemput Mingyu juga?” lagi-lagi pria ini bertanya tentang Mingyu.
“Tidak. Aku lebih suka naik bis dari pada naik kendaraan pribadi.” Bohong? Tentu saja. Aku sangat ingin menjadi pasangan normal pada umumnya. Memiliki kekasih yang menyimpan perhatian lebih padaku dan bisa menghabiskan banyak waktu hanya dengan aku seorang. Tapi ternyata semua itu hanya bisa tumbuh dalam bayanganku. Mingyu ingin menjadi kekasihku saja itu sudah cukup ajaib. Jangankan tertarik, lelaki menyapaku saja seolah enggan.
Akhirnya kami sampai di depan gedung sekolah. Aku berjalan lebih dulu dan disusul Wonwoo dibelakang. Pria ini ramah walau wajahnya terlihat dingin. Istilah ‘Don’t jugde book by the cover’ itu sepertinya memang benar. Kupikir dia adalah pria dingin yang arogan dan irit bicara seperti yang sering kulihat di drama, tapi ternyata tidak. Wajahnya memang sudah disetting seperti itu dari sananya, namun sifatnya sangat bertolak belakang. Aku ingin berteman dengan Wonwoo jika aku bisa.
“Sungyoung-ah, aku ke kelas dulu, ya? Kalau kau mau, nanti siang kita makan bersama di kantin.” Ujarnya.
“Kau mengajakku makan siang?” tanyaku tak percaya.
“Wae? Kau tak mau?”
Aku menggeleng cepat. “Selama ini tak pernah ada yang mengajakku makan siang bersama kecuali Mingyu. Aku merasa .. senang.” Jawabku dengan mata berkaca. Ok, anggaplah aku sangat kekanakkan.
Wonwoo lagi-lagi tersenyum. Tangannya terulur dan mengacak lembut puncak kepalaku. “Kita berteman mulai sekarang. Kau mau?”
“Ya Tuhan! Kau mengajakku berteman? Apa aku tak salah?” lagi-lagi reaksi berlebihan yang kuperlihatkan. Ini terlalu menyenangkan untukku.
“Kau gadis manis yang imut. Aku akan sangat senang jika kau ingin berteman denganku.”
“Tentu saja aku mau.” Jawabku dengan senyum lebar.
Tangannya kini mencubit pelan pipiku. “Mulai sekarang kita berteman. Aku akan menunggumu di kantin nanti siang.”
Aku mengangguk semangat. Sakit yang kurasakan sepertinya sedikit berkurang. Aku merasa lebih baik. Hingga akhirnya Wonwoo berjalan menjauh dengan lambaian tangannya. Secepat mungkin aku membalas lambaian tangan itu. Rasanya seperti terlahir kembali, inilah kebahagiaan kecil untukku.
“Siapa dia?”
Deg!
Suara itu, suara yang sangat familiar untukku. Sontak saja aku berbalik dan mendapati Mingyu yang kini berdiri dibelakangku. Dia tak sendiri, ada Hani disampingnya. Lihat? Bahkan gadis itu tak canggung mengalungkan lengannya dilengan Mingyu. Dan Mingyu terlihat sama sekali tak keberatan ataupun risih. Padahal kini yang ada dihadapannya adalah aku, kekasihnya.
“Dia Jeon Wonwoo, teman baruku.” Jawabku pelan. Kulihat Hani tertawa geli, begitupula dengan Mingyu yang tertawa sinis. Tuhan! Aku ingin menangis lagi sekarang.
“Teman baru? Sungyoung-ssi, bukankah itu terdengar sangat kekanakkan?” tanya Hani yang lebih menjurus pada sebuah ejekan.
“Apa ada yang salah?” tanyaku heran. Bahkan Mingyu sama sekali tak membelaku. Dia hanya diam dengan tatapan tajamnya.
“Tidak tidak, lupakan saja!” Hani tertawa puas sekali. “Mingyu-ah, aku ke kelas dulu. Kau bisa selesaikan urusanmu dengannya.”
“Ya. Jangan lupa pulang sekolah nanti!” ucap Mingyu dengan senyum tipisnya. Kulihat Hani mengangguk dan mengedipkan sebelah matanya pada Mingyu. Setelah gadis itu pergi, Mingyu kembali menatapku. Pandangannya berubah tajam, berbeda ketika ia menatap Hani. Aku semakin terluka melihatnya.
“Kau sudah berani berdekatan dengan pria lain dibelakangku?” tanyanya dingin.
“Kami hanya mencoba berteman. Dia ramah dan baik padaku, kau tahu kan selama ini aku butuh seorang teman. Bahkan kau sendiri yang menyuruhku mencari teman agar tak terus bergantung padamu.” Jelasku selembut mungkin.
“Tapi apa harus pria? Apa tidak bisa wanita? Alasan! Bilang saja kau ingin berselingkuh dibelakangku.”
“Demi Tuhan, Kim Mingyu! Aku tak pernah berfikir seperti itu. Kau tahu sendiri jika tak ada satupun wanita yang ingin berteman denganku.”
“Itu karena kau tak bisa merubah sikapmu. Cobalah menjadi hangat dan sedikit bersahabat dengan sekitarmu! Sudah beberapa kali kukatakan tentang hal ini, tapi kau tak pernah mendengarku.”
“Aku sudah mencobanya, tapi semua itu tak semudah yang kau fikir.”
“Sudahlah! Kau memang keras kepala dan tak bisa menurut. Aku sangat kesal denganmu, Han Sungyoung!” desisinya tajam.
Setelah itu ia pergi begitu saja, meninggalkanku tanpa peduli sama sekali. Kepalaku tertunduk, berusaha menyembunyikan tangis menyedihkan ini. Kenapa hati ini tak pernah terbiasa dengan segala sikap Mingyu? 3 tahun aku merasakan semua rasa sakit ini sendirian. Tanpa pernah mengeluarkan atau mencurhakan pada siapapun. Hanya sendiri, semuanya kuhadapi sendirian.
****
Badanku terasa semakin tak karuan. Kepala ini semakin terasa berat, tenggorokanku semakin sakit bahkan ketika aku menelan saliva, dan kurasa suhu tubuhku semakin bertambah panas. Udara mendadak terasa dingin, tapi peluh membasahi keningku. Sekuat tenaga aku berusaha untuk berjalan. Perut ini terasa lapar dan aku tak bisa diam saja dikelas. Tak ada satupun yang bisa kumintai tolong, sekali lagi kuingatkan . . aku tak punya siapapun.
Saat aku melewati kelas Mingyu, aku tak melihat sosoknya disana. Hanya ada beberapa teman kelasnya yang memandangku sinis. Tatapan yang selalu aku dapatkan. Diriku sebegitu menyebalkan, kah? Haha, entahlah. Yang penting mereka tak menyakitiku secara fisik. Aku sangat benci jika bully sudah sampai pada kekerasan fisik, itu lebih menyeramkan lebih dari apapun.
Saat sampai di kantin, aku melihat Mingyu ada disana. Tentu saja Hani juga disana, ya walaupun mereka tak berdua kali ini. Ada Minghao, Jun dan Seungcheol. Mereka adalah geng Mingyu, yang juga seolah membenciku. Aku tak mungkin bergabung disana, karena sudah pasti aku dikucilkan dan dibully. Walaupun begitu, Mingyu seolah tak peduli.
“Sungyoung ..” ditengah ramainya suasana kantin, samar-samar aku mendengar suara seseorang memanggilku. Hingga mataku menangkap sosok Wonwoo yang tengah melambaikan tangannya ke arahku, duduk dipojok cafetaria dekat kaca yang menghadap ke arah lapangan.
"Sudah lama menunggu?' Tanyaku yang kini menarik kursi di depannya.
"Tidak juga. Aku juga baru keluar dari kelas dan buru-buru kesini. Takutnya kita tak mendapat bangku." Ucapnya dengan senyum tipis.
"Wonwoo-ssi, aku pesan makanan dulu."
Namun diluar dugaan, Wonwoo malah menahan pergelangan tanganku. Sontak saja itu membuatku terdiam seketika. Ini kontak fisik pertama yang kulakukan dengan pria selain Mingyu. Tentu saja rasanya aneh dan hatiku sedikit berdebar.
"Kau pucat sekali. Apa kau sakit?" Tanyanya pelan. Aku hanya menggeleng kecil, tak ingin dia tahu jika aku memang sedang sakit.
Lagi-lagi aku dibuat terkejut saat telapak tangannya menyingkap poni dan menyentuh dahiku. Wajahnya berubah serius dengan tatapan yang cukup tajam.
"Kau sakit, Sungyoung. Kenapa menutupinya?" Tanyanya dengan nada gusar. Apa dia khawatir?
"Aku tak apa. Ini hanya demam biasa."
"Sudah ke dokter?" Aku hanya menggeleng kecil. "Kau harus ke dokter, Sungyoung. Bagaimana jika pulang sekolah nanti kau kuantar kesana?"
"Tidak perlu. Itu hanya akan merepotkanmu. Aku bisa sendiri." Ucapku dengan nada pelan.
"Ah, apa kau akan pergi bersama Mingyu? Ya, lebih baik kau minta tolong padanya. Setidaknya ia harus menjadi kekasih yang lebih berguna, kan?"
Aku tak tahu pasti, tapi yang kutangkap adalah nada tak suka dan sinis. Kenapa reaksi Wonwoo seperti itu? Apa dia mulai membenciku juga? Ini bahkan belum satu hari aku berteman dengannya.
"Sungyoung-ah, jika ada sesuatu yang kau butuhkan .. jangan sungkan untuk meminta bantuan dariku! Kapanpun, aku akan ada untukmu."
****
Akhirnya jam pulang sekolah berbunyi. Sedari tadi aku terus berdoa agar waktu bisa berlalu dengan cepat. Sungguh, aku sudah tak kuat dan ingin cepat sampai di kamar. Tidur dan berbaring sampai aku sembuh.
Sepanjang perjalanan menuju gerbang, pikiranku kembali berkelana. Mengingat kalimat Wonwoo saat di kantin tadi. Kulihat, pria itu begitu tulus saat mengucapkan kalimat itu. Sorot matanya sangat teduh, ditambah lagi sikapnya memang sangat hangat padaku. Bahkan Mingyu sama sekali tak pernah seperti itu padaku.
Hingga langkahku terhenti saat aku melihat Mingyu dan Hani yang tengah berjalan bersama menuju mobil. Secepat mungkin aku berjalan menghampirinya. Bagaimanapun, aku sangat membutuhkan seseorang saat ini.
"Mingyu-ah .." panggilku pelan. Tenggorokan ini terasa sangat sakit, bahkan untuk berteriak pun seakan tak bisa.
Pria itu berbalik, diikuti dengan Hani. Wajahnya kembali dingin dan tatapannya selalu tajam. Bisakah ia memperlakukanku lebih layak? Aku ini bukan musuhnya.
Kulihat Mingyu berbicara pelan pada Hani, seolah meminta ijin untuk menghampiriku. Hei, kau tak perlu ijin siapapun untuk menemui kekasihmu ini! Kecuali orang tuamu tentu saja.
"Ada apa?" Tanyanya datar.
"Bisakah antar aku pulang? Aku tak enak badan." Pintaku seraya memegang tangannya.
"Kau tak enak badan? Tapi kulihat di kantin tadi kau nampak sangat mesra dengan Wonwoo. Kenapa tidak minta dia saja untuk mengantarmu pulang?" Sinis Mingyu.
Mingyu, kenapa harus berdebat seperti ini disaat sekarang? Tak bisakah kau mengerti aku walau sekali?
"Aku makan dengannya karena kau bersama teman-temanmu. Kau tahu sendiri jika mereka selalu sinis padaku. Aku tidak nyaman dengan mereka semua."
"Itu hanya perasaanmu saja. Jadi orang jangan terlalu sensitif! Perlakuan seperti itu saja kau bilang sinis. Berlebihan sekali!"
Lihat? Bahkan dia masih menyalahkanku disaat seperti ini. Tak pernah sekalipun aku benar di matanya.
"Jadi, apa kau bisa mengantarku pulang? Aku tak bisa berdebat panjang dan aku benar-benar lemas."
Mingyu terdiam nampak berfikir. Kepalanya menoleh ke arah Hani. Ya Tuhan! Bahkan kekasihku sendiri bimbang hanya untuk mengantarku.
"Aku akan memesankanmu taxi, atau aku akan minta tolong Jun untuk mengantarmu pulang."
Genggaman tanganku semakin erat memeluk lengannya. Sial sekali! Air mata bodoh ini terjatuh disaat yang tak tepat. Aku menangis lagi dihadapan Mingyu.
"Mingyu, aku butuh kau! Aku tak butuh orang lain. Kumohon, bisakah kali ini saja aku diperlakukan layaknya kekasihmu?"
"Maksudmu selama ini kau tak kuperlakukan selayaknya kekasih, begitu?" Tanya geram.
"Bukan seperti itu .."
"Lalu seperti apa?" Bentaknya kasar. "Aku sudah ada janji dengan Hani dan tak mungkin kubatalkan. Kau akan kupesankan taxi. Jadi jangan bertingkah manja!"
Saat genggamanku terlepas, seolah ada sesuatu dihatiku yang juga ikut pergi. Tanpa suara, tanpa isakkan .. aku menangis. Menatap punggung itu yang mulai menjauh.
"Dia tersiksa saat bersamaku. Haruskah aku melepasnya sekarang?"
****
Menit berganti menit, jam berganti jam, hari berganti hari dan terus seperti itu. Benar-benar tak bisa kubayangkan, 3 hari lagi ujian berlangsung. Setelah ujian, semua selesai untukku. Jika siswa lain akan kembali disibukkan dengan ujian untuk masuk universitas, sementara aku tidak. Entahlah, aku tak berniat melanjutkan jenjang yang lebih tinggi. Percuma saja, aku akan kembali menjadi orang yang dikucilkan. Jujur saja, aku sangat lelah.
Jika kalian bertanya padaku tentang hubunganku dengan Mingyu sekarang, jawabannya adalah sama saja. Tak ada yang berubah. Aku selalu dinomorduakan dari Hani. Tapi kurasa yang sekarang ini lebih parah dari yang dulu. Jika dulu Mingyu masih menyimpan sedikit perhatian padaku, sekarang benar-benar tak ada. Pesanpun harus aku dulu yang mengirimnya, baru setelah itu dia yang akan membalasnya. Begitu juga dengan panggilan telepon, selalu aku yang memulai. Ingin bertemu dengannya saja aku harus membuat janji lebih dulu. Bayangkan! Apa itu tak terlalu keterlaluan?
Dan sekarang yang lebih banyak menemaniku ada Wonwoo. Salahkah aku yang kini mulai merasa nyaman padanya? Wonwoo jauh lebih banyak memberikan perhatiannya dibanding Mingyu. Jadi siapa sebenarnya kekasihku?
Hari ini aku melihat Mingyu berangkat tanpa Hani. Suasana sekolah belum terlalu ramai. Senyum kecil terbit begitu saja dari wajahku, melihat Mingyu saja merupakan kebahagiaan kecil untukku.
Grep!
Kupeluk erat tubuhnya dari belakang. Mingyu terdiam, tak menolak ataupun membalasnya.
"Aku merindukanmu, Mingyu." Lirihku pelan. Tuhan! Memeluknya seperti ini saja terasa sangat sulit untukku.
"Tumben kau tidak berangkat bersama Hani." Ucapku yang kini melepaskan pelukan dan beranjak berdiri didepannya.
"Kau juga tumben tidak berangkat bersama Wonwoo."
Lagi.
Ini bahkan masih terlalu pagi untuk berdebat. Apa ia tak pernah merindukan masa manis bersamaku? Kenapa jika bertemu selalu saja mengajakku berdebat? Sebegitu mengesalkankah wajahku ini? God!
"Bisakah kita tak perlu berdebat sekali saja? Aku ... lelah." Lirihku dengan senyum pahit. "Aku ingin kau manja, kau berikan kasih sayang dan perhatian lebih padaku. Aku ingin kau khawatir, menjaga dan melindungiku dengan caramu. Bisakah aku mendapat itu darimu?"
Mingyu diam.
"Aku mencintaimu, Mingyu. Sangat mencintaimu. Yang kupunya sekarang hanyalah kau seorang. 3 tahun aku bersabar, mencoba mengerti tentang kedekatanmu dan Hani. Selama itu juga aku selalu berusaha mengobati luka yang kau torehkan. Tak pernah sekalipun kau mengatakan 'maaf'. Aku juga tak pernah bisa mendapat panggilan 'sayang' darimu. Selama ini kau hanya memanggil namaku. Aku kadang berfikir, apa kau mencintaiku?" Cecarku panjang lebar.
Dan Mingyu hanya terdiam dengan matanya yang selalu menajam. Ingin sekali kulihat pancaran lembut dari sorot matanya itu.
"Kau terlalu berlebihan. Jangan membebaniku dengan omong kosongmu! Sebentar lagi kita ujian, jadi pikiran saja tentang pelajaran!"
Dia pergi, lagi.
Selalu seperti ini. Aku ditinggalkan sendirian, tanpa peduli dan tanpa rasa iba. Tak berharga kah aku untuknya?
Hingga sebuah tepukan pelan di bahuku menyadarkanku dari lamunan. Saat menoleh aku mendapati Wonwoo yang tersenyum manis.
"Jangan sedih! Aku ada disini untukmu."
****
"Wonwoo-ah, aku mau ke perpustakaan dulu sebentar." Ucapku pada Wonwoo yang kini tengah berada di depan loker miliknya.
"Ingin kuantar?" Tawarnya.
Aku menggeleng kecil dengan senyuman. "Kau tunggu digerbang saja. Aku takkan lama."
Pria bermarga Jeon itu hanya mengangguk dan tersenyum kemudian. Kelasku keluar cukup telat. Sehingga banyak siswa yang sudah pulang lebih dulu, suasana sekolah menjadi sedikit lebih sepi. Untung saja Wonwoo masih setia menungguku untuk pulang bersama.
Di perpustakaan juga sudah sangat sepi. Hanya ada ibu penjaga dan rekannya. Setelah mengambil buku yang akan kupinjam, secepat mungkin aku menuju meja guru itu dan mencatat.
"Sungyoung-ah, kau akan melanjutkan kemana?" Tanya Min Seonsangnim, penjaga perpustakaan.
"Aku takkan melanjutkan ke universitas."
"Waeyo? Kau tergolong pintar. Kenapa tidak dilanjutkan?"
Aku hanya tersenyum kecil. "Aku akan jadi entrepreneur."
Min Seonsangnim tertawa kecil dan menepuk bahuku pelan. "Apapun yang kau pilih, semoga itu adalah yang terbaik."
Dan aku juga hanya membalas itu dengan sebuah senyuman. Setidaknya ada satu guru yang mendoakanku. Itu cukup baik.
Setelah selesai mencatat, sesegera mungkin aku pergi dari sana. Tak mau membuat Wonwoo menunggu lama. Sampai memasukan buku ke dalam tas saja kulakukan sambil berjalan.
Bruk!
Tubuhku sedikit terpental ke belakang. Seseorang telah kutabrak karena kelalaianku. Secepat mungkin aku membungkuk, meminta maaf dengan benar. Berharap bahwa orang yang kutabrak ini tak memperpanjang masalah.
"Dimana matamu, bodoh?" Bentaknya kasar.
Secepat mungkin aku mendongkak saat menyadari suara siapa itu. Jung Hani! Wanita itulah yang kini ada dihadapanku.
Saat aku hendak pergi, dia malah menahan tanganku. Membuatku harus kembali berhadapan dengannya. "Apa lagi? Bukankah aku sudah minta maaf?" Tanyaku kesal.
"Kurasa kita perlu bicara."
"Kita tak punya urusan apapun, Hani."
Dia mendecak sinis. Tubuhnya semakin dekat denganku dengan tangannya yang terlipat didepan dada. "Kau masih belum menyerah juga?"
Keningku berkerut, bingung. "Menyerah apa?"
"Menyerah pada Mingyu. Kau ini pura-pura bodoh atau memang bodoh sungguhan? Mingyu tidak mencintaimu selama ini."
"Tahu apa kau tentang pria-ku?"
Lagi-lagi ia mendecak sinis. Telunjuk mendorong keningku. "Aku jauh lebih dulu mengenalnya daripada kau, sialan!"
"Mingyu tidak pernah mencintaimu, Han Sungyoung. Tak sadarkah kau? Dia menjadikanmu kekasihnya karena iba, bukan karena rasa cinta."
Aku terdiam. Mencerna semua ucapan gadis ini dengan berbagai tanya yang berkecamuk diotak. Tanpa kusadari, tanganku bahkan sudah bergetar.
"Selama ini yang Mingyu cintai adalah aku. Ia tak ingin menjalin sebuah hubungan konyol seperti 'pacaran' denganku. Mingyu, ingin melamarku suatu hari nanti. Kami sering membicarakan masa depan." Ucapnya dengan tawa mengejek. "Apa pernah ia membicarakan tentang masa depan denganmu? Apa pernah ia mementingkanmu lebih dulu daripada aku? Siapa yang lebih sering diperlakukan layaknya kekasih? Aku atau kau? Mungkin semua itu bisa kau jawab dengan mudah kan?"
Bodoh! Kenapa aku harus menangis lagi dihadapan gadis ini? Itu akan membuatku kembali terlihat lemah. Hingga akhirnya aku menunduk dan menangis kecil. Dan gadis ini mengangkat daguku dengan telunjuknya, menatapku dengan tajam.
"Sebentar lagi, aku akan mengambil Mingyu yang pernah kutitipkan padamu. Dia milikku selamanya dan akan tetap begitu. Aku berterima kasih kepada wanita pecundang ini yang telah menjaga pria-ku dengan baik." Kurasakan tangannya menepuk pelan pipiku.
Entah apalagi yang kurasa saat itu. Marah, geram, kecewa dan sedih. Sesuatu rasanya ingin meledak saat itu juga. Tepat saat Hani hendak pergi, aku mencegah lengannya. Membanting tubuhnya dengan keras ke dinding. Aku sendiri tak tahu dari mana aku mendapat keberanian sehebat ini.
"Jalang! Itulah kata yang tepat untuk wanita sepertimu." Ucapku tajam. Kulihat kelopak matanya membesar, sepertinya ia tak menyangka aku akan seberani ini.
"M-mwo?"
"Harusnya kau menerima dengan senang hati jika sahabatmu sudah memilih wanita lain. Kenapa? Kau kesepian? Sehingga terus menempel pada Mingyu. Sepertinya yang menyedihkan disini bukan aku, tapi kau! Kau takut tersaing denganku, kan?"
Plak!
Mataku terpejam saat merasa tamparan sangat keras mendarat dipipi kananku. Wajahnya merah padam, ia murka. Hebatnya, aku tak merasa takut sama sekali.
"Kau yang menyedihkan! Aku punya banyak teman, keluarga yang menyayangiku dengan banyak cinta setiap harinya, aku kaya dan punya segalanya, dan yang terpenting .." dia mendekat ke arah telingaku. "Aku punya Mingyu dan dia lebih memberi banyak sayangnya untukku."
Persetan dengan semuanya! Iblis mulai menghampiriku dan seolah memerintah agar lebih menyakiti gadis jalang ini. Dan kedua tanganku terangkat, melingkar dilehernya dengan erat. Rasanya ingin sekali aku membunuhnya sekarang juga.
"L-le-lepas-kan!" Wajahnya pucat dan kata yang ucapkan terbata-bata. Aku tak peduli! Mungkin sekarang mataku sudah memerah, emosi yang kurasa bahkan sudah hampir membuat kepalaku mendidih.
"Aku akan membunuhmu sekarang juga, Jung Hani!"
Hani sudah benar-benar lemas dan terus memukul tanganku dengan sisa tenaganya. Sekali lagi aku tak peduli. Aku ingin gadis ini mati, agar tak ada lagi wanita yang mendekati Mingyu.
"Han Sungyoung, lepaskan Hani!"
Tubuhku terdiam seketika saat mendengar suara Mingyu. Sontak saja aku dan Hani langsung menoleh ke arah sumber suara. Disana berdiri sosok tegap dengan wajah panik dan terlihat juga sorot marah dari matanya. Tanganku terlepas begitu saja dari leher Hani, Mingyu berlari menghampiri.
"Hani, gwenchana?"
Sakit!
Itulah yang kurasakan sekarang. Dari sana Mingyu berlari kencang dan langsung memeluk Hani. Mengusap lembut wajahnya dan membawa kepala gadis itu ke dalam dekapannya.
"Sungyoung ingin membunuhku, Mingyu. Tadi saat aku sedang jalan, tiba-tiba ia menarikku dan mencekikku tanpa sebab. Dia bilang jika dia benci melihatku dekat denganmu, dan memintaku agar mati saja. Jika kau tak datang, mungkin aku benar-benar sudah mati." Jelasnya dengan tangisan pilu.
Aku menggeleng cepat. "Bohong! Bukan seperti itu kejadiannya. Tadi dia ...."
Plak!
Waktu seolah berhenti berputar.
Aku terdiam dengan wajah yang sudah beralih kesamping, bukan karena aku yang memalingkannya namun sebuah tamparan amat sangat keraslah yang membuatnya seperti ini. Panas, perih, dan sakit .. itulah yang kurasakan sekarang. Bukan hanya pada pipi, tapi juga pada hatiku. Semuanya hancur tanpa sisa, bahkan kepinganpun rasanya takkan kutemukan. Mingyu menamparku!
Perlahan kepalaku bergerak. Tanpa ekspresi, wajah datarku ini menatap mantap pada Mingyu. Tak ada isakan, namun air mataku turun tanpa ingin berhenti. Ada raut terkejut diwajahnya, bahkan mulutnya sedikit terbuka.
“Sungyoung ..” lirihnya pelan.
“Ada banyak tanya yang selalu menghantuiku selama 3 tahun ini. Seperti, apa Mingyu mencintaiku? Apa dia menginginkanku? Apa aku ini untuknya? Kenapa dia selalu cuek padaku? Kenapa Mingyu tak pernah membicarakan masa depan denganku? Dan masih banyak lagi.” Racauku pelan. Kedua orang ini terdiam.
“Tapi hari ini aku mendapatkan semua jawaban itu walau tanpa ada kata yang perlu terlontar.” Lirihku. Dengan gilanya bahkan kini aku tertawa kecil.
“Maaf jika selama ini aku hanya mengganggumu, Mingyu. Mulai sekarang kau bebas, dan aku menyerah.”
“Sungyoung tunggu dulu!” Mingyu mencoba mencegahku.
Mataku beralih pada Hani.
“Hani-ah, aku sudah melepaskannya, seperti yang kau mau. Jadi, jaga Mingyu sebaik mungkin!”
“Aku permisi.”
90 derajat aku membungkuk dihadapan mereka, anggap saja ini adalah penghormatan terakhirku untuk mereka. Setelah ini, aku bersumpah takkan lagi mengusik Mingyu maupun Hani. Biarkan mereka bahagia dengan dunianya, aku punya kehidupan juga yang tak harus terus ditangisi.
Berlari menjauh dari sana secepat yang aku bisa, tak kuhiraukan panggilan Mingyu yang bahkan terdengar sangat keras memanggilku. Dihadapanku ada Wonwoo, dia berdiri tegap seolah siap untuk menjadi tempatku bersandar.
Grep!
Wonwoo memelukku sangat erat. Aku menangis hebat disana, tak peduli jika air mataku membasahi seragam sekolahnya. Semua rasa sakitku selama ini, yang kucoba untuk kukubur dalam-dalam, tiba-tiba keluar lagi. Bahkan aku tak peduli jika Wonwoo merasa jijik atau apapun, sekarang yang ia butuhkan adalah sandaran.
“Menangislah sepuasmu! Aku yang akan mengusap air matamu setelah ini.”
****
Jika kalian bertanya tentang keadaanku sekarang, jawabannya adalah buruk. Mataku sangat sembab dan hidung memerah. Semalaman aku terus menangis tanpa lelah. Semuanya berakhir, selesai dengan akhir yang menyedihkan. Terbayang sekali dengan jelas bagaimana kerasnya tamparan Mingyu. Lebih tepatnya ia memukulku, bukan menampar. Sudut bibirku sedikit robek, hantaman tangan besar itu sampai membuat kepala ini pusing. Reaksinya sangat jelas bahwa Mingyu memang mencintai Hani.
Dan disinilah aku sekarang, berjalan pelan menuju sekolah. Jarak halte ke gerbang sekolah memang butuh waktu 10 menit jika berjalan santai. Aku tak punya tenaga untuk berjalan sekalipun sebenarnya. Han Sungyoung, kenapa kau selalu terlihat menyedihkan?
Grep!
Sebuah lengan menghentikan langkahku. Dengan tubuh tanpa tenaga seperti ini, sangat memudahkannya untuk menarik hingga tubuhku kini menghadapnya. Sudah tahu siapa orang ini? Ya, dia Mingyu.
“Sungyoung-ah, kenapa kau tidak mengaktifkan ponselmu? Bahkan sejak kemarin aku terus menggedor apartementmu, tapi kau tak muncul juga. Kau kemana, hah?” tanyanya. Mingyu tak pernah seperti ini sebelumnya.
“Bukan urusanmu!”
“Tentu saja urusanku. Kau itu kekasihku, kau lupa?”
Aku tersenyum miris dan kembali menjatuhkan air mata. Sesak sekali walau hanya melihat wajahnya. “Kita sudah berakhir. Lepaskan aku!”
“Aku takkan pernah melepaskanmu! Kita takkan pernah berakhir sampai kapanpun.”
“Aku tak punya tenaga untuk berdebat denganmu, Mingyu. Kumohon lepaskan aku!” pintaku dengan nada pelan. Aku sungguh tak punya tenaga lagi.
“Lepaskan dia!”
Wonwoo datang layaknya pahlawan untukku. Ia melepas tangan Mingyu dengan kasar, menggiring tubuhku untuk berada dibelakangnya.
“Jangan ikut campur urusanku dengannya!” ucap Mingyu dingin.
“Sekarang dia adalah gadisku. Semua yang menyangkut tentangnya adalah urusanku. Kuperingatkan Kim Mingyu, jauhi Sungyoung detik ini juga!”
Setelah mengatakan itu, Wonwoo menarikku pergi dari sana. Tak ada lagi rasa simpatiku untuk Mingyu. Semuanya seolah hilang ketika ia melakukan kekerasan fisik padaku kemarin. Tak pernah menyangka jika Mingyu berani berbuat seperti itu. Menyakitiku begitu fatal hanya karena gadis lain.
“Wonwoo, terima kasih untuk semua yang telah kau lakukan untukku.” Ucapku pelan saat kami sudah sampai didepan kelasku.
“Sudah kubilang, aku akan selalu ada untukmu.”
“Kenapa kau melakukan ini?”
“Aku mencintaimu, Han Sungyoung!”
*****
Hari demi hari terlewati begitu saja. Ya, sejujurnya semua waktu yang kulalui terasa berat jika aku hanya sendirian. Namun kini ada Wonwoo yang terus bersamaku. Pria itu menepati janjinya sejauh ini, selalu ada kapanpun aku butuh. Semakin hari, rasanya Wonwoo selalu berhasil membuatku nyaman.
Mingyu? Kuakui ia berubah. Semenjak kejadian itu, setiap hari dia datang menghampiriku dan berusaha meminta maaf. Bahkan ia sampai menjauhi Hani. Tapi tetap saja, aku tak bisa memaafkannya semudah itu.
Pintu mobil disebelahku terbuka, Wonwoo berdiri dengan tangan yang terulur. Aku mengamitnya dan menggenggamnya seerat mungkin. “Kau cantik!”
Aku tersenyum lebar. “Jeon Wonwoo sangat tampan!”
Hari ini adalah hari pesta kelulusan. Semua murid tingkat 3 diundang pihak sekolah untuk merayakannya bersama. Tepat pukul 3 sore, aku dan Wonwoo sampai disini. Tak ada yang berlebihan dari penampilan kami. Aku hanya mengenakan dress pink pastel selutut dan Wonwoo mengenakan kemeja putih polos. Rambutku diikat tengah dan membiarkan sisanya menjuntai ke depan, sementara Wonwoo kali ini menggunakan ‘hair up style’. Dia berlipat-lipat lebih tampan dari biasanya.
Seluruh murid sudah memadati aula gedung yang besar ini. Tanpa sedetikpun Wonwoo membiarkan tanganku terlepas dari genggamannya. Itulah yang membuatku terus berfikir, haruskah aku berlabuh pada pria ini?
“Ehhmm, Wonu-ya ..” bisikku pelan.
“Ya?”
“Aku ke toilet sebentar, ya?”
“Ingin kuantar?”
“Tidak perlu. Kau disini saja, siapa tau kursi ini ada yang menempati nanti.”
Wonwoo hanya tersenyum dan mengangguk kecil. Dengan hati-hati aku berusaha melewati kerumunan manusia disana. Jarak dari aula menuju toilet cukup jauh. Ugh! Aku bahkan sangat ingin buang air kecil sekarang.
.
Setelah selesai, kulihat dulu penampilanku di cermin. Masih dalam keadaan baik. Hingga tanpa sadar aku tersenyum sendiri. Dilihat-lihat, aku memang cukup cantik. Tapi kenapa semua orang membenciku? Bahkan pria saja seolah menjaga jarak. Apa sampai sekarang aku ini masih aneh? Mungkin tidak, tidak terlalu parah maksudnya. Wonwoo yang banyak membuatku berubah.
Saat baru keluar dari toilet, aku sangat terkejut saat merasakan sebuah tangan menarikku cepat. Butuh beberapa saat untuk aku sadar bahwa yang menarikku itu adalah Mingyu. Pria tinggi kekar dengan setelah kemeja putih dan dasi hitam itu kini membawaku pergi entah kemana.
“Yak! Kau akan membawaku kemana?”
Diam.
Tak ada jawaban ataupun sekedar gumanan, Mingyu tetap membisu dengan tangan yang terus menarikku. Berulang kali aku mencoba melepaskan genggaman tangannya, tapi nampaknya usahaku sia-sia. Tenaganya lebih besar daripada tenaga yang aku punya. Dan sialnya disini sangat sepi, mengingat seluruh manusia kini berada di aula. Jadi tak ada siapapun yang bisa kumintai tolong.
Sampailah kami di atap gedung sekolah. Angin cukup keras menyambut kami ketika pertama kali menginjakkan kaki disini. Akhirnya genggaman tangan Mingyu terlepas. Kedua tangannya ia masukkan kedalam saku celana. Mingyu .. sangat tampan!
“Kenapa kau membawaku kesini?” tanyaku pelan.
“Kita perlu bicara.”
Tatapan tajam lagi yang kini ia perlihatkan padaku. Namun tak lama, tatapan itu berubah melembut. “Sungyoung .. pergilah denganku ke Australia! Kita kuliah disana, hidup disana lalu menikah.”
Speechless!
Tak ada kata yang bisa kuungkapkan, bahkan tubuhku saja membeku mendengar kalimatnya barusan. Benarkah ini? Mingyu mengajakku pergi dengannya?
“Aku minta maaf, aku sangat menyesal! Ternyata selama ini kau benar. Hani memang mencintaiku dan berusaha untuk menjauhkanku denganmu. Aku menyesal, Sungyoung! Kumohon beri aku kesempatan sekali lagi.” Lirihnya seraya menggenggam erat tanganku lagi.
“Kau sudah mengabaikanku selama 3 tahun, puncaknya kau bahkan memukulku sekerasnya. Apa kau fikir aku harus kembali padamu?” tanyaku dengan nada bergetar.
“Sungyoung ..”
“Selama aku hidup, tak pernah sekalipun aku merasakan kasih sayang, walaupun dari orang tuaku sendiri. Aku ditinggalkan saat berumur 5 tahun, masa kecilku kuhabiskan didalam rumah. Tanpa teman, tanpa ibu dan ayah. Hanya pelayan yang melayani tanpa sedikitpun mereka menyimpan rasa sayang. Hingga akhirnya aku bertemu denganmu, kau ramah dan ingin berteman denganku. Hanya kau, Mingyu!” jeritku tertahan.
“Aku bahagia bahkan amat bahagia saat kau menyatakan perasaanmu. Itu tandanya ada satu orang yang akan memberiku kasih sayang setiap harinya. Tapi ternyata sama saja. Kau hanya memberiku sebuah status, tanpa bisa aku merasakan perhatian dan rasa sayangmu. Selalu saja Hani yang kau utamakan. Kau ingat ketika aku memintamu ditengah hujan deras namun kau malah memilih menjemput Hani di Busan? Padahal tempatku meneduh tak jauh dari rumahmu. Dan juga saat kau lebih mementingkan Hani daripada menemaniku ke rumah sakit. Belum lagi saat aku kecelakaan, namun kau lagi-lagi lebih memilih menemani Hani pergi ke salon. Lalu saat aku memintamu untuk menemaniku ke toko buku, kau juga memilih menemani Hani yang tengah dirawat di rumah sakit. Dan masih banyak lagi ..”
“Kau selalu menomorduakan aku, Mingyu. Padahal aku selalu menomorsatukanmu. Aku bahkan sampai mendapat nilai buruk di ujian karena memilih menjagamu yang sedang sakit. Aku berlari tanpa alas kaki ketika mendengarmu dipukuli oleh musuhmu, kakiku lecet dan berdarah karena itu. Saat aku yang menjadi sasaran tinju preman yang hendak memukulmu, saat aku harus dimarahi oleh guru karena merawatmu di ruang kesehatan pada jam pelajaran, saat aku rela seharian tak makan karena mengerjakan semua tugasmu, dan pada saat aku menunggumu hingga berjam-jam di taman sampai aku terkena flu berat. Kau ingat semua itu? Aku selalu berusaha melakukan yang terbaik untukmu. Karena apa? Karena aku mencintaimu, Kim Mingyu!”
Aku menangis keras tanpa bisa kutahan. Persetan dengan make up yang ada diwajahku! Aku bahkan tak peduli jika make up ini luntur dan membuat wajahku mengerikan. Sudah tak bisa lagi kutahan sesak didada ini.
“Namun apa yang kau lakukan padaku? Bahkan kau meninjuku dengan keras saat aku melukai Hani. Apa kau tahu bahwa gadis itu yang melukaiku lebih dulu? Apa kau tahu bahwa aku sampai pusing karena pukulanmu yang teramat keras? Apa kau tahu bahkan aku terus menangis sepanjang hari ketika memikirkan hubungan kita? Apa kau pernah tahu bahwa selama 3 tahun aku selalu menangis dalam diam? Apa kau pernah tau itu semua, Kim Mingyu?!”
“Sungyoung .. maafkan aku!” Mingyu berlutut. Kepalanya tertunduk dan ia menangis disana. Kedua tanganku terjuntai disisi tubuhku, telapak tangan ini bahkan sudah mengepal.
“Dan sekarang semua berakhir. Aku sadar bahkan sangat sadar, bahwa dulu aku pernah teramat bodoh untuk seseorang. Aku ingin kita benar-benar berakhir. Tak ingin lagi rasanya aku menangis karena hal yang sama. Sekarang yang akan kulakukan hanya melanjutkan hidup .. tanpamu.”
Mingyu mendongkak. Bisa kulihat jelas air matanya membanjiri pipinya. Matanya bahkan sudah memerah dan bibirnya bergetar. Ini sisi lemah Mingyu yang tak pernah kulihat seumur hidupku. Benarkah ia menyesal?
“Kau bisa hukum aku sepuasmu, pukul aku, hajar aku, atau apapun bahkan sampai membuatku koma di rumah sakit. Lakukan hal yang membuat hatimu puas! Tapi kumohon, Sungyoung ... jangan pernah tinggalkan aku! Aku mencintaimu, sangat mencintaimu.”
Kuusap kasar air mata yang terlanjur jatuh dipipiku, bahkan aku sudah berjanji bahwa takkan lagi menangis karena pria ini. Tapi ternyata janji tinggalah janji, setiap melihat wajah Mingyu selalu saja ada perasaan sesak yang menelusup dalam perasaanku. Dia adalah sumber kebahagian sekaligus titik lemahku.
“Bangunlah! Tak ada gunanya kau berlutut seperti ini.” Ucapku dingin. Dia menatapku tak percaya, selama ini yang Mingyu kenal adalah Sungyoung dengan kata lembut dan lemahnya. Kuakui bahwa aku pun memang tak pernah bersikap seperti ini sekalipun pada Mingyu.
“Sayang, bisakah kau memberiku satu kesempatan lagi? Sungguh, aku benar-benar ingin memperbaiki semuanya. Aku janji takkan pernah menyakitimu atau membuatmu menangis, aku berjanji!”
Aku menggeleng pelan. “Semua sudah terlambat.”
“Maksudmu?” tanya Mingyu dengan tatapan bingung.
“Aku sudah mencintai pria lain, aku mencintai Jeon Wonwoo.” Ucapku pelan.
Kulihat Mingyu kembali berdiri, mengusap pelan jejak air matanya. Menatapku dengan pandangan ... terluka?
“Apa? Kau tak salah ucap, kan? Aku tak salah dengar, kan?” tanyanya dengan tawa hambar.
“Semua yang kuucapkan tadi adalah benar. Aku mencintai Wonwoo, dan aku tak pernah salah dengan perasaanku.” Ucapku yang terus menatap tajam matanya.
Kedua tangan Mingyu bergerak mencengram bahuku kuat. Aku bisa melihat tatapan terluka disana. Sama seperti ketika ia memukulku saat itu. “Sungyoung .. katakan padaku jika kau hanya bergurau!”
“Pernahkah kau mendengar jika seseorang yang kau abaikan, akan menemukan orang yang membuatnya nyaman? Itulah yang kualami. Tuhan masih menyayangiku. Disaat kau pergi tanpa mempedulikanku, ada pria datang yang selalu memberiku banyak cinta. Hingga lukaku begitu cepat mengering tanpa aku duga.”
“SUNGYOUNG KATAKAN PADAKU JIKA KAU MASIH MENCINTAIKU!”
“Wonwoo sudah melamarku kemarin. Dia bilang jika ia ingin aku ikut dengannya ke Amerika. Disana kami akan melanjutkan study dan bertunangan, lalu setelah lulus dia akan menikahiku. Kau tahu apa yang membuatku yakin pada Wonwoo? Tepat sehari setelah ia mengatakan mencintaiku, pria itu langsung membawaku menghadap orang tuanya, mengatakan pada mereka bahwa ia serius padaku dan ingin menikahiku kelak. Jeon Wonwoo, menelepon orang tuaku dan mengatakan semua niatnya itu. Aku menangis haru, inilah pria yang kucari selama ini.”
“Sungyoung ...”
“Aku sudah mencintai Wonwoo, Mingyu. Kau harus tahu itu! Kita sudah berakhir, benar-benar berakhir. Aku sudah terlanjur kecewa padamu, amat sangat kecewa.” Mingyu menunduk lagi, menangis lagi. Pria ini terlihat sangat cengeng sekarang.
Aku mengusap lembut pipinya, membuatnya kembali menatapku. “Tapi aku sangat berterima kasih padamu. Terima kasih karena ingin menjadi temanku, telah membuatku merasakan rasanya memiliki pria sempurna sepertimu, telah bertahan selama ini denganku. Aku berterima kasih banyak padamu. Walau bagaimana pun, kau adalah pria yang pernah kucintai sehebat mungkin. Karenamu, aku pernah berjuang hebat. Terima kasih, Mingyu!”
“Lalu bagaimana denganku? Aku mencintaimu, Sungyoung! Bisakah kau mengerti itu? Aku ingin kau. Jangan tinggalkan aku! Aku tak bisa tanpamu.”
“Apa selama ini aku tak pernah mengertimu? Lupakan aku! Aku ingin bahagia, aku ingin tertawa lepas tanpa beban.”
Hening!
Mingyu masih terisak dengan tangannya yang menjuntai disisi tubuhnya. Aku hanya bisa menatapnya dalam diam, tanpa tahu apa yang harus aku lakukan.
“Sungyoung ..” sebuah panggilan membuatku menoleh ke samping dengan cepat.
Disana ada Wonwoo, berdiri tegap dengan senyuman di wajahnya. Melihat itu membuatku ikut tersenyum, ternyata Mingyu juga menoleh padanya.
“Dia sudah datang untuk menjemputku. Besok, aku dan Wonwoo akan berangkat ke Amerika. Aku harap, kau bisa hidup dengan baik. Aku pamit, Kim Mingyu. Jaga dirimu baik-baik!”
Mingyu menggeleng cepat, secepat mungkin ia menggenggam tanganku dan menahanku sebisanya. Namun aku melepaskan tangannya dengan cepat lalu berlari ke arah Wonwoo. Bisa kudengar tangisnya semakin terdengar kencang, sebisa mungkin aku tak menghiraukan itu.
Semuanya berakhir. Aku sudah menemukan pria tepat yang kuyakin bisa menjagaku dengan baik. Dan Mingyu hanyalah sebatas masa lalu, yang penuh dengan rasa sakit. Tapi tetap saja, aku tak bisa membenci Mingyu sehebat yang ingin kulakukan. Kenapa?
Karena aku masih mencintainya sampai detik ini.
End
KAMU SEDANG MEMBACA
Hurt (Mingyu Seventeen)
FanfictionOneshoot Project (1/?) Sinopsis Han Sungyoung yang masih duduk ditingkat 3 Senior High School memiliki seorang kekasih yang sangat populer. Hidup sendirian tanpa orang tua, dibesarkan tanpa kasih sayang dan tanpa seorang pun teman. Hidupnya bergantu...