"Kau akan tahu, kabarnya kau keras kepala dan angkuh, tahan disiksa lagi, walau sekarang kau kehilangan kepandaian silat, namun kita harus cari tempat lain untuk berbicara ......" sembari bicara dia menyopot jubah luarnya, sekali gerak dia ikat tangan dan tubuh Ji Bun terus dijinjingnya lari masuk ke dalam hutan. Hakikatnya Ji Bun tidak kuasa melawan, maka dia diam saja menerima nasib, tujuan orang menelikung kedua tangan dan mengikat badannya karena takut tersentuh tangan kirinya, hal ini cukup dimengerti Ji Bun.
Setelah keluar dari hutan, Siucay tua ini tidak berhenti, dia terus berlari-lari dengan kencang, begitu cepat, Ji Bun merasa seperti meluncur secepat angin, lekas sekali mereka tiba ditepi sebuah sungai besar, ombak bergulung-gulung, arus sungai cukup deras.
Setiba dipinggir sungai baru Siucay tua berhenti lari, tampak sebuah perahu layar yang cukup besar sudah menunggu di sana. Sekali lompat Siucay tua itu naik ke atas kapal, Ji Bun dilempar ke dalam bilik, lalu ia membuka tali tambatan sehingga kapal ini hanyut terbawa arus.
Entah berselang berapa lama, entah berapa jauh kapal ini sudah berlaju, tahu-tahu kapal ini tak terasa terombang-ambing lagi. Siucay tua masuk ke dalam bilik di mana Ji Bun menggeletak, katanya setelah duduk: "Bangun, mari kita bicara."
Tanpa bersuara Ji Bun berdiri, dia duduk di kursi yang ada disebelahnya.
"Kau putera Ji Ing-hong? Dimana sekarang dia berada?"
"Entah."
"Betul kau tidak tahu?"
"Terserah kalau tidak percaya."
"Anak muda, cara yang kugunakan jauh lebih hebat daripada Hian-giok-siu-hun, kuharap kau tahu diri."
Terbayang akan siksaan Hian-giok-siu-hun, Ji Bun bergidik, namun sikapnya semakin tawar lagi, setelah Lwekang dan kepandaiannya punah, hakikatnya hidup lebih sengsara daripada mati, maka katanya dingin: "Cayhe maklum, paling-paling mati sekali lagi."
"Jangan kau salah sangka, jangan kau kira gampang untuk mati, kau akan sekarat, setengah mati setengah hidup. Lohu akan tutuk beberapa Hiat-to sehingga kaki tanganmu lumpuh, mata bisa memandang, kuping dapat mendengar, mulut tak bisa bicara, lalu dengan semacam obat kubuat hilang ingatanmu. Kau akan lupa pada dirimu sendiri, segala pengalaman dan semua milikmu akan terlupakan. Lalu kulepas kau dikota yang ramai, sebagai manusia umumnya kau akan berjuang untuk hidup, dan kau akan terlunta-lunta sebagai pengemis yang cacat dan harus dikasihani ......"
"Tutup mulutmu!" bentak Ji Bun keras, serasa meledak dadanya.
Siucay tua tidak hiraukan reaksi Ji Bun, Dia tetap bicara dengan acuh tak acuh: "Setiap tengah hari, kau akan terserang suatu penyakit aneh, deritanya tentu lebih hebat daripada Hian-giok-siu-hun ........"
Mendadak Ji Bun melompat berdiri terus menubruk maju, tangan kiri bergerak. "Bluk", tahu-tahu sejalur angin kencang menekan dan menyurungnya mundur terduduk pula dikursinya.
Siucay tua melanjutkan: "Sudah tentu, supaya tidak menimbulkan bencana bagi masyarakat ramai, tangan kirimu yang beracun ini harus dikutungi."
Bukan kepalang benci Ji Bun, teriaknya: "Tuan mudamu menyesal tempo hari memberikan obat pemunah padamu...."
"Umpama sepuluh kali kau berikan obat pemunah padaku juga belum setimpal untuk menebus kejahatan ayahmu, dalam hal ini Lohu tidak perlu menaruh belas kasihan, tidak perlu bicara soal aturan Bu-lim segala."
Ji Bun terempas-empis menahan marah, teriaknya dengan serak: "Ada permusuhan apa sebenarnya kau dengan ayahku?"
Terpancar sinar dendam dan kebencian pada mata Siucay tua, giginya berkerutuk, sahutnya. "Dendam setinggi gunung dan sedalam lautan, anak muda, sekarang katakan, dimana anjing tua itu menyembunyikan diri?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Hati Budha Tangan Berbisa - Gu Long
Fiksi UmumWataknya dingin, angkuh, semua itu menjadikan jiwanya nyentrik. Untunglah di dalam lubuk hatinya yang paling dalam masih terbetik juga sifat pembawaan yang baik, jiwa luhur dan cinta kasih terhadap sesama manusia. Sayang keluhuran jiwanya ini sering...