Aku menggeliat dan merasa pegal di seluruh tubuh. Mataku terbuka dan mengerjap. Aku baru menyadari ini bukan kamarku, tetapi villa yang disewa Vincent--kekasihku--untuk liburan akhir tahun kami.
Perlahan aku duduk bersandar pada kepala ranjang. Meraih remote untuk mematikan AC. Kutatap tempat tidurku, rasanya Vincent tak tidur di sini semalam. Senyumku mengembang ketika mengingat kekasihku yang tak pernah mau tidur denganku. Belum saatnya, kata Vincent. Dan aku sudah seperti laki-laki tua mesum yang menggoda gadis perawan. Vincent gadis perawannya.
Aku beranjak dari tempat tidur. Mungkin mandi pagi bisa meredakan semua lelahku karena perjalanan kemarin. Villa ini cukup sederhana. Kulihat kamar mandinya pun biasa saja. Aku tak meminta Vincent menyewa villa mewah karena kami berlibur di desa yang lumayan terpencil dan jauh dari kota. Ini ideku. Aku yang menjauhkan kekasihku dari segala kesibukannya.
Lima belas menit waktu yang kubutuhkan untuk membersihkan diri dan membuat tubuhku segar kembali. Hanya dengan menggunakan handuk yang melilit tubuhku, aku memasuki kamar. Aku berjalan menuju lemari pakaian karena koperku sudah kosong. Benar saja, semua pakaianku ada di sana.
Senyumku mengembang. Kami tiba di villa ini sekitar pukul sepuluh malam disambut hujan deras. Aku bahkan tak sempat mengganti pakaian dan langsung tidur. Pasti Vincent yang menata pakaianku di lemari. Terkadang perlakuannya yang sederhana ini mampu menyenangkanku. Namun, ya ... itu, terlalu banyak sikapnya yang justru menuai kekesalanku.
Setelah berpakaian, aku keluar mencari Vincent. Baru kusadari villa ini hanya memiliki dua kamar tidur yang sudah kuperiksa, tetapi tak ada kekasihku. Meski tak mungkin Vincent menginjakkan kakinya di dapur, aku mencoba pergi ke sana.
Sambil berjalan, aku mengamati tempat ini. Tak banyak barang, tetapi furniture yang ada terlihat masih baru. Tempatnya bersih dan rasanya kami akan nyaman tinggal beberapa hari di sini. Dan meski saat ini aku masih berada di dalam ruangan, bisa kurasakan atmosfer pedesaan yang pastinya berbeda dengan daerah perkotaan yang aku atau Vincent tinggali.
Langkahku terhenti ketika melihat pintu kaca samping villa terbuka. Aku menangkap siluet seseorang berdiri di sana. Pasti itu Vincent. Tempat ini dibangun di atas tanah yang tinggi. Dia di sana mungkin sedang melihat pemandangan perkebunan teh yang hijau dari balkon samping. Aku bergegas menghampirinya.
"Iya, Pa. Di sini sinyalnya susah. Aku selesein sekarang juga. File-nya bakal terkirim siang ini ... pasti." Vincent memakai kemeja biru cerah dan celana putih. Dia berdiri membelakangiku dengan tangan yang menempelkan ponsel di telinganya.
Darahku mendidih melihat kekasihku yang kembali gila kerja. Aku berjalan dan merampas ponselnya dengan mudah. Dia terkejut karena kehadiranku. Suaranya tertahan ketika aku melempar ponselnya ke arah perkebunan.
Vincent menatapku tak percaya dengan kilatan amarah di matanya. Namun, aku tak takut dan justru mengumbar murka. Aku meraih laptop milik Vincent di atas meja. Belum sempat kubanting, Vincent sudah merampasnya dengan paksa.
"Hey ... Dy!" bentaknya. Beberapa saat kemudian wajahnya terlihat bingung. Mungkin dia menyesal karena sudah membentakku. "Sayang, maafkan aku. Maaf ... tolong jangan marah," mohonnya dengan suara lembut seperti biasa.
"Kamu enggak berubah, Vin!" jeritku. "Terus saja seperti ini, mengabaikanku dan larut dalam pekerjaanmu. Seharusnya aku tahu, kamu enggak akan pernah benar-benar ada buat aku!" Aku masih berteriak padanya.
Vincent melangkah maju dan tangannya menyentuh lenganku, tetapi aku menepisnya dengan kasar. Dia menaruh kembali laptop itu di atas meja lalu meraih tubuhku dan memaksa aku untuk mengikutinya masuk rumah. Rontaanku berhenti ketika kami sudah berada di dalam, dia pun melepaskan lenganku kemudian menutup pintu samping.
"Jangan teriak-teriak, Dy. Malu didenger orang," tegurnya--masih dengan nada rendah.
"Apa!? Kamu malu kalo aku teriak-teriak? Terus kamu enggak malu diperbudak pekerjaan?" ejekku.
Vincent terlihat mengambil napas dan mengembuskannya perlahan. Dia berjalan mendekatiku dan akan menyentuhku, tetapi lagi-lagi aku menepisnya.
"Sayang, tolong ngertiin aku. Semua ini aku lakuin demi masa depan kita."
"Bohong!" potongku.
"Sungguh," yakinnya. Kedua tangannya menangkup pipiku. Sorot mata Vincent terlihat kecewa karena aku menepis tangannya dan berjalan mundur--menjauhinya.
Hatiku mengiba. Tak tega melihat Vincent seperti itu. Namun, ini bukan salahku. Dia yang memulai pertengkaran. Pekerjaannya sebagai marketing manager di perusahaan milik ayahnya membuat pria itu tak pernah menganggapku. "Aku lelah bertengkar, Vin," kataku dengan suara bergetar.
Kekasihku terlihat gusar. Mungkin dia merasa bersalah, seperti yang sudah-sudah. Dia akan menyesal jika aku menangis di hadapannya. Dia melepas kacamata minus-nya dengan tangan kanan, sementara tangan kiri mengusap wajahnya sendiri dengan kasar. "Aku harus bagaimana biar kamu enggak marah lagi? Mau liburan, aku turuti. Butuh sesuatu, aku belikan. Sayang, tadi itu Papa menelepon karena ada sedikit masalah di kantor." Vincent menjelaskan dengan suara lirih.
Demi Tuhan, kini aku menangis karena disalahkan. Dia menuduhku tak mengerti dirinya, padahal dia yang egois dan tak memedulikan aku. Aku menyeka air mataku dan menatapnya dengan perasaan terluka. "Kamu cuekin aku terus karena sibuk kerja. Aku juga butuh perhatian kamu. Di mana kamu waktu aku butuh teman bicara? Kamu hanya tau menyelesaikan sesuatu dengan uang. Kemarin kamu ngajak aku liburan, tapi di sini kamu malah berkutat dengan pekerjaan."
Aku tersedak tangisku sendiri. Vincent segera mendekapku. Kali ini aku meronta dan menangis di pelukannya. "Lepasin aku, Vin! Mendingan kita putus aja."
"Sayang, please ... jangan pernah minta itu. Aku enggak bisa kalau tanpa kamu," mohonnya. Dia mengeratkan pelukannya.
Tubuh Vincent kudorong kuat-kuat, hingga aku terlepas dari rengkuhannya. Aku berlari ke kamar, tetapi dia mengejarku. Ketika pintu kamar akan kututup, Vincent menahannya.
"Minggir, Vin!" perintahku seraya memaksa untuk menutup pintu.
Vincent tak mau mengalah, dia terus saja berusaha menahan pintu agar tak tertutup. "Sayang, kita bicarakan ini baik-baik. Please, Sayang," mohon Vincent berulang kali.
Tanganku tak kuat lagi. Kubiarkan Vincent masuk. Aku mengambil koper dan membuka lemari. Segera saja aku menyambar pakaian yang tertata rapi dan memasukannya ke dalam koper dengan asal. Sudah cukup aku bersabar untuknya. Lebih baik aku pulang saat ini juga.
"Sayang, mau ke mana? Dengerin aku dulu, ya, please."
"Awas!" sentakku ketika dia menahan tanganku untuk memasukan pakaian ke dalam koper.
"Dy," panggilnya, tetapi tak kuhiraukan. "Maudy!" Vincent memanggilku dengan suara ditinggikan. Dia menarik kedua lenganku agar kami berhadapan.
Dia menangkup kedua pipiku dengan kedua tangannya. Dia mencium bibirku dengan penuh damba. Tangan kirinya mendekap tubuh rampingku, sementara tangan kanannya menelusup ke arah rambutku. Eranganku lolos ketika lidahnya menggoda bibir atasku. Cukup lama kami terlena dalam ciuman mesra, hingga akhirnya dia berhenti, terengah dan berkata, "Sayang, aku sudah bicara pada papaku. Beliau setuju jika kita menikah."
~o0o~
Versi novel, e-book, dan PDF, menggabungkan dua judul cerita "Kilas Rasa" dan sekuelnya "Not Broken Just Bend".
Jika hanya ingin membaca "Not Broken Just Bend" dapat dibaca di KaryaKarsa.
2 Jan 2017
KAMU SEDANG MEMBACA
Kilas Rasa
AdventureMaudy Halim mengajak kekasihnya, Vincent Nugraha, berlibur di sebuah desa terpencil untuk menghangatkan kembali gelora cinta mereka. Malang, sebuah bencana alam melanda. Maudy yang sedang tak bersama Vincent, jatuh ke sungai dan tubuhnya terseret ar...