Rumah

2.8K 203 83
                                    


Sungguh, jika bukan karena teguran dari lelaki yang tubuhnya terbalut kaos putih polos dan jeans biru gelap dengan sobekan kecil di beberapa bagian, dia tak akan menyadari bahwa jarum pendek di jam kayu cokelat yang bertengger manis di tengah ruangan itu telah menunjuk angka 10.

Dia mengucapkan deretan permintaan maaf pada lelaki di hadapannya yang dibalas dengan senyuman, bibirnya terbelah sempurna menunjukkan deretan gigi putih bersihnya yang tampak terawat.

Dengan lengan kemeja yang digulung hingga menunjukkan lengannya yang terhias dengan garisan urat yang nampak jelas di beberapa bagian, mendadak ia meletakkan secangkir teh hangat, terlihat dari kepulan asapnya yang mendesak menguar lembut dari cangkirnya serta sepotong -tidak, dua potong- cheesecake di atas piring yang didominasi warna putih dengan corak flora di sisinya.

"Ah, maaf aku tidak memesan ini,"

"Aku tahu,"

"Um, maaf?"

"Ini pemberian dariku oke? Kebetulan ada sedikit kue yang belum terjual, sayang bukan?"

"Ah, apa tidak apa? Kau tidak mengambilnya tanpa ijin bukan?" mendapat tuduhan ringan, lelaki itu tertawa kecil. Hei, dia berniat baik dan justru disangka pencuri kue? Ya, walaupun memang dia tidak ijin, namun memang faktanya 2 potong cheesecake itu belum terjual dan bos di sini tidak pernah keberatan jika pegawainya mengambil jualan yang belum laku hari itu.

"Tenang sayang, bos ku sudah mengijinkannya," jawabnya sambil tersenyum, astaga lucu sekali pelanggannya yang satu ini. Melihat bahwa pemuda itu masih tampak bingung, ia melanjutkan "Ya, bosku, pemilik café ini. Ah, aku bekerja di sini kalau kau masih belum sadar,".

"Begitu. Maaf telah mengatakan yang tidak-tidak sebelumnya," ia tersenyum, bibirnya terangkat membentuk sebuah kotak dan matanya ikut tertarik membentuk sebuah garis lengkungan ke bawah, tepat seindah bulan sabit.

"Tidak masalah, aku yakin niatmu baik," lelaki itu ikut tersenyum melihatnya. Senyumannya menampilkan deretan gigi depannya yang berjejer dengan rapinya.

Lelaki yang ternyata merupakan pegawai cafe  itu berjalan ke bangku yang kosong di hadapan pemuda bersurai merah yang memandangnya bingung.

Setelah mendudukkan dirinya dengan nyaman di atas kursi dengan ukiran dari kayu di sisinya, ia mencondongkan badanya ke arah pemuda di hadapannya. Kemejanya tidak terkancing sempurna, ia membiarkan 2 kancing teratasnya terbuka. Tulang selangkanya terlihat menonjol, dadanya sedikit terlihat namun ia tidak peduli, justru hal itulah yang diincarnya.

"Akan kutemani," ujarnya singkat, matanya menatap lurus ke arah lawan bicaranya. Yang ditatap hanya mengerjap bingung, namun ia tersenyum kecil sambil mengucapkan terima kasih dalam gumaman pelan yang untungnya terdengar karena suasana cafe yang tenang.

"Maaf, ini sudah malam. Sebaiknya aku pulang saja, aku semakin menghambatmu jika tetap di sini bukan?" ia sedikit beranjak dari kursinya namun lengannya mendadak dicekal.

"Duduklah," nada suara itu terdengar mendominasi, sarat dengan ketegasan. "Apa aku yang justru membuatmu tidak nyaman?" Ia dengan cepat menggeleng, walaupun sempat terkejut, namun ia tidak keberatan dengan keberadaan lelaki ini. Justru ia merasakan sensasi hangat dan menyenangkan menggelitik perutnya.

"Kalau begitu duduklah. Setidaknya habiskan dulu kue dan tehmu, mereka menu favoritmu bukan? Cheesecake dan milk tea?" mana bisa ia menolak saat ditawarkan begitu manisnya. Dan tunggu, bagaimana bisa lelaki itu mengetahui kesukaannya pada 2 menu tersebut? Seingatnya, sejak ia rajin datang di cafe ini 3 bulan yang lalu, ia tidak pernah dilayani olehnya, melihatnya saja tidak pernah. Namun, ia akhirnya kembali duduk di kursinya. Tak enak juga jika menyia-nyiakan makanan gratis.

✨ Belongs [kookv] ✨Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang