a.n
halohaloo. udah lama nggak ngepost one shot :v sebenernya one shot ini kubikin buat lomba cerpen di sekolah yang bertema budaya. berhubung nggak juara (karena ceritanya emang krik krik banget), jadi aku share aja ke sini wkwkya udah. selamat baca (???)
[]
Lonceng di atas pintu berbunyi ketika papan itu kudorong terbuka.
Rean, yang sedang mengelap gelas-gelas bersih di balik meja bar, melirikku sekilas. "Tumben datang sepagi ini," komentarnya.
Aku mengedikkan bahu sambil berjalan ke arahnya. "Tiba-tiba terbangun. Tidak bisa tidur lagi." Kutarik salah satu kursi di hadapan meja bar, dan duduk di atasnya.
Rean meletakkan gelas yang telah dia keringkan. "Apa yang kau inginkan? Seperti biasanya?" tanyanya.
"Ya," kujawab.
Lalu, Rean berbalik memunggungiku dan mulai menyibukkan dirinya dengan mesin pembuat kopi. Saat kembali menghadapku, segelas kopi hitam ada di genggamannya. Dia letakkan gelas itu di hadapanku.
"Terima kasih," kubilang, bertepatan dengan lonceng di atas pintu yang kembali berbunyi.
Seorang lelaki tua masuk. Namanya Dul. Sepertiku, Dul juga rutin datang kemari setiap hari. Biasanya, dia datang lebih dulu dariku. Namun, berhubung pagi tadi aku terbangun mendadak, kali ini aku datang lebih dulu.
Dul menatapku dan terkekeh pelan. "Apa kau sudah memutuskan untuk bangun pagi dan menjadi lebih produktif?"
Aku menyeringai. "Tidak. Hanya kebetulan terbangun."
Dul terkekeh lagi—itu hobinya, walaupun suaranya serak dan tidak enak didengar—dan mengambil tempat di sebelahku.
"Mau apa, Dul?" tanya Rean.
Dul selalu memesan minuman yang berbeda setiap harinya. Hari ini, dia memesan teh hijau biasa.
"Kau tahu, Dul," kata Rean sambil mengambil teko dari ujung meja bar, "kalau aku jadi kau, aku lebih memilih membuat teh sendiri di rumah daripada pergi ke sini. Menghabiskan uang dan tenaga." Rean menuang air panas dari teko ke dalam gelas. Perlahan, air berubah warna menjadi kecokelatan.
Dul menerima segelas teh dari Rean dan menyesapnya sedikit. "Dan kalau aku jadi kau," balasnya, "aku tidak akan protes. Toh, bukan aku yang rugi."
Kami bertiga tertawa.
"Apa yang sedang kau kerjakan sekarang?" tanya Rean kepada Dul sambil mengerjakan pesanan pelanggan lain.
Walaupun sudah tua, Dul sangat sehat. Dia selalu punya kegiatan untuk dilakukan. Bulan lalu, dia belajar bermain video game dengan cucunya. Dia juga pernah rutin bermain golf dengan anak lelakinya (yang tidak berlangsung lama karena nyeri).
"Belakangan, aku mencoba teknik bercocok tanam tanpa menggunakan tanah." Dul terkekeh. "Diajari menantuku. Makin pintar, orang sekarang."
Menit-menit berikutnya, kami bertiga mengobrol seperti hari-hari sebelumnya. Akhirnya, setelah 20 menit lonceng di atas pintu tidak berbunyi, Rean membuat minuman untuk dirinya sendiri. Kemudian dia keluar dari balik meja bar, dan duduk di sebelah Dul.
Rean menyesap kopinya selama beberapa saat. Setelah selesai, dia letakkan gelasnya. Dia mengamati kami berdua—aku dan Dul—saat dia menyadari sesuatu. "Hei, ke mana jam tanganmu yang biasa kau pakai?"
Jam tangan yang dia maksud adalah jam tangan pemberian mantan kekasihku dulu. Benda itu selalu kupakai ke mana-mana, kecuali ketika di rumah. Dan ngomong-ngomong, benda itu hilang.
Aku mendengus sebal. "Dihilangkan keponakanku. Pasti masih di apartemenku, hanya saja tidak tahu di mananya."
Mata Rean membulat, sebelum dia terkekeh. "Wah, aku turut berduka."
"Ya, ya, terima kasih. Sangat membantu," cibirku.
"Aku prihatin dengan keponakanmu itu. Pasti kau omel-omeli."
Aku menopang kepalaku dengan tangan, yang kutumpukan pada siku di atas meja. "Tentu saja. Kakakku yang cerewet sampai balik mengomeliku."
Rean tertawa. Katanya kepada Dul, yang sedari tadi diam, "Hadiah dari mantan kekasihnya. Sangat berharga."
"Benda-benda berhargaku selalu hilang," tambahku. "Jaket pemberian ibuku sebelum meninggal dipinjam teman sekamarku waktu kuliah. Lalu dia hilangkan. Ponsel yang kubeli dengan uang tabungan sendiri, juga hilang. Sepertinya dicuri. Takdirku adalah tidak ditakdirkan untuk menyimpan barang-barang berharga."
Dul, entah kenapa, tersenyum kecut. "Kau harusnya bersyukur. Aku kehilangan sesuatu yang lebih penting," katanya. Nadanya muram.
Aku dan Rean saling melirik. Kedengarannya serius. Dul jarang seperti ini.
Kami berdua terdiam, sampai akhirnya Rean berdeham. "Kau mau menceritakannya kepada kami?"
Dul tidak berkata "ya" atau "tidak". Namun, dia berkata, "Teman baikku. Aku kehilangan dia."
"Kami... kami ikut sedih mendengarnya. Bagaimana bisa?"
Dul menghela dan mengembuskan napas panjang. Punggungnya membungkuk. "Bukan hanya aku. Dia teman baik semua orang tua sepertiku—teman kami sejak kecil. Kami semua merindukannya."
"Dia... semacam, terkenal?" tanyaku, walau terdengar bodoh.
Dul menatapku sejenak. "Ya, ya. Semua orang mengenalnya. Hanya anak-anak muda yang tidak mengenalnya. Mungkin mereka tahu dia, tetapi hanya sebatas tahu."
Kami bertiga terdiam. Lebih tepatnya, aku dan Rean menunggu kelanjutannya.
"Lalu belakangan, dia menghilang," kata Dul. "Dia tidak langsung menghilang begitu saja, sih. Dia menghilang secara perlahan."
Dul menatap kami, dan menangkap wajah kebingungan kami.
"Kami para orang tua sudah melihat tanda-tanda dia akan menghilang." Dul menyesap tehnya. "Kami mencoba mengenalkan dia kepada cucu-cucu kami. Namun sepertinya mereka tidak berkenalan dengan baik. Pada akhirnya, dia benar-benar menghilang."
"Berapa umurnya?" tanya Rean. "Seusiamu?"
"Dia sudah tua," kata Dul. Dia terdiam sebentar. "Sangat tua."
Aku berdeham. "Kalau begitu, apa kau tidak berpikir... kau tahu, mungkin saja dia sudah...." Aku menggantung kalimatku.
"Apa, mati?" Dul bertanya. "Tidak, dia tidak bisa mati. Hanya hilang."
Aku dan Rean saling melempar pandangan.
Rean yang memutuskan untuk bertanya. Katanya, "Apa yang sedang kita bicarakan, Dul?"
Dul menunduk. Selama beberapa saat, dia hanya terdiam memandangi sepatunya. Lalu dia mendongak, dan menatap aku dan Rean dengan sedih. "Budaya bangsa kita, Nak. Aku sangat merindukannya. Dia sudah lama hilang."
Kami bertiga tidak bicara lagi, untuk waktu yang cukup lama.
Di hari lain, aku akan pulang. Tetapi pagi ini, aku memutuskan untuk tetap di sini, menemani Dul yang sedang bersedih. Karena, aku pun merindukan budaya bangsaku.
Seperti kata Dul, dia tidak mati. Hanya hilang. Seperti jam tanganku—dia pasti masih ada, masih bisa dicari dan ditemukan.
Hanya saja, di mana?[]
KAMU SEDANG MEMBACA
Lelaki Tua yang Kehilangan Teman Baiknya
Short Story[1/1] Seperti kata Dul, dia tidak mati. Hanya hilang. Seperti jam tanganku--dia masih ada, masih bisa dicari dan ditemukan. Hanya saja, di mana?