Bab 5 - Cuma Teman

1.8K 191 27
                                    

"Hei manis, bajumu sudah diangkat? Mau hujan lagi loh."

"Sok akrab banget," gerutu Evel sambil mengambil baju-bajunya yang menggantung di jemuran.

Dok dok dok

Kean mengetuk-ngetuk dinding dan itu terdengar oleh Evel.

"Denger gak?" tanya Kean.

Evel memasang wajah malas.

"Kamu kenapa coba habis aku tahu kamu tinggal di sebelahku lalu kamu semakin gangguin aku? Kemarin waktu aku belum tahu kamu tetanggaku, kamu gak ada ngajakin aku bicara dari kamarmu," balas Evel sambil bersandar di dinding dan menekuk lutunya menopang buku yang dia baca.

"Biar sedikit misterius. Biar kamu tahu sendiri aku tinggal di sebelahmu tanpa aku ngasih tahu. Karena kamu sudah tahu sekarang jadi ya-" jelas Kean.

"Sekarang ketenanganku terancam dua puluh empat jam. Gak di sekolah gak di rumah," balas Evel.

"Hahaha." Kean hanya membalas dengan tawa.

"Kamu benar-benar aneh. Apa maksud kamu gak ngasih tahu kalau kamu tetanggaku?" tanya Evel.

"Wah, aku senang banget," balas Kean tanpa menjawab pertanyaan Evel.

Sebenarnya Evel malas membalas ucapan Kean namun dia penasaran dan akhirnya dia angkat bicara lagi.

"Senang kenapa?" tanya Evel.

"Aku jadi semakin senang," balas Kean lagi membuat Evel menghela napas dongkol.

"Kamu ngerjain aku?" tanya Evel.

"Enggak. Aku beneran senang. Senang soalnya kamu akhirnya mau balas ucapanku dengan pertanyaan," kata Kean. "Kamu penasaran ya kenapa aku gak langsung kasih tahu kamu kalau kita tetanggan?" tanyanya lagi.

Evel tak membalas, dia membuang rasa penasarannya.

"Aku kan tadi bilang supaya agak misterius begitu, hehe. Kan kalau kamu sendiri yang tahu bakal lebih berkesan."

"Berkesan dari mananya," batin Evel dengan ekspresi tak habis pikir.

"Aku sebenarnya pengen ngasih tahu dari dulu, supaya kita bisa ngobrol kayak gini," kata Kean. "Tapi, timing-nya gak pernah pas," katanya lagi. "Oya. Kamu lagi ngapain?"

"Bisa diam, gak? Aku lagi belajar," balas Evel sebal.

"Oke, aku juga lagi belajar. Kalau aku gak paham, aku tanya kamu, ya?" ucap Kean yang juga sedang bersandar di dinding sambil memegang buku.

"Enak aja," balas Evel. "Bisa diam, gak?!" ucapnya sebelum Kean mulai berbicara lagi. Evel memasang wajah kesal pada dinding di belakangnya dan dia kini merasa seperti orang tolol karena marah dengan dinding.

Suasna hening antara Evel dan Kean, tak ada lagi kata tertukar. Mereka berdua bersandar saling membelakangi dengan tembok sebagai pemisah.

Paginya

Evel bergegas mandi lalu mengganti bajunya dan berlari meraih pintu sebelum Kean keluar duluan dari kost-nya. Evel tak mau Kean membarengi dia berangkat sekolah. Namun, saat dia berlari menuju ke halte bus, tiba-tiba dia memberhentikan kakinya yang berlari dengan tiba-tiba saat melihat Kean sedang mengayuh sepeda tak jauh di depannya.

Evel berjalan dan menghela napas. "Aku sudah berburuk sangka menyangka dia bakal maksa aku berangkat bareng. Ternyata dia dengan santainya sudah berangkat duluan," batinnya.

Sepulang sekolah.

"Hei, manis. Ikut, gak? Daripada naik bus bayar, mending ikut aku kan, gratis," ajak Kean sambil mengimbangi Evel yang berjalan keluar gerbang sekolah.

Too Late To Regret [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang