"Gu- Gue suka sama lo, Mon," -Nando
{***}
5 tahun sebelumnya.
Monic yang tengah menginjak umur 12 tahun itu pun sedang menggigiti ujung bantalnya. Baru saja ia duduk dikelas 1 SMP, semester 2 pula, masa sudah ada yang menembaknya?
Makanya itu, ia sekarang tengah kesal.
Laki-laki itu, Theo, menyatakan rasa sukanya pada Monic. Dikantin sekolah. Disaksikan oleh beribu-ribu siswa.
"Mon," pangil Theo yang tengah berlutut didepan Monic sembari menyodorkan bunga mawar berwarna biru dan pink untuk Monic.
Monic hanya menaikkan sebelah alisnya, "Kenapa?" Monic mulai mengamati sekeliling. Ramai.
Theo terlihat gugup. Untuk sekali seumur hidupnya -selama 12 tahun ini- ia menyatakan perasaannya didepan umum.
Tangan Theo gemetar, bibirnya tak kalah gemetar, "Mo- Mon. Gu- gue suk- suka,"
Para siswa yang mendengar tersebut pun berubah menjadi ricuh. Ada yang menggebrak-gebrak meja, berteriak histeris, menangis -yang menangis adalah para fans Theo- dan sebagainya.
Monic sendiri acuh. Ia sama sekali tidak memiliki perasaan apapun, terhadap siapapun. Ia bukan mati rasa.
Hanya saja, itu memang sifat dia.
Monic juga bukan seperti anak SMP yang lainnya, ia tidak se-alay itu.
"Hmm, The, kalo misalnya gue tolak lo, lo marah gak?" Pertanyaan tersebut lolos dari bibir mungil Monic. Para siswa yang mendengar -semuanya mendengar- langsung menutup mulutnya rapat-rapat.
Theo sendiri sudah shock berat. Pernyataan pertamanya, perasaan pertamanya, bunga mawar spesialnya, kini terasa sia-sia.
Ia ditolak.
Dengan malu yang luar biasa, Theo berdiri dari posisi berlututnya, membuang asal bunga mawar tersebut, dan pergi dari kantin tersebut.
Ia malu.
Para siswa kembali mengerjakan aktivitasnya. Ada yang kembali ke stan makanan, duduk, ke toilet, dan sebagainya. Monic bingung.
Padahal ia belum memberi jawaban.
Tiba-tiba ada yang menabrak bahunya. Monic meringis dan memegangi bahunya tersebut. Ia mendongakkan wajahnya dan menatap datar manusia tersebut.
Rere, ia terkenal disekolah bukan karena prestasinya. Ia memang cantik, tapi ia juga murahan. Rere terkenal karena ia sering sekali mengejar-ngejar Theo.
Padahal ia kelas 3 SMP.
Ketiga teman Rere memandang rendah Monic. Ingin sekali rasanya Monic mencakar-cakar wajah mereka. Cantik, sih, tapi sayang dempul.
"Lo tuh gak usah sok kecantikan! Apa coba maksud lo tadi nolak nolak si Theo?! Lo merasa lo cantik, gitu? Iya?" Rere mendorong bahu Monic yang membuat Monic sempat terhuyung kebelakang.
Ketiga temannya tertawa kencang. Rere hanya tersenyum sinis melihatnya.
Monic yang memang tidak suka direndahkan seperti ini pun berbalik badan dan berjalan menjauhi mereka. Tapi, Rere memang tidak mengijinkan Monic pergi. Tangan Monic dicekal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Monic & Memories✔
Fiksi Remaja"And then, a happily ever after that just a bullshit." Start; 5 Desember 2016 End; 14 Juli 2017 [Baca aja, siapa tau suka]