May I Have a Teddy Bear?

2.2K 38 24
                                    

Seekor burung gagak hitam melayang-layang di atas area pemakaman itu. Kucermati dengan seksama dari gundukan rerumputan di depan rumahku—yang dipayungi kanopi berwarna krem. Tempat yang begitu pas untuk mengamati seluruh penjuru di daerah pinggiran kota yang sepi ini. Takkan ada suara bising lalu lalang kendaraan dan juga deru knalpot motor para remaja labil yang senang ugal-ugalan, jadi karena alasan itulah keluargaku memilih daerah ini sebagai kediaman baru kami. Kediaman berpagar pohon willow yang menghijau. Namun begitu kontras dengan pemakaman yang berada di seberang jalan.

Pagar rendahnya berwarna hitam, dengan pohon tua yang telah mati dan terlihat seakan-akan tengah membungkuk di antara sesemakan. Beberapa kali kulihat barisan nisan di sana dihinggapi burung-burung gagak yang menambah kesan suram tempat itu.

"Marry!" terdengar panggilan lirih dari arah balkon.

Aku mendongak dan lalu mendapati Bertha, adik tiriku yang menderita down syndrom—yang tengah bersandar di pagar balkon—sambil memeluk boneka bratz yang telah botak. Ia menatapku dengan gusar.

"Are you okay, dear?" tanyaku lembut.

"Tidak Marry ... tidak! Tidak! Marry ... tidak!"

Tiba-tiba saja gadis itu menjerit-jerit sambil memukul-mukulkan bonekanya ke pagar balkon hingga jatuh.

Gawat.

Aku segera bangkit lalu berlari ke dalam rumah seperti sedang dikejar setan. Hampir saja menabrak ranjang Bertha. Setibanya di sana aku segera melompat dan menangkap Bertha, kupeluk erat-erat. Tak ada cara lain menenangkannya jika sudah begini.

Tak lama kemudian ia pun terdiam dan menatapku sebal. Ia terdiam tanpa berontak tapi wajahnya bak mengisyaratkan agar aku cepat-cepat melepaskannya. Maka aku pun berhenti memeluknya lalu kurapatkan tubuhku ke dinding.

"Teddy bear, Marry! Teddy bear!" ucap Bertha histeris seraya menunjuk rak boneka di pojok kamarnya. Kuamati lekat-lekat, dan beberapa saat kemudian barulah aku paham tentang apa yang dimaksud Bertha.

Teddy bear.

Ya, teddy bear cokelat.

Dimana bonekanya itu?

"Teddy bear-mu di mana? Siapa yang mengambilnya?"

"Hilang .... Ada yang ambil, Marry ... ambilkan! AMBILKAN!" jerit Bertha.

"Iya, iya sayang. Baik, di mana teddy-nya?" bujukku pelan.

Senyum gadis itu memudar, ia lalu mengangkat tangannya dan menunjuk ke sebuah arah.

Pemakaman.

Di atas sebuah nisan.

Oh shit! What the hell is going on, huh?

Lelucon garing macam apa ini?

"Um ... nanti Marry belikan yang baru ya, sayang?" bujukku lagi sambil menepuk-nepuk punggung Bertha pelan.

Aku benci berurusan dengan hal-hal seperti makam.

Oh, sial!

"MARRY JAHAT!"

Tiba-tiba saja aku terhentak karena Bertha mendorongku. Dan sedetik kemudian ia sudah memanjat pagar balkon tanpa sempat kucegah. Kaki kanannya sudah bergelayutan di udara dan membuatku ingin memekik saja sekeras-kerasnya, tapi urung kulakukan karena mungkin saja hal itu bisa membuat Bertha terkejut lalu terpeleset dan jatuh.

Entah kenapa jantungku berpacu lebih cepat dari biasanya. Nafasku naik turun tak beraturan. Kutatap wajah Bertha yang kini menampakkan kemarahan.

"Bertha ...." ucapku lirih tanpa berani bergerak sedikitpun.

May I Have a Teddy Bear?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang