epilogue:: lombok

529 47 15
                                    

7 years after the wedding,
Lombok, Kaliantan Beach
Tuesday.

Zayn menguap lebar, merentangkan kedua tangannya dengan gerakan malas. Sinar matahari pagi yang menerobos masuk seolah membutakan matanya, jadi dia menoleh ke kiri, sadar bahwa Liam tidak ada di sana.

Dia mendengar suara kompor dinyalakan, dan aroma wafel, juga aroma susu. Dapur. Zayn duduk di atas ranjang, pandangan masih tidak fokus, kemudian memakai sandal berbulu motif kelinci warna putih dan berjalan ke dapur.

Liam, memakai apron warna merah kotak-kotak dan sarung tangan oven hijau zamrud sedang memasak grilled cheese. Meja sudah tertata rapi. Zayn tersenyum tipis dan memeluk Liam dari belakang, "pagi."

"Pagi juga," balas Liam, meletakkan spatulanya, berbalik untuk memeluk Zayn. "Aku cuma bisa masak roti. Gak papa, kan?"

"Gak papa. Aku suka grilled cheese, kok."

Liam meletakkan sepiring penuh grilled cheese di atas meja makan, mereka duduk berhadapan. "Troye sama Connor nikah bulan depan. Gila ya, aku nggak nyangka lho. Dulu mereka ributnya gak ketulungan. Sekarang, mereka nikah," kata Liam, membuat Zayn kaget.

"Troye yang cerewet sama Connor yang judes banget itu? Duh, gak kebayang kalo mereka tinggal serumah. Bisa-bisa 16 jam bertengkar, 8 jam mesra-mesraan," Zayn bergumam agak keras.

"Untung kita 23 jam mesra-mesraan, 1 jam bertengkar. Hah, kurang kece apa lagi gue? Liam Payne gitu loh," sifat kepedean Liam muncul.

Setelah sarapan, Liam mengajak Zayn ke suatu tempat. Mereka berjalan-jalan menikmati indahnya Pantai Kaliantan, kejar-kejaran, hingga akhirnya mereka berhenti. Liam mengalungkan tangannya di pinggang kecil Zayn, dan Zayn mengalungkan tangannya di leher Liam.

"Happy seventh anniversary for us," Liam menempelkan dahinya di dahi Zayn, tersenyum manis. "Nggak nyangka kita udah sama-sama tujuh tahun lebih."

"Mhm. Tua. Nikah muda ternyata nggak seburuk yang dibayangin. Ada senang, ada susahnya. Bener kan?"

Alih-alih menjawab, Liam tetap tersenyum manis, tapi sedetik kemudian dia menunduk, mendekatkan wajahnya ke wajah Zayn. Dia lantas memiringkan kepalanya sedikit saat bibir mereka bersentuhan. Ciuman itu membuat waktu seolah berhenti. Tidak ada nafsu di antara mereka.

Ciuman yang, bisa dibilang, penuh cinta.

Liam melepaskan ciumannya dan merengkuh Zayn ke dalam pelukan. "Kita klise banget, ya," kata cowok bersurai hitam pekat itu. "Lari-larian di pantai, endingnya ciuman. Korea banget kita."

"Kamu kali yang kebanyakan nonton drama Korea," Liam mencubit hidung Zayn. Mereka berjalan beriringan masuk ke dalam rumah (Yap, rumah yang dirancang oleh Geoff dan diberikan kepada Liam karena gak ada yang mau pake) lalu berjalan ke kamar mandi.

"Mau mandi bareng?" Liam berbisik seduktif, menyibak baju tidur Zayn hingga batas pinggang, membelai kulitnya yang panas dan lembut.

Pipi Zayn merah merona. Tapi dia tidak memberikan respon negatif, jadi Liam meneruskan sampai Zayn benar-benar shirtless dan menampilkan tulang selangkanya yang menonjol. Liam tidak tahu kenapa Zayn bisa sekurus ini.

Liam merengkuhnya mendekat dan menciuminya dalam-dalam. Dia menutup pintu kamar mandi dengan kaki kanannya. Saat Zayn mulai terengah-engah, Liam mengangkat kepala, menyalakan shower.

Rasanya seperti saat mereka pertama kali mandi bersama-sama, tujuh tahun lalu, Zayn juga semalu ini. Dia menunduk sambil membelakangi Liam, wajah, leher, dan telinganya merah merona seperti kepiting rebus.

"Sayang," Liam menggumam di antara leher dan bahu Zayn, memeluknya dari belakang. Suasana di dalam kamar mandi mendadak canggung, hanya suara aliran air yang terdengar.

Mereka menghabiskan waktu hampir satu jam untuk diam-diaman, telanjang dan basah, Liam melepaskan pelukannya, lalu mulai membersihkan tubuhnya. Dia mengguncang bahu Zayn, berharap suaminya itu akan berbalik.

Tidak ada respons. Tangan Liam bergerak membersihkan punggung Zayn dengan sabun, lalu turun ke dada dan perut. Lembut, panas, mirip kulit bayi.

"Liam, plis, astaga..." Zayn menggigit bibirnya kuat-kuat karena saat ini Liam sedang menciumi lehernya. Dia berbalik sambil terus menggigit bibir, dengan wajah merah padam dan bibir berdarah.

"Bibir kamu berdarah," bisik Liam serak. Zayn mengutuk dalam hati, sial, pria di depannya ini seksinya ajegile.

"Kissy?" sangat sial, Zayn keceplosan. Liam tersenyum sinis, dia mendekatkan wajahnya dan memiringkan kepala sedikit saat bibir mereka bersentuhan. Zayn mengerang kesakitan, tapi tidak ada niat untuk menghentikan ciuman itu.

Tapi Zayn terlanjur malu, dia melepas ciumannya dan merebahkan kepalanya di dada Liam. Mereka selesai diam-diaman dua puluh menit kemudian. Liam mematikan shower, keluar duluan untuk mengambil handuk, melilitkan handuk yang lebih kecil di sekitar tubuh Zayn.

"Kamu imut banget, yang. Mirip bayi, bikin gemes," kata Liam, meletakkan tangan kanannya di bawah leher Zayn dan tangan kiri di bawah pahanya, berjalan menuju kamar.

"Satu, aku bisa jalan sendiri. Dua, aku bukan bayi," yang digendong memukul dada Liam pelan, tersipu malu.

"Nanti siang kita balik ke Bogor, soalnya aku harus nganterin anak-anak buat olimpiade," kata Liam, menurunkan Zayn sambil menghela napas kasar. Minggu depan dia harus mengantar murid-muridnya ke Jakarta untuk mengikuti OSN Matematika SMA.

"Oke, jadi... um--kita packing sekarang atau...?"

"Aku udah packing. Pesawatnya jam dua, kita masih punya enam jam."

Zayn mengangguk, berusaha terlihat tenang padahal hatinya dag-dig-dug gak keruan. Dia harus naik pesawat, lagi. Liam mengecup hidung Zayn, membuatnya tersadar dari lamunan.

"Kamu kenapa?"

"E-enggak, cuma kepikiran... itu--um--aku..." Zayn mengerang kesal. Wajahnya merah padam. "Kamu nggak bilang-bilang kalo mau pulang sekarang!"

"Emangnya kenapa?"

"Kan kita bisa... uh... itu, maksudnya... enggak, jadi gini... tadi kan di kamar mandi kita..."

Seakan sudah tahu apa yang akan dikatakan oleh Zayn, Liam langsung mengunci pintu kamar dua kali.

Dan yang terjadi setelahnya? Hanya mereka berdua dan Tuhan yang tahu.

My Angel Without Wings //ziam\\Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang