Gue sama Nesya telah tiba di Stasiun Jakarta Kota. Semoga saja,ada kereta jurusan Yogyakarta. Dan alhamdulillah. Gue bisa naik kereta itu. Waktu terasa sangat lama di dalam kereta. Gue sampai-sampai tidur ngorok,mulut gue juga terbuka. Dan Nesya,dia hanya ngelihatin gue dengan pandangan yang mungkin bisa dibilang 'jijik'.
"Kak Arya. Bangun dong. Udah mau sampai nih. Nanti turun di Maguwo aja kak.. ayo dong bangun!!" pinta Nesya seraya mengguncang-guncangkan tubuh gue.
"Huah...(ceritanya menguap),ini udah mau sampai?" tanya gue polos.
"Udah. Ayo,tuh di depan kita turun. Ayo siap-siap." sahut Nesya.
"Iya."
Gue dan Nesya pun tiba di Stasiun Maguwo. Gue lantas turun dari kereta(ya iyalah..😩),dan mencari ojek untuk pergi ke rumah Nesya. Setibanya gue di rumah Nesya,semua keluarga menangis. Menangis meratapi kepergian Ibunya Nesya. Ibunya Nesya yang telah merawat Nesya sejak bayi. Bayi yang baru dilahirkan dari kandungan. Kandungan yang... STOP!! Gue kurang kerjaan aja sih. Nanti dikira plagiat lagunya Cakra Khan yang judulnya.. em.. Harus Terpisah. Loh,kok plagiat? Coba aja lo putar lagunya dan baca ini dari kalimat keempat. Lo semua pasti bakal tahu kok artinya.
Setelah acara tangis menangis selesai,gue segera memakamkan Ibunya Nesya. Gue sama ayahnya,pamannya,adiknya,dan keluarga yang lainnya segera mengangkat peti mayat Ibunya Nesya dan membawanya ke pemakaman terdekat. Sebenarnya,gue nggak ikut ngangkat petinya sih. Gue cuman jadi penyanyi *La illaha illallah* saja.. Hehe.. 😊.
***
Selepas pemakaman,gue berencana buat pergi ke rumah Pak Sudiro. Namun,gue urungkan rencana gue karena gue nggak enak sama keluarga Nesya. Gue pun menikmati acara ini.
7 hari selepas kepergian ibunya Nesya,gue pamit untuk pulang. Padahal dalam hati gue pengen pergi ke rumah Pak Sudiro. Bohong dikit nggak papalah ya..
"Em,om. Saya pamit pulang dulu ya. Nggak enak juga kalau lama-lama di sini." pamit gue.
"Ya sudah. Hati-hati ya.. Oh ya,ini om bawain sedikit uang supaya kamu bisa sampai tujuan dengan lancar." kata ayahnya Nesya seraya menyerahkan amplop ke gue.
"Ng..nggak usah om. Saya masih ada uang kok.." gue ngeles,padahal itu hanya taktik gue supaya gue bisa dapet uangnya.
"Ayo nggak papa. Om ikhlas kok.."
"Ya udah deh om. Makasih.." ucap gue sembari menerima amplop pemberian ayahnya Nesya.
Gue bergegas pergi mencari ojek. Di dalam perjalanan ke rumah Pak Sudiro,gue ketawa-ketawa nggak jelas. Akhirnya,taktik gue buat dapet uang saku dari ayahnya Nesya berhasil juga. Gue buka amplopnya dan.. isinya Rp500.000,-. Lumayan.
Setengah jam bokong gue panas karena tak kunjung sampai di rumah Pak Sudiro. Jalanan kali ini macet. Gue sampai heran. Ternyata,nggak hanya Jakarta yang macet. Tetapi juga Yogyakarta. Selang beberapa menit kemudian,gue sampai di gang rumah Pak Sudiro. Suasana di sini masih sama. Belum ada yang berubah. Gue lantas membayar ojek dan bergegas pergi ke rumah Pak Sudiro. Tetapi gue lupa rumah Pak Sudiro yang mana. Bisa-bisa gue ketemu sama Rinai lagi gara-gara gue kelewatan sampai ujung gang. Gue segera mengeluarkan ponsel gue dan mengirimi Roy pesan.
Arya sent "Roy. Jemput gue di gang lo. Gue ada di sini. Gue lupa rumah lo. Gue takut. Buruan. Gue nanti keburu didatengin Rinai. Gue kaya' orang linglung. Gue mati gaya di sini. Gue mematung. Gue kek anak yang nyari orang tuanya. Cepetan!!!!"
Tak lama setelah pesan tersebut terkirim,ada sebuah pesan balasan dari Roy. Gue bersyukur karena tadi gue ngira bahwa ponsel gue bergetar itu karena pulsa gue habis. Gue memandangi rumah di depan gue. Ada suatu kehangatan di sini. Arsitektur yang digunakan terkesan indah. Terasnya bersih. Dan gue lihat ada satu kamar atas. Gue mulai berfikir kalau ini rumahnya Roy. Dan benar,ada seseorang yang muncul dari balik pintu rumah di depan gue. Dia Rizki.
KAMU SEDANG MEMBACA
Balada Jomblo Ngenes
HumorGue Arya, dan gue jomblo. Jomblo ngenes tepatnya. Jadi jomblo selama bertahun-tahun itu pahit. Sampai gue pengen muntah dibuatnya. Bebas sih bebas. Tetapi, kita nggak akan pernah bisa pamer gebetan ke manapun kita pergi. Sesek. Senep. Baper. Laper...