Chapter 7
.......
Jungkook tiba di kafe dengan langkah tergesa, wajahnya penuh ketegangan. Ia segera menemui Taehyung yang tengah sibuk membereskan meja. Ketika Jungkook menceritakan kejadian di kampus kemarin, Taehyung langsung terdiam, cangkir di tangannya terhenti di udara. "Apa kau bilang?" gumamnya, suaranya hampir tak terdengar. Jungkook mengulang ceritanya, lebih pelan, memastikan Taehyung mendengarnya dengan jelas. Begitu nama Jihae disebut, Taehyung menghela napas berat.
"Jadi dia benar-benar bilang dia adalah Jihae?" tanya Taehyung, matanya menatap kosong ke meja di depannya. Rasa rindu dan sakit yang selama ini ia pendam semakin menyelimuti dirinya, membuatnya sulit bernapas. "Bagaimana mungkin? Kenapa dia kembali sekarang?"
Jungkook mengangguk, wajahnya juga penuh rasa frustasi. "Aku juga tidak mengerti. Selama ini, kita pikir dia sudah meninggal. Tapi... jika itu memang benar dia, kenapa dia tidak pernah memberi kabar?" Mereka berdua terdiam, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Rasa rindu yang mereka rasakan begitu dalam, tetapi di saat yang sama, mereka dihantui oleh kebingungan dan rasa sakit yang belum pernah hilang sejak kepergian Jihae.
"Taehyung," Jungkook akhirnya membuka suara. "Aku harus bertanya langsung padanya. Aku harus tahu kenapa dia kembali dan apa yang sebenarnya terjadi. Aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi." Taehyung hanya mengangguk pelan. Perasaan yang sama menggerogoti dirinya-dia ingin, tidak, dia harus tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan Jihae.
---
Keesokan harinya, Tuan Park, yang kini semakin yakin bahwa ada sesuatu yang tidak beres, memutuskan untuk bertindak. Setelah mendengar penjelasan dari Jimin dan Jiyoon tentang gadis kembar yang sangat mirip dengan Jihae, ia menghubungi orang kepercayaannya, seseorang yang pernah membantunya di masa lalu untuk menyelidiki hal-hal penting. Dia menyuruhnya mencari tahu tentang keberadaan gadis kembar itu-siapa mereka, dari mana mereka berasal, dan apakah mungkin salah satu dari mereka benar-benar Jihae.
Tuan Park tak bisa menyingkirkan harapan yang tumbuh di hatinya. Jika Jihae benar-benar masih hidup, ia ingin tahu. Ia ingin memperbaiki apa pun yang telah salah. Selama ini, rasa bersalah selalu menghantuinya. Kehilangan Jihae adalah salah satu hal yang paling menyakitkan dalam hidupnya, dan jika ada kesempatan untuk membawanya kembali, ia siap melakukan apa saja.
---
Di tempat lain, Hana dan Hani duduk di kamar mereka. Suasana sunyi, tetapi ketegangan terasa nyata. Hani yang masih bingung dengan kejadian kemarin terus-menerus menanyakan hal yang terjadi. "Apa yang sebenarnya terjadi, Hana? Kenapa orang-orang terus mengaitkan kita dengan Jihae? Siapa Jihae itu?" tanyanya dengan suara putus asa, matanya menatap kakaknya dengan tatapan memohon.
Hana yang mendengarnya semakin kesal. Hatinya dipenuhi dengan ketakutan dan kecemasan, dan sekarang Hani terus-menerus mendesaknya. Akhirnya, Hana menatap Hani tajam. "Satu hal yang perlu kau ketahui, Hani," suaranya tegas dan penuh tekanan. "Aku adalah Jihae. Apa pun yang terjadi, aku adalah Park Jihae."
Hani membeku mendengar pengakuan kakaknya. Mulutnya terbuka, tetapi tidak ada kata yang keluar. Semua pertanyaan yang sebelumnya mengganggu pikirannya sekarang mendapati jawaban yang begitu mengejutkan, tetapi di saat yang sama menambah kebingungannya.
"Jihae... tapi kenapa? Kenapa kau menyembunyikannya selama ini?" bisik Hani.
Hana memalingkan wajahnya, tak ingin memberi penjelasan lebih jauh. Ada hal-hal yang lebih baik disimpan sendiri. Dan kini, setelah semuanya terungkap sedikit demi sedikit, dia harus bersiap menghadapi konsekuensi dari kebenaran yang selama ini ia sembunyikan.
...
Ibu mereka tiba dengan wajah panik, ia langsung mendekati Hana dan Hani. Ia berbicara dengan cepat dan tegas, "Kalian harus pergi dari sini. Secepat mungkin. Keputusan untuk kembali ke sini adalah kesalahan sejak awal. Kita harus pergi sebelum semuanya semakin buruk."
Hani, yang sejak kemarin diliputi kebingungan, merasakan kemarahan dan keputusasaan muncul di dalam dirinya. "Kenapa?" tanyanya dengan keras. "Kenapa kita harus pergi? Apa yang sebenarnya terjadi?"
Ibu mereka tampak cemas, mengalihkan pandangannya sejenak. "Hani, ini bukan saat yang tepat untuk menjelaskan semuanya. Kamu harus percaya pada kami," jawabnya dengan suara rendah. Namun, Hani tak bisa lagi menahan dorongan untuk mengetahui kebenaran.
"Aku tidak akan ke mana pun sampai kau menjelaskan semuanya, Ibu!" teriak Hani, tak lagi bisa menahan emosinya. Keadaan yang selama ini penuh kebingungan dan rahasia mulai menghancurkan kepercayaan dirinya.
Hana, yang sedari tadi diam dengan kemarahan terpendam, langsung meledak. "Hani, berhentilah!" teriaknya. "Kau tidak mengerti! Ini demi kebaikan kita semua!"
Namun, Hani tak mundur. "Aku ingin tahu alasan sebenarnya! Kenapa kita harus pergi? Kenapa semua orang menganggap kita adalah seseorang yang lain? Siapa sebenarnya Jihae?"
Ibu mereka juga mencoba meredakan ketegangan. "Hani, sayang, dengarkan kami. Nanti kami akan jelaskan, tapi tidak sekarang. Kamu harus-"
"Aku tidak akan pergi sampai aku tahu apa yang terjadi!" potong Hani, suaranya bergetar oleh emosi.
Amarah Hana memuncak. Dalam satu gerakan cepat, ia mengangkat tangannya dan menampar Hani keras. Suara tamparan itu menggema di dalam ruangan. "Berhenti bicara omong kosong! Kau tidak tahu apa-apa!" teriak Hana dengan wajah merah penuh emosi.
Hani, yang terkejut oleh tindakan kakaknya, tanpa sadar mendorong Hana dengan kuat. Tubuh Hana tersentak ke belakang, terbentur keras ke dinding. Bunyi kepala Hana menghantam dinding membuat segalanya terasa seperti berhenti sejenak. Darah mulai mengalir dari luka di kepala Hana, membuat ibu mereka langsung berteriak dan bergegas menghampirinya.
"Hana!" jerit ibu mereka, langsung memeluk Hana yang mulai terhuyung. Dengan tangan gemetar, ia merogoh ponselnya dan menelpon suaminya, meminta bantuan secepat mungkin.
Sementara itu, Hani yang masih mematung melihat darah di kepala kakaknya mulai merasa tubuhnya gemetar hebat. Rasa bersalah dan ketakutan menyelimuti dirinya. "Aku... aku tidak bermaksud..." bisiknya dengan suara lemah. Namun, sebelum ia bisa melanjutkan, tiba-tiba kepalanya terasa sangat sakit. Rasa nyeri menusuk tajam di kepalanya, begitu intens hingga ia memegangi kepalanya erat-erat, berteriak kesakitan.
"Aaaah!!" Hani menjerit keras, membuat ibunya yang sudah panik semakin ketakutan. Dalam hitungan detik, tubuh Hani melemas dan ia terjatuh ke lantai, pingsan.
Ibu mereka kini berada di antara kedua putrinya yang terluka, tak tahu harus berbuat apa. Kecemasan dan ketakutan membanjiri pikirannya. "Tolong, cepat datang!" ia memohon lewat telepon, berharap suaminya bisa tiba tepat waktu.
To be continued....
KAMU SEDANG MEMBACA
Mianhae (미안해) 2
FanficMIANHAE SERIES II [END] 🚫[PROSES REVISI]🚫 Sosok Park Jihae yang sudah pergi lima tahun lalu membuat banyak orang menderita karnanya. Bahkan setelah bertahun-tahun lamanya, rasa sakit, penyesalan itu tetap datang. Bagaimana cara menebusnya? Bagaima...