Hujan disertai guntur yang menggetarkan bumi itu mulai berlalu tersusul oleh rekahan sinar sang surya yang merambat menghangatkan tubuhku yang tertutupi selimut, tengah terombang-ambing oleh angin dan gerak riak air di danau yang luas ini. Aku berharap tak ada satu pun kemelut yang menghampiri seperti tragedi yang berlalu itu, aku masih membungkus diriku yang enggan tersentuh udara dingin badai yang masih tertinggal. Begitu pula dengan orang-orang disekitarku, wajah mereka telah tampak kusam dan lelah setelah tiga minggu mengarungi lautan dan daratan ditambah semalaman mengarungi danau ini. Kapal yang terlihat begitu kokoh dengan bahan kayu lara di bagian lunas, bungur di gadingnya, bangkirai di sentanya, meranti merah yang cantik di bagian kulit, dan lignum vitae pada pembukus baling-baling, bisa dibayangkan betapa indahnya kapal ini walau tak akan mampu menandingi kapal pesiar yang mewah yang memang bukan menjadi tujuan kapal ini. Dengan peralatan yang sederhana dan seadanya saja kapal ini mempertaruhkan nasib puluhan orang di dalamnya.
Namun keindahan itu hanya sekedar pembalut kesedihan yang mendera relung-relung setiap insan. Orang-orang ini termasuk diriku dan keluargaku telah meneguhkan hati dan segenap jiwa, meninggalkan ibu pertiwi tempat menghirup nafas untuk pertama kalinya demi merubah nasib dan takdir, walau kata orang takdir tidak dapat diubah namun bagiku jika nasib bisa diubah pasti begitu pula dengan takdir. Walau berat memang meninggalkan orang-orang yang kita cintai, tapi itu bukan pilihan jika keadaan ekonomi terus memburuk. Ini bukan kali pertama program transmigrasi digencarkan, sejak Indonesia merdeka tahun 1945, program transmigrasi mulai dilaksanakan sekitar tahun 1949, dan tahun ini adalah puncaknya kata suara angin yang kudengar. 1979, tahun ini aku bermigrasi bersama keluargaku meninggalkan pulau sorga dengan widyadara-widyadarinya serta tarian buminya yang tidak ada duanya karena hanya di Balilah tempatnya.
Dengan perjanjian kontrak, diberikan tanah dan kehidupan yang lebih baik, mungkin itulah yang menyebabkan beberapa orang bersedia menjadi partisipan. Sebenarnya bukan hanya itu bagiku, tapi karena lebih dari sekedar ingin tahu tentang Celebes yang luasnya berjuta-juta kali lipat dari Bali, dengan tujuan utama Poso di daerah Pamona. Namun aku masih agak tertegun mendengar para transmigran di gelombang pertama tenggelam di danau Poso yang sedang ku arungi ini. Tubir-tubir yang tersebar itu mungkin mampu menghisap badan mereka, sehingga setelah beberapa hari pencarian, beberapa badan wadag korban tidak mampu tersentuh lagi. Melihat keadaan di sekitarku rasa pasrah itu sepertinya telah merenggut semua rasa yang ada di dalam hati penumpang kapal ini. Hanya kuasa Tuhanlah yang akan membantu kami menemukan takdir hidup yang cemerlang di dunia yang baru.
com/",�6��8
KAMU SEDANG MEMBACA
Tuana Mahile You Are My Destiny [Completed]
Ficção Histórica[Highest rank #11 in Historical Fiction] Transmigrasi, kata itu membuatku dan keluargaku meninggalkan istana ibu pertiwi kami yang indah. Menempuh hidup baru di negeri orang, tapi hidup baru yang kutempuh itu benar-benar mengubah hidupku saat aku pe...