Perlahan aku menurunkan selimutku, dan membiarkan mataku menjelajah, matahari sudah mulai terlihat jelas hingga kehangatannya mengusir semua hawa dingin dalam tiap detak nadi. Tapi anak-anak itu dan beberapa orang lainnya masih enggan melepaskan dekapan mereka. Begitu pula dengan raiku, dia masih terlelap dalam pelukan Biyang. Sementara Aji hanya terdiam duduk disamping Biyang yang masih memejamkan mata, terlihat tengah berpikir keras. Beliau pasti memikirkan nasib kami selanjutnya, entah bagaimana nantinya di negeri orang. Aji menatapku dan tersenyum, tergambar rasa penyampaian bahwa kita akan baik-baik saja di wajahnya. Sebagai anak sulung aku memiliki tanggung jawab besar pada orang tua ku dan juga adik perempuanku satu-satunya yang masih berumur lima tahun itu. Aku sangat paham akan segala hal yang menimpa keluargaku, namun tetap saja meninggalkan griya dan mempertaruhkan nyawa merupakan keputusan yang sangat sulit. Di umurku yang ke sembilan belas ini sikap dewasa sudah menjadi tuntutan.
Aku mengangkat kakiku dan menghampiri Aji, dengan lembut aku duduk di sampingnya, merangkul tangannya dan kemudian merebahkan kepalaku di pundaknya,
"Dayu tidak apa-apakan?" Tanya Aji.
"Tidak Aji. Aji jangan terlalu dipikir ya. Kita akan baik-baik saja."
" Inggih... Anak Aji memang kuat. Dayu Ria harus beri contoh sama rainya Dayu Rani nggih..."
Kata aji, tangannya yang hangat membelai rambutku dengan sayang.
"Inggih aji..." Sahutku.
"Eh... Dayu sudah bangun...?" Tanya Biyang yang mulai bangun dan memperbaiki posisi gendongan raiku.
"Inggih Biyang..." Kataku seraya membelai rambut raiku yang masih terlelap dalam mimpinya.
"Semuanya bersiap...!!!" Seru awak kapal.
Semua orang terbangun, mendengar seruan itu kami tahu bahwa kapal akan segera berlabuh. Orang -orang, tak ketinggalan pula keluargaku menyiapkan semua barang-barang bawaan yang akan di bawa ke tempat pemukiman yang baru. Semuanya berbondong-bondong menuruni kapal, aku sendiri yang tak tahan berdesak-desakkan hanya bisa menunggu membiarkan Aji dan Biyang mendahului. Setelah agak lengang aku mulai berjalan, belum sempat aku melangkahkan kedua kakiku...
"Brukk...!" Aku ambruk terjatuh di lantai yang masih terasa dingin, aku melihat kearah kakiku. Aku tak menyadari ternyata ada sebuah tali yang terlilit di punggung kakiku.
"Awh..." Kakiku terasa sakit.
"Miss, kau tidak apa-apa? Boleh ku bantu?"
Terdengar suara berat seorang pria dengan kaki yang jenjang di hadapanku. Aku mendongakkan kepalaku ke atas, seorang pria berambut pirang dan bermata biru tengah menjulurkan tangannya ke arah ku.
"Thank you..." Aku menyambut uluran tangan itu.
Dia kemudian melepaskan tali yang terlilit di kakiku. Aku hanya bisa terdiam sambil memperhatikan pria asing ini.
"Dayu, kamu dimana? Kok belum turun?" Tanya Aji yang terlihat tergesa-gesa, dan ketika melihatku ia terdiam, mengerti alasan anaknya belum menuruni kapal.
"Terima kasih..." Kata Aji pada pria itu, dan kemudian menarikku. Wajah Aji tampak tidak senang. Aku hanya bisa melemparkan senyum di tengah suasana yang rumit itu padanya. Tapi dia hanya terpaku di tempatnya berdiri, namun senyuman mengembang di bibirnya ketika aku melangkah menuruni kapal.
"Dayu, kenapa kamu bisa bersama pria itu?" Tanya Aji serius.
"Siapa memangnya Ji?" Tanya Biyang.
"Sudah Aji katakan jangan pernah berbicara pada orang asing. Apalagi orang yang mirip kompeni seperti itu!" Kata Aji, amarah di wajahnya membuatku tidak mampu untuk berkata-kata.
Aku mengerti, Aji seperti itu karena sebuah alasan yang menyakitkan . Peristiwa yang menewaskan orang tua Aji, di depan mata Aji sendiri. Mereka ditembak tepat di kepala dan jatuh bergelimang darah di depan mata Aji. Hal itu menyebabkan Aji hingga sekarang sangat membenci setiap orang yang berperawakan kompeni. Walau mungkin pria itu, pria yang baik, aku percaya Aji pasti tidak akan mengijinkanku untuk dekat dengannya lagi.
"Maafkan Dayu, Aji..." Kataku memegang tangan Aji. Aji hanya menghela nafas.
p://l2�6VY�s
KAMU SEDANG MEMBACA
Tuana Mahile You Are My Destiny [Completed]
Fiction Historique[Highest rank #11 in Historical Fiction] Transmigrasi, kata itu membuatku dan keluargaku meninggalkan istana ibu pertiwi kami yang indah. Menempuh hidup baru di negeri orang, tapi hidup baru yang kutempuh itu benar-benar mengubah hidupku saat aku pe...