Hari mulai beranjak pagi, ayam-ayam hutan sudah riuh berkokok. Pemandangan yang indah ketika pertama kali keluar dari tenda di sambut oleh sinar mentari terbit di ufuk timur. Penduduk desa terlihat tengah berbondong-bondong menuju sawah mereka dengan memanggul pacul dan membawa sabit. Suasana pedesaan yang sangat kental. Aku teringat dengan sosok pria yang kemarin. Aku berlari ke arah tempat duduk kemarin dan memperhatikan sawah tempatku melihatnya. Namun, tidak ada siapa-siapa disana semangatku tiba-tiba sirna.
Hari ini adalah hari yang melelahkan karena proses pembangunan rumah. Peluhku yang menetes begitu banyak ini membuatku seperti orang yang baru selesai mandi. Ya, mandi keringat. Pekerjaan dari pagi hingga sore hari ini akhirnya rampung, begitu pula dengan para transmigran yang lain. Rumah tempat bernaung akhirnya telah berdiri dengan kokohnya, dinding yang terbuat dari kayu-kayu pilihan menambah keanggunan rumah. Hal itu menjadi nilai tambah selain kulitas rumah.
Setelah meminta izin dari Aji dan Biyang, aku memutuskan untuk berkeliling di sekitar desa. Mengenakan baju berwarna putih dan maxiskirt bermotif mawar serta sepasang slippers yang seolah melekat di kakiku, aku berjalan-jalan dengan sedikit memainkan kerikil-kerikil kecil di tanah dengan kakiku. Aku berjalan dengan rasa hampa memandang kerikil-kerikil kecil yang sedang ku tendang-tendang.
"Aw!" Tanpa sadar kepalaku menabrak sesuatu ketika aku sedang menunduk memperhatikan kerikil-kerikil yang kutendang. Aku mendongakkan wajahku untuk melihat apa gerangan yang ku tabrak.
"Hai Miss, kita bertemu lagi..."
Aku terperangah, pria yang bertampang kompeni yang ada di kapal waktu itu berdiri tepat di depanku.
"Ah, hai..." Sahutku kaku.
"Miss sedang jalan-jalan ya?" Tanyanya.
"I..i...ya..." Aku tergagap.
"Kenapa Miss?"
"Tidak, tidak ada apa-apa."
"Kalau boleh, ayo kita jalan bersama. Aku juga ingin melihat-lihat keadaan di desa ini."
Tanpa menolak, aku dan pria ini kemudian berjalan walau aku menjaga jarak dengan batas aman yang cukup menurutku.
"Pasti kamu takut padaku." Katanya tiba-tiba.
"Tidak." Sahutku.
"Penampilanku memang seperti ini, dan aku memang bukan orang asli Indonesia." Katanya dengan tatapan yang tajam kearahku. Aku hanya terdiam, mulutku serasa gemetar untuk mengeluarkan sepatah kata pun.
"Tapi, aku sudah menetap dan mencintai negeri ini. Aku tidak seperti orang-orang yang menjajah dulu, selain itu darah Indonesia juga mengalir di tubuhku." Imbuhnya.
Tiba-tiba kakinya terhenti dan membuatku terhenti juga, ia menatapku dengan tegas.
"Namaku Julius, Julius Rivera." Kata pria itu mengulurkan tangannya.
Tanganku seketika membalas uluran tangan itu dan bersalaman dengannya, rasanya tubuhku sudah tidak berada dibawah kendaliku.
"Mmm... Maaf, tapi kenapa kau bisa ke sini?" Tanyaku masih sedikit gemetar.
"Miss pasti tidak memperhatikanku. Aku adalah salah seorang transmigran juga." Kata Julius.
"Benarkah? Aku belum pernah melihatmu selama di perjalanan." Kataku.
"Tentu saja benar, aku tidak bercanda apalagi berbohong. Miss, boleh aku tahu siapa namamu?"
Aku tertegun, perasaanku berkecamuk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tuana Mahile You Are My Destiny [Completed]
Ficción histórica[Highest rank #11 in Historical Fiction] Transmigrasi, kata itu membuatku dan keluargaku meninggalkan istana ibu pertiwi kami yang indah. Menempuh hidup baru di negeri orang, tapi hidup baru yang kutempuh itu benar-benar mengubah hidupku saat aku pe...