Di sinilah dia berada. Remaja tujuh belas tahun yang baru saja pulang dari sekolahnya. Sedang menunggu seseorang yang selalu dia tunggu setiap harinya. Ini kegiatan rutinnya, setelah sekolah tentunya. Ia akan duduk di sini, di taman yang akan ramai jika pada sore hari. Menunggu seseorang menjemputnya untuk mengantarnya pulang. Sebenarnya ini adalah hal paling kurang kerjaan yang pernah gadis itu lakukan dalam hidupnya. Namun, dia selalu merasa bahagia hanya karena aktivitas ini. Ya, aktivitas yang memang selalu membawa euforia tersendiri untuknya.
Gadis itu langsung berdiri ketika seseorang telah sampai di depan taman, menunggunya sambil melambaikan tangan. Dengan langkah riang gadis itu segera berjalan menuju seseorang itu.
"Dimas, lama banget?" tanyanya dengan senyum yang tak hilang sejak kedatangan Dimas tadi. Dimas hanya tersenyum kecil, tanpa menjawab pertanyaan dari gadis itu.
"Ann, temen gue yang gue bilang waktu itu.. Nyariin lo," mendengarnya, Anna hanya melengos, langsung berjalan menjauhi Dimas.
"Yah, Ann.. Kasian tau dia jomblo. Lo gak mau apa sama dia? Ganteng pula orangnya," Anna terdiam, masih saja terus berjalan. Rumahnya dari taman ini tidak terlalu jauh. Sebenarnya dia bisa saja pulang sejak tadi. Tapi karna ia menunggu Dimas pulang dari sekolahnya, akhirnya dia duduk di taman sambil melihat anak-anak sedang bermain.
"Lagian, elu.. Udah tau gue kaga suka sama dia, Dim. Lo masih maksa aja. Caranya dia itu, kuno." jawab Anna seadanya. Jika tidak dijawab, Dimas akan terus mencecarnya dan akan terus memaksanya untuk menerima Raga, teman Dimas yang katanya menyukai Anna itu.
"Masa lo gak mau sama dia? Dia ganteng loh, Ann. Buset, gue jadi muji cowok kan." Anna tersenyum kecil saat ia melihat Dimas memukul kepalanya sendiri. Dilihatnya Dimas menoleh, membuat Anna langsung membuang pandangannya ke arah lain.
"Buka hati lo aja sedikit, Ann. Kali aja lo gak akan nyesel dengan nerima Raga. Yakan?" Anna terdiam. Benar-benar malas dengan pembicaraan mereka kali ini. Iyasih, Raga memang ganteng, manis, tinggi, putih. Tapi, yang namanya selera orang kan beda-beda. Ya sejujurnya Anna juga tertarik dengan Raga, sedikit.
Tetapi Anna lebih tertarik pada Dimas.
Satu hal yang tak pernah Dimas tahu. Satu hal yang tak pernah berani Anna katakan pada sahabatnya sejak kelas 3 SD itu. Yang Anna tahu, Dimas menyayanginya. Terbukti dari cara Dimas yang selalu melindunginya jika Anna sedang diusili orang lain. Dan Anna juga menyayangi Dimas. Tidak bisa dipungkiri hal itu. Sejak kelas 2 SMP, saat Anna beranjak dewasa, ia mulai menyadari perasaannya pada Dimas bukanlah sekadar perasaan sayang kepada sahabat. Melainkan Anna berharap lebih. Dan Dimas tidak mengetahui hal itu.
"Kenapa gak lo aja yang sama Raga?" tanya Anna saat mereka sudah memasuki gang rumah mereka. Mendengarnya, lantas Dimas melotot tajam dan langsung mendorong tubuh Anna pelan.
"Masha Allah.. Gue masih mengidam-idamkan paha mulus sama muka bening ya, Ann." Anna tertawa geli mendengarnya. Di ujung sana, ada seorang perempuan yang sedang berdiri di dekat pohon besar. Memerhatikan mereka berdua yang baru saja menghentikan tawa mereka.
Jenny berdiri di dekat pohon beringin yang sudah tua, menunggu kedatangan Dimas yang kata orang tuanya belum pulang. Jenny sudah kuliah, semester 2. Dia dan Dimas sudah berpacaran selama 2 tahun. Dan Anna mengetahui hal itu. Apalagi yang bisa Anna lakukan selain diam dan menerima? Terlebih saat Dimas selalu mengajaknya bermain bertiga bersama dengan Jenny dan dirinya. Mau tidak mau, Anna harus beradaptasi dengan Jenny.
Jenny melambaikan tangannya, sambil memberikan senyum ceria. Anna menoleh pada Dimas yang langsung menyunggingkan senyum bahagianya saat melihat Jenny.
Kapan lo bisa se-bahagia itu karna gue, Dim?
Namun Anna tak akan berani menanyakannya. Di hari saat Anna ingin menyatakan perasaannya, di hari itu pula dengan tidak sengaja Dimas mematahkan harapan yang sudah lama Anna tanam.
KAMU SEDANG MEMBACA
JUST A FRIEND TO YOU [1/1]
Short StoryKetika aku yang terlalu mencintaimu ini berharap, akankah kau bisa mewujudkannya? Setidaknya, sekali saja. Namun sepertinya, kau tidak menginginkannya.