Kakek keluar dari kamarnya dengan kedua mata yang tidak terbuka sepenuhnya, baru bangun tidur.
"Ini hari apa?"
"Minggu, Kek," adik laki-lakiku yang sedang memainkan kucing tetangga segera menjawab.
Mengangguk, Kakek mulai beranjak pergi. Entah ke dapur membuat telur mata sapi atau sekedar berjalan keliling rumah kemudian kembali lagi ke tempatnya semula sambil bergumam apa gerangan tadi yang ingin beliau kerjakan.
Hanya saja, tidak melakukan kedua hal di atas, Kakek malah buru-buru mendekati adik dengan kedua mata menyipit penuh selidik. Menatap bocah delapan tahunan itu dari atas ke bawah.
"Kamu siapa?"
Hening se-Indonesia Bagian Timur.
Aku yang sedang di dapur hampir saja menjatuhkan piring menyadari pikunnya Kakek kambuh lagi. Untung saja refleksku belum setumpul beliau.
"Aku cucu Kakek!" adikku berseru, tidak terima dilupakan.
Kakek masih sangsi, bahkan sekarang menaikkan sebelah alisnya, "Dari anakku yang mana?"
"Itu lho, Pak Burhan," adikku mengubah tatanan rambutnya menjadi belah samping segera, gaya klasik sang ayah.
Kakek mengangguk sekali lagi, kemudian mengalihkan pandangannya pada kucing dalam genggaman adikku. Setelahnya kembali menatap cucu terlupakannya itu.
Aku pikir masalahnya sudah selesai. Baru saja ingin mengatur piring di raknya masing-masing, celetukkan Kakek sukses mendatangkan kembali nyaris kejatuhan piring part dua.
"Siapa Burhan?"
"Anak Kakeklah!"
Setelahnya adikku pasti segera menjelaskan kembali silsilah keluarga kami layaknya dosen sejarah ternama. Lengkap dengan ciri-ciri masing-masing anggota yang ia visualisasikan pada rambutnya yang dapat diubah sesukanya, belah miring, belah tengah, kuncir kuda, mohawk, komplit! Sementara Kakek, beliau hanya mengangguk-angguk entah belum paham atau tidak mengerti (atau malah keduanya). Terpujilah kesabaranmu yang tiada batasnya, Dik.
Kejadian lupa dan dilupakan ini selalu terjadi hampir tiga kali seminggu. Bahkan terus meningkat seiring berjalannya waktu. Tiga hari yang lalu saja Kakek menegur Nenek yang masuk ke dalam kamarnya karena dikira orang asing. Minggu lalu adikku bahkan beliau bawa ke kantor polisi karena dikira anak hilang.
Tetangga seberang rumah juga sama apesnya, berulang kali Kakek ditemukan sedang santai-santainya menggoreng telur mata sapi di dapur mereka. Benar, Kakek tercinta kami nyasar di rumah orang lagi. Beruntungnya mereka malah menyambut dengan tangan terbuka sambil terus berkata, "anggap saja rumah sendiri, Kek".
Jangan pernah mengucap kalimat tadi di depan Kakek, karena beliau pasti akan menganggapnya serius. Telah teruji, sembilan dari sepuluh rumah yang mengucap kalimat yang sama akan beliau tempati sesukanya entah untuk tidur, sekedar berkeliling, menggoreng telur mata sapi atau hal lain selayaknya sang tuan rumah.
Kami awalnya mengira ini kepikunan karena usia, maklum, umur Kakek kurang lebih sama dengan umur negara ini. Tapi Nenek berpikiran lain, beliau bilang ini hanya amnesia biasa.
Tetangga juga mulai membiasakan diri dengan amnesia Kakek setelah ditempa selama hampir beberapa dekade. Mereka mulai mengecat rumah masing-masing dengan beragam warna yang tidak identik demi agar Kakek dapat pulang ke rumah yang tepat tanpa terjadi insiden kesasar lagi. Juga memenuhi kulkas beserta lemari makanan dengan telur bebek kampung, makanan kesukaan Kakek.
Setiap sore anak-anak kompleks akan berkumpul di jalanan menunggu Kakek keluar entah dari rumah yang mana, kemudian segera mengerubungi beliau begitu penampakannya telah muncul. Setelahnya bocah-bocah itu akan duduk tenang di halaman mendengarkan cerita Kakek yang konon katanya berasal dari pengalaman beliau sendiri. Seperti dikunjungi Ratu Inggris saat beliau berumur dua puluh lima, punya bagasi luas berisi lusinan pesawat terbang dari Pak Habibie langsung, pernah ditawari menjadi Presiden RI tapi ditolak karena tidak ada menu telur mata sapi di Istana Negara dan lain sebagainya yang kentara sekali bohongnya.
Guruku bilang itu memang salah satu ciri-ciri amnesia. Melupakan beberapa memori, di sisi lain mempercayai memori lain yang sebenarnya tidak pernah terjadi. Bahkan memori imitasi yang baru terbentuk tersebut dapat diingat begitu detail sampai ke tanggal-tanggalnya. Anehnya lagi para bocah pra sekolah itu percaya saja apa yang beliau katakan, decak kagum juga seruan ramai menghiasi cerita petang mereka. Adikku bahkan begitu mengidolakan Kakek dan menyejajarkan beliau dalam daftar bias sang bocah yang kebanyakan diisi tokoh fiktif macam Kesatria Baja Hitam dan Ultraman.
Sementara Nenek hanya mengawasi sambil tertawa menampakkan gigi beliau yang sudah tidak utuh lagi. Bisa dibilang, beliaulah yang paling disusahkan dalam hal ke-amnesia-an ini. Mereka berdua tidak tidur seranjang lagi karena Kakek pasti akan segera melupakan Nenek kembali setelah setengah jam diingatkan siapa istri beliau. Tidak jarang Nenek kalang kabut mengunjungi setiap rumah tetangga saat Kakek tidak pulang sampai maghrib, takut tersesat jauh. Juga merepotkan diri mengingatkan Kakek untuk mencukur kumis setiap dibiarkan lebat dan menyiapkan telur mata sapi hangat setiap pagi di meja makan.
Karena dalam hidup beliau, hal yang paling Nenek syukuri tulus dari dalam hati adalah masih dapat mengingat kenangan mereka dengan baik, meski Kakek lupa total padanya. Beliau masih mau mengulurkan tangan, mengurus, bahkan tertawa setiap kali menyaksikan Kakek yang datang amnesianya. Walau beliau termasuk dalam ruang lingkup tersebut. Aku sadar inilah yang namanya cinta kasih. Pengabdian yang tidak dapat dinilai dengan ribuan medali.
Satu saja. Jangan pernah menyebut Kakek 'pikun' di depan Nenek, karena beliau pasti akan segera marah besar. Siapapun itu yang mengatakannya.
"Kakek tidak pikun. Kakek hanya amnesia.."
Kami sudah hapal mati itu, dan mulai mengamini dalam hati. Kakek hanya amnesia, begitu yang Nenek yakini. Begitu pula yang mulai kami sekeluarga yakini, meski Kakek tidak lagi lupa hal-hal sepele. Malah sekarang terkesan ling lung dan mulai susah diajak bicara. Hingga pagi itu, sebuah ledakan dari dapur rumah yang menampakkan Kakek dan kompor yang dilalap api mengubah semuanya. Menyadarkan kami bahwa Kakek bukan sekedar amnesia. Lebih dari itu.
"Aku lupa caranya menggoreng telur ..."
Itu kalimat pertama yang diucap Kakek setelah terdiam cukup lama. Sementara Nenek masih tekun membalut tangan Kakek yang terhias luka bakar. Kami sadar, Kakek mengalami demensia. Ini bukan hal yang WAH memang, bagaimanapun ini hal wajar dialami orang tua. Tapi inilah kuncinya. Mengapa Nenek selalu bertahan dalam prasangkanya dengan alibi amnesia meski beliau telah tahu lama.
Nenek menolak meyakini bahwa Kakek sudah tidak muda lagi. Nenek menolak tahu bahwa masa aktif Kakek di dunia ini akan segera habis. Kakek adalah pria terpenting dalam hidup beliau.
"Kakek punya amnesia baru ..." serak, tawa Nenek mencoba kembali menipu perasaannya. Nenek rela dilupakan, tapi Nenek tidak rela ditinggalkan.