Empat belas

410 43 36
                                    

Vomments yaa!

Dalam hati, Arnes merutuk. Ia masih ingin berada di taman tadi. Tapi karena sakit di bagian perut yang tiba-tiba menyerang itu, ia harus pulang. Bukan hanya itu, Arnes merasa kelelahan padahal hanya berlari sebentar. Sangat merusak momen.

Mengambil napas, Arnes coba mengikhlaskan waktunya bersama Alana yang berkurang.

Arnes memasuki tempat tinggalnya yang sepi. Tak jauh dari pintu belakang, Arnes melihat bola basketnya yang terletak di dekar pintu. Pencerahan. Bermain bola basket dapat membuatnya rileks.

Mengambil bola basket, lalu Arnes menuju ke halaman belakang rumahnya. Memang tidak terlalu luas, tapi cukup ruang untuk bermain basket. Winna yang baru keluar kamar melihat putranya membawa bola basket, mengikuti. Hanya berniat menonton.

Winna berdiri di ambang pintu. Senyum tipisnya terukir melihat Arnes bermain dengan bola basket. Pikirannya menerawang jauh, yaitu saat Arnes masih kecil. Ia ingat bagaimana dulu Arnes merajuk supaya dibelikan bola basket.

Entah untuk keberapa kalinya bola yang dilempar Arnes masuk dengan mulus ke dalam ring. Ia tak sadar bahwa ibunya sedang menonton. Sekali lagi, bola itu masuk. Saat hendak meraih bolanya, tiba-tiba ia merasa lemas lagi, dia juga mual.

"Argh—" Arnes memegangi punggungnya lagi. Rasa nyerinya jelas terasa.

Di sana, Winna melihat Arnes yang mengerang kesakitan. Lekas ia pun menghampiri.

"Arnes kamu kenapa, Nak?"

"Arnes nggak papa, Ma." Ia meringis.

"Nggak papa gimana? Udahan dulu mainnya, kamu masuk dulu." ucapnya lembut juga tegas.

Duduk di sofa, Arnes kembali mengerang. Rasanya seperti punggungnya diremas kuat-kuat dari dalam. Winna cemas melihat anaknya kesakitan, tapi ia tidak tahu harus apa. Kalau pun harusnya Winna mengambilkan obat, ia belum tahu apa yang membuat Arnes sakit.

Alhasil, Winna hanya menuangkan air dari teko yang ada di meja ke dalam gelas untuk Arnes.

"Kamu minum dulu,"

Arnes meneguk minumnya sambil menarik napas susah payah, berharap rasa sakit yang menderanya berhenti. Napas Arnes tersenggal-senggal, siksaannya berhenti. Ia meletakkan gelasnya kembali di atas meja, lalu menatap Winna. Raut wajah cemas ditangkap olehnya. Sudah pasti Winna cemas lagipula.

"Kamu kenapa? Apa yang sakit, Nak?" Winna mengusap bahu Arnes.

"Nggak tau, Ma. Tadi waktu sama Alana juga, punggung Arnes sakit, nyeri gitu. Terus suka tiba-tiba kecapekan."

Terdengar helaan napas Winna. "Sekarang udah nggak kan? Kamu istirahat dulu sana."

Arnes setuju. "Yaudah Ma, Arnes ke kamar dulu."

Baru bangkit berdiri, helaan napas berat Arnes terdengar. Yaitu saat Daniel memanggilnya. Dalam hati Arnes berharap, bicarakan apa pun, selain Bella. Namun, ia tahu itu hampir mustahil.

"Bella mau ajak kamu jalan. Kamu temani dia, ya." sambung Daniel.

"Pa, Arnes mau istirahat. Lagi nggak enak badan." ucapnya pelan.

"Arnes—" ucapan Daniel dipotong oleh istrinya.

"Papa, Arnes mau istirahat dulu." ulang Winna dengan penekanan.

"Baiklah." Daniel mengempaskan dirinya ke sofa. Sepertinya ia memilih mengalah untuk sekarang.

Sampai di kamar, Arnes merebahkan diri ke pulau kapuk berbentuk persegi panjang. Dengan gusar Arnes mengusap wajahnya. Siksa macam apalagi ini? Baru saja ia bebas dari rasa sakitnya, lalu sang ayah kembali menekan batinnya.

Heart Like YoursTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang