The Backsounds

50 0 0
                                    

Kediaman keluarga Dimitri memancarkan cahaya kebahagiaan dalam kemewahannya malam itu. Rangkaian bunga dalam vas kramik impor bertengger di setiap sudut ruang, warna-warni minuman dalam gelas-gelas kaca tersusun rapi bagai tumpukan batu menyusun piramida mesir, serta hidangan-hidangan pelengkap jua tak kalah istimewa dalam acara pesta kala itu. Mobil-mobil mewah yang berderet memenuhi halaman rumah yang lapang mengibaratkan diri sebagai rombongan semut yang berhasil menemukan lumbung gula. Memang, keluarga Dimitri amat pantas menyandang pengibaratan sebagai lumbung gula, tepatnya lumbung gula kosong yang nyaris roboh namun dengan beruntungnya ia akan segera bangkit dari ketidakberdayaannya ketika berhasil menjual sisa-sisa butir gula yang tercecer di tanahnya kepada seorang dermawan dengan harga mahal.

Sementara itu kediaman Hartandita, tempat sebuah keluarga berputra tunggal yang amat disegani makhluk-makhluk pebisnis itu tinggal tengah menyepi lantaran sang penghuni sedang menuju ke perayaan mereka yang tidak lain juga merupakan pesta keluarga Dimitri. Hanya ada beberapa orang kepercayaan berseragam satpam yang sengaja ditempatkan disanauntuk menjaga harta kekayaan mereka.

Nampaknya keluarga Dimitri amat bahagia menyambut kedatangan para anggota keluarga Hartandita.

“Sepertinya kita tidak perlu menunggu lama untuk melangsungkan acara pertukaran cincin,” terdengar suara Nyonya Dimitri di tengah-tengah pembicaraan dua keluarga yang berencana mempersatukan diri tersebut.

“Ya, saya rasa juga begitu. Lagi pulakan... kata orang dulu, tidak baik menunda-nunda sesuatu yang baik,” dukung Nyonya Hartandita.

Sementara itu tanpa khawatir derajatnya akan menurun, Tuan Hartandita sangat asyik berbincang dengan para pekerja rumah tangganya yang ketika itu ikut membantu melayani para tamu.

“Fallen, saya ingin kamu menyanyikan sebuah lagu untuk mengiringi acara pertukaran cincin anak saya,” pinta Tuan Hartandita kepada seorang gadis, putri kepala rumah tangganya.

“Ya, Tuan!” jawab Fallen lirih.

“Kau baik-baik saja, Fallen? Sepertinya kau nampak kurang sehat. Kalau kamu tidak bisa, tak masalah. Mungkin sebaiknya kamu istirahat!”

“Tidak, terimakasih Tuan! Kalau masih boleh, saya bersedia mengiringi acara tersebut,” gadis itu menawarkan diri.

“Tentu! Saya akan sangat senang sekali.”

Tuan Hartandita memang sangat simpatik kepada Fallen. Ia mengaguminya, apalagi jika Fallen memainkan piano besar di tengah istananya, boleh jadi ia telah jatuh hati dan menganggapnya seperti anak sendiri.

Seluruh keluarga dan tamu undangan bersuka cita memulai acara simbolik itu. Putra keluarga Hartandita, Geriand Hartandita, dengan putri keluarga Dimitri, Nastiti Paula, akan resmi bertunangan.

“There’s nothing I can do when you’re fading away

 There’s no chance to refuse your going

 Because that’s all your heart really needs...”

Terdengar sebuah lagu dinyanyikan oleh sang pengiring untuk pertunangan tersebut. Tetesan air mengenai tuts piano yang sedang dimainkan. Lantunannya terdengar begitu indah tanpa ada seorangpun yang mengetahui seberapa keras ia mengusahakannya. Namun untunglah, tak seorangpun menyimak dan membahas kesesuaian isi lagu tersebut untuk dinyanyikan pada momen itu. Semua terfokus pada proses berjalannya cincin mengikat dua jari insan yang sedang kasmaran tersebut. Lagipula mereka hanya menangkap sisi harmoni yang kental pada irama lagu tersebut.

“You’re the only sense of my nothingness

 And you taste like hot soup on my bitterness

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Feb 19, 2012 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

The BacksoundsWhere stories live. Discover now