Nakal!

34 1 3
                                    

Gadis itu menatap ragu bangunan berlantai dua di depannya. Setengah hatinya ragu untuk masuk ke rumah itu. Lihat saja pakaiannya sekarang. Mini dress dengan tali spageti warna merah menyala juga stiletto hitam kesayangannya. Seseorang di dalam sana pasti akan murka melihat penampilannya.

"Kau yakin akan turun?" Pengemudi mobil meragu.

"Ya, aku harus." Jawabnya lebih berupa bisikan.

"Kau tahu, kau bisa menginap dirumahku.

Si merah menoleh. Wajahnya berubah horor."Dan menjadi buronan keesokan harinya karena tidak pulang? No thank you!"

Chezia tertawa berlebihan. "Kau terlalu berlebihan Je, selera humormu selalu bagus."

Jeje melirik sinis. Seolah berkata kau tertawa di atas penderitaanku eh? Membuat Chezia jadi tidak enak hati. "Aku hanya mencoba membantu, dear."

Jeje mengendikkan bahu. Malas menanggapi gurauan temannya yang bermaksud menghibur. Dengan tarikan nafas panjang gadis itu membuka pintu mobil. "Aku pergi dulu, semakin cepat masuk semakin baik." Ucapnya sebelum beranjak.

"Yeah, good luck sist."

Satu senyum tipis dilayangkan Jeje sebelum merambah memasuki halaman rumah. "Yo Jeje, welcome home, home sweet home." Bisiknya.

---

"Jewel Lazwardi!"

Jeje yang baru akan mengendap-endap masuk ke rumah dibuat kaget saat suara sang ayah menggelegar. Lampu ruang tamu yang semula padam juga tiba -tiba berpendar terang. Sial! Ini sih namanya ketahuan.

Jeje berbalik hanya untuk mendapati papanya berdiri di sudut ruangan. Tangannya bersedekap di dada dengan wajah tak bersahabat. Jeje sampai harus menelan ludahnya berulang.

"Darimana saja kamu?"

Jeje gelagapan. Ia menarik-narik roknya turun saat melihat tatapan meneliti papanya. Masa iya Jeje harus jawab ke pesta? Duh nanti papanya bisa marah.
"Jewel Lazwardi! Apa kamu bisu?"

"Ti, tidak Pa."jawab Jeje terbata.

"Darimana saja?"

"Ru, rumah Inara Pa." Jeje tidak bohong menjawabnya. Ia memang ke rumah Inara sebelum lanjut ke rumah Isabela yang memggelar pesta.

"Sampai selarut ini?" Jidan memicingkan mata. "Jam berapa sekarang?"

Jeje menunduk makin dalam. "Setengah dua belas." Bisiknya.

"Katakan pada Papa apa yang seorang anak gadis lakukan sampai selarut ini dengan rok semini itu?"

Deg! Itu jelas pertanyaan yang paling Jeje hindari.

"Pesta?" Tebak papanya tepat. Raut wajah pria lima puluh tahunan itu mengeruh melihat Jeje menegang. "Jadi benar?"

"Ti,tidak Pa." Cicit gadis itu.

"Lantas apa hm? Belajar kelompok?" Sindir Jidan. "Jangan bohongi Papa, Je!"

"Jeje tidak berbohong, Pa!"
Kedua tangan Jeje saling bertaut saat mengatakannya dan Jidan sadar itu ciri khas putrinya kalau berbohong. Pria itu tersenyum meremehkan. "Tidak berbohong, eh? Mengapa gugup?"

"Je..."

Belum juga satu kalimat diselesaikan Jidan segera memotong. "Mulai besok Papa akan memindahkanmu ke Sekolah Kedisiplinan Andromeda!"

Mata Jeje membola. Astaga! Bagaimana bisa papanya berpikiran seperti itu. Andromeda? Sekolah khusus pria? Yah walaupun sejak dua tahun yang lalu sekolah itu sudah menerima murid wanita tapi kan tetap saja mayoritas penghuninya pria.

"Jeje tidak mau, Pa!"

Gara mendengus. "Keputusan Papa sudah bulat Je! Papa memasukkanmu ke Athena agar kamu mengerti apa yang patut kamu lakukan sebagai wanita tapi nyatanya?" Sorot kekecewaan dimata papanya jelas membuat Jeje sedih juga. "Papa kecewa!"

"Tapi Pa, Jeje hanya..."

"Diam! Sekarang cepat masuk ke kamar!"

"Papa jahat!"jerit kekecewaan Jeje menggema sebelum gadis itu berlari ke kamarnya.

Jidan menghela nafas panjang. Andromeda memang tadinya sekolah kedisiplinan khusus pria. Namun ia harus memindahkan putrinya kesana karena di sana ada adik iparnya yang akan mengawasi Jejenya. Dulu Jidan pikir mengisolir Jeje di sekolah keputrian akan membuat gadis itu terbebas dari pengaruh buruk. Nyatanya satu tahun disana malah membuat gadis itu jadi bengal dan nakal. Sejak tau kebiasaan gadis itu yang sering pulang malam dan pesta, Jidan jadi bersumpah untuk lebih menjaganya. Yah, ini satu satunya cara yang ada dipikirannya. Oke, demi putrinya ia harus tega.

---

Dari anak tangga teratas Jingga memperhatikan interaksi ayah dan anak itu. Wanita itu memandang sendu keduanya sebelum akhirnya memilih bersembunyi di balik guci besar. Enggan berhadapan dengan puteri bungsunya. Setelah puterinya tak tampak, barulah wanita itu menghampiri sang suami yang tampak masih kesal.

"Kau yakin dengan keputusanmu, Jidan?" Tanyanya sembari mengelus lengan Jidan, menenangkan.

"Entahlah sayang, aku hanya berkonsultasi pada Juma dan Joya lalu mereka menyarankan hal itu, bukankah kita telah sepakat?" Jidan balik menatap Jingga saat tahu ada keraguan pada isterinya.

"Aku mendukung penuh semua keputusanmu, Ji."

"Aku tahu." Jidan membawa isterinya ke dalam dekapan.

"Aku mencintaimu Jingga."
Jingga hanya menjawab dengan deheman. Walau begitu ia membalas pelukan Jidan tak kalah erat. Itulah yang membuat Jingga yakin wanita itu juga sama mencintainya.

IF YOU DARE!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang