Semburat Lembayung Bali

162 8 2
                                    

Pantai Kuta sore ini masih ramai. Senja yang memayungi Bali tidak membuat wisatawan beranjak. Sepertinya malah makin banyak yang datang . Hari ini adalah hari terakhir libur sekolah. Wajar kalau mereka yang datang masih ingin menciptakan memori tambahan di sini.

Handphoneku bergetar, sebuah nama tertera di layarnya: Mama. Tapi aku tidak berniat menanggapi panggilan itu. Aku kembali berjalan. Dan kuputuskan aku akan duduk di dekat penjual minuman yang sedari tadi tak putus menawarkan dagangannya.

Mama pasti mencariku. Kira-kira beliau pikir putri semata wayangnya akan pergi ke mana selain ke rumah yang sudah ditinggalkan setahun karena pertukaran mahasiswa? Ah, Mama, aku di Bali. Pulau yang penuh kenangan. Akankan Mama mengerti? Atau malah semakin menyalahkanku?

Lagi-lagi handphoneku bergetar. Masih Mama. Aku bangkit dan pergi. Seolah berlari dari Mama. Padahal jarak yang dibuatnya telah memisahkan kami sejak lebih dari setahun yang lalu. Aku berlari kecil ke arah air pantai. Dengan penuh rasa maaf yang tak akan tersampaikan, pangilan dari mama kuabaikan, dan kumatikan handphoneku.

Bali berarti Widhi. Dan Widhi saat ini sepengetahuanku sedang ada di Bali. Bodoh kalau aku berharap bisa bertemu lagi dengannya saat ini, di sini. Kuta itu luas. Setidaknya bagiku. Aku masih ingat saat terakhir bertemu dulu, dia marah. Marah padaku karena sikapku yang menyerah. Pada keadaan. Padahal sungguh itu bukan mauku. Aku cuma tidak ingin disebut durhaka pada mama yang sendirian membesarkanku selama ini dan agama.

Perbedaan antara kita memmang terlalu luas. Begitu sombongnya aku mengatakan semua akan kulewati. Yah, aku emmang pengecut. Ketika masalah bertambah aku malah melarikan diri. Masih marahkah kau padaku, Widhi?

Riak-riak air yang kuciptakan menyadarkanku kembali pada kenyataan. Hari sudah menjelang malam. Hanya tinggal beberapa kelompok saja yang masih bertahan menikmati sunset di pantai ini. Pandanganku menyapu pantai. Dan tiba-tiba kutemukan dia, berjalan dengan tenang ke arahku. Setelah semakin dekat, kusadari aku memang tidak mengigau. Itu memang Widhi. Pakaiannya menunjukkan kalau dia baru pulang sembahyang dari pura. Dia datang dengan rasa kesal. Dan aku hanya bisa terdiam menghadapi jarak kami yang semakin dekat.

“Aku tahu kamu pasti di sini. Mamamu cari kamu sampai telepon ke rumah. Biyang suruh aku cari kamu sampai ketemu. Kamu tahu kamu sudah bikin semua orang bingung?”

Sepertinya aku sempat melontarkan kata maaf padanya, sebelum dia memelukku. Dan kurasa yang keluar dari mulutku cuma kata-kata maaf. Entah berapa kali. Dan aku menangis. Menangis karena merindukannya, karena menghianatinya setahun lalu, dan karena aku masih begitu menyayanginya hingga kini.

Setelah beberapa saat, dia melepaskan pelukannya dan menggamit tanganku menyusuri pantai. Tidak sepatah katapun keluar dari mulut kami berdua. Hanya melangkahkan kaki sambil bergandengan tangan.

“Aku kangen setengah mati sama kamu,” dia berucap setelah beberapa saat kami lalui dalam keheningan.

“Aku juga,” jawabku.

Dan sepanjang jalan menuju rumahnya, kami sama-sama terdiam. Tuhan, adakah jalan bagi kami berdua untuk bisa mengulang masa menatap lembayung di langit Bali berdua seperti saat lalu?

Semburat Lembayung BaliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang