Kim Taehyung menggosok matanya lelah dan menguap dengan rasa kantuk yang tidak tertahankan. Taehyung bahkan belum sempat merapikan rambutnya saat sang ibu menghubunginya, mengatakan bahwa wanita itu menyuruhnya segera kembali ke Daegu. Menurut telpon (yang sama sekali tidak didengarkan dengan serius), ibunya bilang bahwa ia akan dijodohkan ("Ibu yakin kamu suka sama lelaki pilihan Ibu. Dia baik. Ganteng. Anak jurusan Arsitek. Aduh sayaaaaang, ibu dari dulu kepingin banget punya menantu Arsitek. Biar kalo mau rombak rumah gausah sewa-sewa Arsitek lagi.")
Tepat. Dijodohkan.
Taehyung baru saja kabur ke Busan, melepas penat dari tugas skripsi dan tuntutan sidang yang menghantui kepalanya dua minggu terakhir ini di Seoul. Bahkan ia belum puas jalan-jalan dengan Park Jimin, rasanya belum rela melepas panorama Busan yang sejuk dan tenang, apalagi lautnya yang seperti kristal safir dan emerald, juga jangan lupakan pasir putih lembut yang menggelitik setiap kali Taehyung melepas sepatunya dan membenamkan kaki telanjangnya di sana. Namun Taehyung bisa apa jika sang ibu sudah menyuruh dengan nada memerintah begitu?
Jika hanya itu, Taehyung tidak akan kesal setengah mati begini. Ia hanya tidak terima tentang keputusan orangtuanya tentang perjodohan. Astaga. Kim Taehyung sudah berusia duapuluh satu tahun dan Taehyung rasa ia tidak punya masalah apapun dengan kehidupan asmaranya. Tapi kenapa sang ibu malah seakan ingin mendesaknya? (Taehyung tahu ia tidak sejelek itu sehingga tetap melajang sampai sekarang, tapi itu memang pilihannya untuk sendirian).
Jimin juga, Taehyung dibuat menggerung kesal mengingat ledekan sepupunya itu. Taehyung perlu dihibur sekarang, bukan ledekan. Jika saja ibunya tidak mengancam untuk memotong lebih dari setengah uang sakunya, Taehyung tidak akan sudi pergi ke perjodohan konyol itu (astaga, mau makan apa dia di Seoul jika setengah uang sakunya dipotong? Taehyung sudah terlalu kurus jika harus disuruh puasa) dan lebih memilih memikirkan beribu cara untuk menghindar.
Taehyung berdiri saat sebuah bus berhenti di depannya. Ia segera menyandang ransel di punggung dan ikut masuk bersama beberapa penumpang lain.
"Mau kemana, dek?" sopir itu menatap Taehyung
"Daegu, pak." Taehyung berusaha memberikan senyuman lebar, berharap agar senyumnya tidak memberikan kesan aneh di wajahnya yang benar-benar kusut.
"Wah, itu bakal jauh dek. Bisa satu hari perjalanan. Nggak di jemput?" kenapa dari seluruh sopir, Taehyung harus mendapat salah satu yang kelewat ingin tahu seperti ini?
Taehyung berusaha menjawab dengan sopan walaupun setengah hati ingin mengumpat. "Ini mendadak, pak."
"Ohhh, yaudah. Adek manis kayak adek rawan loh, hati-hati ya."
"Iya pak." Taehyung mengangguk. "Saya harus bayar berapa pak?"
"Nanti saja kalau sudah sampai. Duduk, dek."
---Ini salah satu alasan Taehyung tidak sudi pulang. Jika acara kaburnya di Busan, maka Taehyung tidak akan khawatir karena ada Jimin yang menjemput ataupun mengantarnya pulang, tapi jika mendadak seperti ini, Taehyung tidak suka naik bus, ia akan segera mabuk. Kepalanya akan berputar dan perutnya mual, berbagai macam bau tidak sedap berbaur menjadi satu dan membuatnya jijik. Asap rokok dimana-mana dan itu membuat Taehyung batuk. Taehyung akan seribu kali lebih sensitif pada saat seperti ini.
Taehyung memejamkan matanya, tidak lama kemudian kembali terbuka saat dirasa bus terhenti sejenak. Matanya langsung terpaku pada seorang pemuda yang pasti akan satu bus dengannya. Ia lekas membuang muka, masih sedikit kesal, omong-omong.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodoh di Bus
FanfictionBTS KookV Fanfiction Collaboration by ; -ichizenkaze -ayalien37 Taehyung pergi ke Busan hanya untuk menuruti perintah ibunya yang sangat kepingin punya menantu seorang Arsitek. "Saya katanya mau dijodohin mas." "Ooh, pantas muka kamu cemberut. Omong...