'Ngambek'

27 4 0
                                    

Aku dan Arfa sampai di Apartemen Arfa. Tadi, Arfalah yang melanjutkan untuk mengemudi mobil. Aku berjalan di belakang Arfa sambil menunduk hingga aku tidak sadar bahwa Arfa sudah berhenti karena sedang membuka password kamarnya.

"Hati - hati Dir.." Aku cemberut sambil mengusap kepalaku yang menabrak punggungnya Arfa.

"Ayo masuk!" Dan apa yang ada di dalam apartemen Arfa membuatku berdecak kagum. Desain yang sederhana namun terkesan mewah. Dan barang - barang yang ada juga tidak sedikit berbaur tentang pilot. Aku terus menyusuri setiap isi apartemen ini sehingga aku tidak melihat apa yang ada didepanku dan aku menabrak sesuatu lagi. Namun kali ini aku hampir terjatuh, untung saja ada tangan kekar yang memeluk pinggangku hingga aku terjatuh di pelukan seseorang.

"Sudah aku bilang, hati - hati Dira." Aku langsung membeku ditempat. Kenapa aku menjadi deg - degan tidak karuan begini? Aku langsung melepaskan pelukan kami.

"Maaf.." Hanya itu yang bisa aku katakan karena jantungku ini berdebarnya mengerikan sekali. Jangan sampai aku punya penyakit jantung karena di peluk Arfa tadi.

"Tidak apa - apa. Aku kan harus melindungi calon istriku. Apalagi melihat kejadian tadi. Jika aku tidak bisa menyelamatkanmu, aku tidak akan bisa memaafkan diriku, karena kamu adalah tanggung jawabku." Aku menatap mata coklat itu, mencari kebohongan dan sepertinya kejujuranlah yang ku dapatkan. Aku kembali menangis. Aku bimbang sekali. Aku telah salah memandangnya buruk. Tapi, aku tidak rela jika aku menikah dengannya nanti, dia masih berpacaran dengan kekasihnya. Aku tidak mungkin melarangnya, karena tujuannya menikahiku agar dia bisa melanjutkan pacarannya dengan kekasihnya itu. Mengapa dia tidak nikah dengan Gia? Apa karena dia cantik, pintar dan sudah memiliki pasangan? Jadi dia memilih aku yang tidak memiliki pasangan dan wajah yang pas - pas-an seperti ini.

"Kamu kenapa menangis? Kamu masih trauma dengan kejadian tadi? Ssstt... Tenanglah..." Dan pelukan hangat itu kembali aku dapatkan. Jujur saja, aku nyaman sekali berada di dekapannya, hangat dan nyaman. Tapi apa daya, aku tidak boleh menyukainya, apalagi sampai mencintainya, karena sudah ku pastikan cintaku akan bertepuk sebelah tangan. Dan.. Bukankah aku masih menunggu seseorang? Yang tidak tau kapan dia kembali ke kehidupanku lagi.

*****

Aku mengerjapkan mataku beberapa kali, menyesuaikan diri dengan cahaya yang ada di ruangan ini.

"Sudah pagi ternyata..." Aku mengernyitkan dahiku. Sepertinya tadi malam aku tidak tidur di kamar. Langsung saja aku terduduk dan memeriksa tubuhku yang dibaluti selimut tebal.

"Syukurlah..." Ternyata tidak terjadi apa - apa denganku. Pakaianku masih melekat di tubuhku. Aku melihat ke samping.

"Tidak ada Arfa. Lalu dimana dia tidur?" Aku turun dari ranjangnya Arfa dan berjalan ke luar, mencari dimana Arfa berada. Dan tebakanku benar. Arfa tidur di sofa. Sebenarnya Apartemen ini ada dua kamar, tapi sepertinya kamar yang satu lagi dijadikan gudang. Aku menghampiri Arfa. Sepertinya Arfa tertidur saat menonton. Karena Televisi saat ini masih menyala dan menayangkan gosip pagi yang menurutku sangat tidak bermutu.

Tiba - tiba perutku mengeluarkan suara yang memalukan. Untung saja Arfa masih tertidur pulas. Jika tidak, ia pasti akan menertawakanku. Aku mematikan televisi dan berhambur ke dapur. Mencari makanan yang bisa aku makan. Sebenarnya aku tidak pandai memasak. Tapi jika memasak masakan yang sering dimasak di rumah, aku lumayan bisa walau aku masih tidak tau berapa takaran garam dalam masakan.

Aku membuka tudung saji dan hanya mendapatkan kaleng kecil yang berisi biskuit. Aku tidak suka memakan biskuit di pagi hari. Tidak kenyang. Lalu, aku berjalan ke arah kulkas dan membukanya.

"Wahhh..." Mataku langsung berbinar saat melihat isi kulkas Arfa. Sangat lengkap, isi kulkasnya penuh dan berisikan makanan yang enak - enak.

Ada pizza, ayam yang belum dimasak, spaghetti instan, telur, mie instan, susu, buah, berbagai minuman, coklat, dan masih banyak yang lain.

Berhubung aku suka makanan italy, aku mengambil pizza yang sepertinya belum di sentuh sama sekali. Aku langsung saja  memanasinya. Karena aku terlalu lapar, jadi aku akan mengambil itu saja. Sebenarnya aku ingin sekali membuat ayam goreng tepung, berhubung saos yang dimiliki Arfa adalah saos bermerk nama ayam tepung yang paling terkenal.

Saat aku akan memakannya. Tiba - tiba suara serak dan berat itu mengejutkanku. Aku mengelus dadaku karena kedatangan dirinya yang tiba - tiba itu.

"Kamu ini!"

"Aku mau, sudah dipanasi?"

"Sudah. Ambil saja. Lagiankan ini milikmu." Ucapku. Aku mulai memakan pizzanya dengan lahap. Aku benar - benar lapar sekali karena tidak makan tadi malam.

"Sebenarnya tadi malam aku membeli ini saat kamu sedang mandi. Tapi ternyata saat aku sampai, kamu sudah tertidur dengan nyenyak. Jadi aku menaruhnya langsung di kulkas" Aku hanya mengangguk sambil memakan kembali potongan pizza yang kedua. Aku benar - benar lapar sekali.

"Jadi kamu juga yang membawaku ke kamar?" Sebenarnya tidak terlalu penting untuk aku tanya.

"Iya. Aku gendong. Soalnya aku gak tega liat kamu tiduran di sofa." Aku tersedak. Arfa langsung saja memberikan minuman untukku.

"Hati - hati makannya Dira... Ceroboh banget sih!" Geramnya. Aku pikir dia akan memapahku, ternyata dia menggendongku. Bukankah aku berat. Badanku sedikit berisi seperti ini.

"Uhuk!!! Sorry. Ehm.. Thanks ya!" Sebenarnya aku malu. Tapi, dia sudah terlalu banyak membantuku. Jadi sangat wajar sekali aku mengucapkan terimakasih kepadanya.

"Iya sama - sama." Arfa tersenyum. Tapi, mengapa senyumannya agak aneh gitu ya?

"Senyumanmu menyeramkan!" ucapku jujur.

"Pernah minum satu gelas dengan seorang cowok tidak?"

"Cowok dewasa maksud kamu?"

"He'em." Arfa mengangguk.

"Tidak."

"Tapi kamu baru saja melakukannya." Aku langsung membulatkan wajahku dan memberhentikan kunyahanku. Untung saja aku tidak tersedak lagi.

"Ahahaha" Arfa tertawa sangat puas sekali seperti tidak ada beban di dalam hidupnya. Aku cemberut, mengambil satu potongan pizza lagi, lalu menginjak kakinya dengan kesal dan berbalik. Aku mendengar suara rintihan kesakitan nya namun tidak aku pedulikan.

"Hey! Mau kemana? Bersiap - siaplah kita akan mencari cincin!" Teriak Arfa. Aku masih tidak peduli. Aku masuk ke dalam kamarnya dam membanting pintunya. Ku pastikan Arfa menggerutu dengan sikapku ini. Lihatlah... Kelakuanku sudah seperti istri yang sedang ngambek dengan suaminya.



To be continue....



Park Hyun Raa

MY DESTINYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang