Chapter 5. Bersyukur

6K 456 84
                                    

Sebelum kita lanjut, aku mau nanya. Kalian kalau baca cerita dengan logat orang Medan bisa gak sih? Ada kesusahan gak? Nyambung gak? Dapat gak intonasinya? Komen dong tolong~!

Klik 🌟 dan KOMEN ya :)

🌧️🌧️🌧️

Tessa sigap mengangkat tangan takut tidak mendapat teman. "Cuma Tessa?" Ibu guru masih memerhatikan.

Kemudian ibu itu tersenyum setelah melihat ada murid yang mengangkat tangan lagi. "Ah... Tessa dengan Shenan."

Mata Tessa spontan melebar. "Shenan?" Ia melihat ke pojok kanan dan berucap pada gurunya, "Bu, saya gak mau sekelompok sama Shenan. Yakale Bu, saya sekelompok sama hantu. Diam-diam bae dia Bu."

Mendengar protesan Tessa, beberapa murid yang tidak terima pun mulai bersuara.

"Saya juga Bu. Saya gak mau sama Rio."

"Saya mau sama dia Bu."

"Bu saya jangan sama dia dong Bu."

Ibu tersebut menggaruk kepalanya. "Kenapa kamu gak mau sama Shenan?"

"Aduh Bu, dia itu.... Aduh gimana ya bu, susah bet jelasinnya."

Shenan sedari tadi menunduk. Menyembunyikan wajahnya yang seperti debu bagi Tessa. Entah mengapa gadis berseragam ketat itu tidak suka pada Shenan. Jika ditanya, pasti alasannya karena Shenan seperti hantu atau kadang seperti tembok.

Shenan akui dirinya memang tidak suka berbicara berlebihan. Ia lebih suka menjadi pendengar. Bukan apa-apa, Shenan tidak bisa berbasa-basi pada orang baru. Shenan butuh waktu beradaptasi pada lingkungan baru. Dan saat itu, kelas satu SMA, Tessa terlalu terburu dalam mendekatinya hingga Shenan gugup dan kehabisan topik. Entah bagaimana ceritanya, seisi kelas mulai menjauhi Shenan. Mungkin juga karena mereka melihat ia bukan orang berada. Entahlah, Shenan malas memikirkannya.

"Yasudah kalau begitu. Ibu buat kelompok baru. Anggota kelompok kalian adalah sebangku kalian. Dan untuk Rio bergabung dengan Tessa dan Tiwi. Sudah paham? Selamat siang."

***

Shenan melepas sepatu usangnya yang sudah sedikit menganga di depan dan meletakkannya di depan pintu kayu lapuk. Menyibakkan kain panjang sebagai penutup kamarnya, Shenan meletakkan tas sekolahnya lantas keluar dari kamar.

"Ma, Shenan pulang!" Shenan mencari mamanya .

Shenan mencari ke dapur namun tak mendapati sosok itu. Mama kemana ya?

"Eh, anak mama udah pulang."

Shenan memutar badan setelah mendengar suara dan berlari kecil ke arahnya. "Udah Ma."

Tatapan Shenan beralih ke tumpukan kain yang sedang Iruth-mama Shenan peluk.

"Mama habis keliling rumah tetangga ya?" Iruth tersenyum sebagai jawaban.

Spontan Shenan mengambil alih tumpukan kain dari pelukan Iruth dan memeluknya erat. "Sini, biar aku aja yang nyuci Ma."

"Jangan Nak. Biar Mama aja. Kamu pasti capek baru pulang sekolah, kan? Udah sana makan dulu."

Selepas mengelus rambut sepunggung Shenan, Iruth mengambil kembali tumpukan kain tersebut lalu pergi ke belakang meninggalkan Shenan yang masih setia berdiri.

Ia berjalan ke dapur dan mengisi piringnya. Ketika tudung saji dibuka, Shenan tersenyum. Syukurlah ia dan orang tuanya masih bisa makan hari ini. Ia mengambil tiga potong tempe, berdoa, dan menyelesaikan aktivitas makan siangnya.

Saat sedang mencuci piring terdengar ketukan pintu. Ia berteriak dari tempatnya. "Ma, ada yang ketuk pintu."

"Tolong bukain ya Nak."

Shenan mengelap bekas air di tangannya ke kain lap dekat situ sebelum beranjak.

"Ada apa ya, Bu?"

"Ini uang cucian baju saya minggu kemarin. Utang saya sudah lunas. Tolong bilang sama mama kamu ya?" Gadis itu menerima dua lembar uang kuning. Lama ia menatap lekat uang tersebut.

Tess...

Air matanya terjatuh ke atas uang itu. Ternyata hasil dari jerih payah mamanya berkeliling mencari tetangga yang perlu jasa cuci, membawa tumpukan baju tersebut sampai rumah, mencuci sampai bersih hingga dijemur hanya dibayar dengan sepuluh ribu. Itu pun tidak dibayar saat itu juga.

Kini Shenan menatap punggung mamanya yang tak sekuat dulu. Ia tersenyum miris. Dia anak satu-satunya namun belum bisa membantu kedua orangtuanya.

"Siapa Nak?" Shenan buru-buru mengapus cairan bening yang tersisa di wajah lalu tersenyum seperti biasa. "Ini Ma. Ibu sebelah bayar utang cucian minggu lalu."

"Yasudah, itu biar saja menjadi uang jajanmu besok Nak."

Tertegun Shenan mendengarnya. Shenan juga gadis yang mulai beranjak dewasa. Ia ingin membeli sesuatu yang biasa kaum hawa beli.Shenan tersenyum kemudian menyerahkan uang itu. "Enggak Ma. Aku gak suka jajan di sekolah." Terpaksa shenan beralibi.

"Kamu yakin, Nak? Udah beberapa minggu kamu menolak diberi uang jajan loh."

Shenan sangat yakin. Ia tidak ingin menambah beban mereka dengan memikirkan berapa uang yang harus mereka siapkan hanya untuk dirinya jajan. Toh, setelah pulang sekolah ia langsung balik ke rumah.

Gadis yang masih berpakaian seragam sekolah tersebut bergerak ke belakang. "Ma, aku bantuin nyucinya ya?" kemudian Iruth spontan menghadang. "Eh, jangan Nak. Biar mama aja yang kerja. Kamu tidur siang aja sekarang. Jangan lupa bajunya diganti dulu, ya."

Inilah yang sangat disyukuri oleh Shenan. Tuhan memberi izin dirinya dilahirkan oleh malaikat tak bersayap seperti Iruth. Meski jika boleh jujur Iruth tidak sewangi aroma parfum di luar sana, ia tetap sangat mencintai wanita berbau bawang tersebut.

"Okidoki Mama." Shenan mencubit gemas pipi Iruth lalu berlari ke kamarnya.

TBC...

Hola, Shenan bilang jangan lupa Voment loh ya ❣️

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hola, Shenan bilang jangan lupa Voment loh ya ❣️

ShenuelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang