"Mau kemana, bang?" Laki-laki yang sedang bermain laptop di meja makan, menegur temannya yang baru saja keluar dari kamar dengan penampilannya yang rapi, lengkap dengan tas ransel di punggungnya.
"Kepo, kamu!" Katanya sambil mengunci pintu kamar.
"Loh, harus kan, bang? Kalau bukan aku yang kepoin abang, siapa lagi? Kalau bukan kita yang saling memperhatikan, siapa lagi? Kita kan belum punya istri."
"Dasar kamu, Mar. Ujung-ujungnya ke situ lagi. Kuliah saja dulu, yang bener! Masih maba nganggur juga! Kamu mau nafkahin anak orang pake apa?"
"Ya pake cinta-lah, bang," Mahasiswa semester 2 yang bernama Umar ini memang memiliki pribadi yang humoris. Dia berasal dari Padang.
Laki-laki yang dipanggilnya abang ini tertawa kecil mendengar ocehan Umar. Dia adalah Ali Zain. Mahasiswa fakultas peternakan semester 4 yang diamanahi sebagai imam di rumah itu, tepatnya di rumah kontrakan mereka yang dihuni oleh 6 orang yang semuanya laki-laki.
"Memangnya makan cinta bisa kenyang?"
"Bercanda, bang," katanya sambil cengengesan. "Bang Ali belum jawab, mau kemana serapi dan segagah ini? Ini udah malam loh, bang!"
"Kira-kira mau kemana?" Ali malah balik bertanya.
"Mau khitbah ukhti, ya?"
Ali kembali tertawa, disusul Umar yang juga ikut ketawa.
"Amin..., doakan saja!" kata Ali sambil geleng-geleng kepala, tidak habis pikir dengan laki-laki bertubuh kecil yang sudah dianggapnya adik sendiri. "Tapi belum dulu, Mar. Aku mau ke masjid al-aqso dulu, buat liqo."
"Oh, liqo toh!"
"Udah, ah. Aku berangkat sekarang. Lama-lama ngobrol sama kamu bisa-bisa bikin aku galau."
Umar hanya tersenyum.
"Hati-hati di rumah, ya! Assalamualaikum," kata Ali kemudian meninggalkan Umar.
"Waalaikumsalah warahmatullah... hati-hati, bang! Jangan lupa pulangnya bawa gorengan." Umar setengah berteriak karena Ali sudah berjalan keluar rumah. Tapi dia yakin, kalau Ali pasti masih mendengarnya.
Beberapa menit kemudian, seorang laki-laki turun dari lantai 2. Letak tangga di rumah itu persis di dekat meja makan. Umar masih sibuk dengan laptopnya dan hanya melihat sesaat siapa yang baru saja turun dari tangga yang kemudian membuka kulkas.
"Ngerjain apa kamu, Mar? Sibuk amat." Laki-laki itu duduk di meja makan, persis di depan Umar setelah mengambil susu kotak dari dalam kulkas.
"Tugas, bang."
"Kok sepi sih? Yang lain belum pada pulang, ya?" Seteguk susu sudah turun ke tenggerokannya.
"Bang Ali baru saja pergi, katanya mau liqo. Kalau bang Hisam emang belum pulang sih, siapa tau dia langsung ke al-aqso. Kan satu halaqoh sama bang Ali. Kalau bang Salman, kayaknya ada di kamarnya. Nah, kalau si Akbar, aku kurang tau bang. Dia belum pulang. Emang ada apa bang Farid nanya keberadaan semua akhi-akhi tampan di rumah ini?"
Farid tersenyum mendengar guyonan Umar. Dia kemudian mejawab.
"Aku laper, Mar."
"Aku udah masak kok, bang. Jangan nunggu makan ramai-ramai, kalau laper makan aja!"
"Iya, apalagi si Ali, Hisam sama Akbar nggak di rumah. Kita makan, yuk!" Farid berdiri dari duduknya.
"Kalau nggak bisa makan sendirian, mending cari istri, bang! Supaya ada yang nemenin makan." Umar kembali menggoda, kali ini Farid yang jadi sasarannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ya Akhi Ya Ukhti
SpiritualCerita ini hanya fiktif belaka. Menceritakan tentang kehidupan dari sekelompok mahasiswa dan mahasiswi dari salah satu kampus ternama di kota Makassar. Mereka adalah orang-orang yang dijuluki akhi-akhi dan ukhti-ukhti oleh teman-teman di kampusnya k...