L for L.O.V.E (L.O.V.E SERIES)

Jinki

***

Orang bilang, cinta tak harus memiliki

Tapi,, apa berarti aku tak bisa memilikimu?

Tak bisakah? Walau hanya sekejap mata..

Sama seperti kemarin, dan minggu lalu, dan bulan lalu, dan tahun lalu.

Aku selalu mengharapkanmu, Dubu.

***

Kantung kresek penuh belanjaan ini kutenteng keluar dari convenient store dimana aku berbelanja dihari ini. Berat sekali, tanganku serasa remuk kali ini.

Dibawah langit bermandikan rembulan, aku berjalan pulang menuju apartemenku di distrik Changnyeong ini.

Tak terlalu jauh berjalan, aku berhenti ditepi Nakdong-Gang. Sinar bulan terpantul indah dipermukaan air beriak sungai Nakdong ini.

---

"Jihyun-ah"

"Nee, Jinki-ya?"

"Lihat, itu siapa"

"Nugu?"

"Itu"

"Tiffany sunbae? Kenapa dengannya?"

"Aku... Kurasa aku memendam rasa kepadanya, Jihyun-ah"

"Oh. Begitukah?"

---

Percakapan bodohku dengannya tadi pagi terulang lagi di memoriku. Tak bisakah kau melupakan hal itu Jihyun-ah?

Hatiku dan mataku selalu sesak mengingatnya.

Aku segera menghapus bulir bening yang berhasil lolos dari kedua mataku dan sontak membalikkan badanku.

Tiba-tiba sosok tinggi muncul dihadapanku. Aku terjungkal beberapa langkah kebelakang karenanya.

"K- Kibum? S-Sejak kapan k-kau ada disini?" Ucapku gugup. Dengan pikiran yang kalut, aku berjalan mendahuluinya, dan dia mengikutiku.

"Sedari tadi. Kenapa larut begini masih ada wanita yang menangis sambil melamun ditepi sungai? Kau mau diculik hantu sungai ini?" Skakmat. Kenapa dia tahu bahwa aku menangis?

"kau kenap..." Ucapku terhenti oleh pemandangan didepanku.

Itu Jinki.

Dan Tiffany.

Sedang bergandengan dan tertawa.

Pemandangan indah.

Yang menyakitkan.

Terlalu menyakitkan.

Aku tercekat, termangu. Nyatakah adegan didepanku itu? Aku mengucek mataku beberapa kali, berharap bahwa pandanganku adalah salah. Tetapi nihil, itu tetap Jinki, dan Tiffany. Tanpa disadari, bulir itu keluar lagi.

Jinki.
Sosok yang indah dimataku. Teramat indah,  takkan mampu aku melukiskannya dalam kata-kata. Aku jatuh padanya sejak pertama kali melihatnya. Aku selalu berubah menjadi seorang pecundang didepannya. Pecundang, yang hanya mampu memendam rasa. Tak mampu menunjukannya, jua menyatakannya. Aku hanya mampu menatapi punggungnya yang indah. Menatapi kepergiannya dengan sosok lain.