Kriiiiiing... Kriiiiing...
Ketika aku sedang menikmati hidangan berbuka puasa yang ke 12, menyantap sepiring kolak nangka sedikit asam dengan parutan kelapa diguyur air gula merah dengan wangi serbuk vanili. Walau hawa ingin menyantap hidangan lainnya namun perut ini tidak akan cukup untuk menampungnya.
Dengan segera aku bergegas menghampiri ponsel yang berbunyi. Tak ku sangka bahwa pada jam-jam seperti ini dia menelpon. Dia yang menjalin hubungan denganku 3 tahun yang lalu. Tanganku bergetar, mulut yang sedang menggiling sisa kolak tadi pun ikut terhenti sejenak.
Walau aku tidak menyimpan nomor ini ke dalam kontak, namun aku ingat betul bahwa ini adalah nomor yang dulu selalu menghubungiku setiap pukul 9 malam. Nomor yang dulu selalu mengirim pesan dengan diawali salam. Nomor yang dulu selalu mengingatkanku untuk sembahyang.
Nomor ini kembali muncul setelah 2 bulan yang lalu ia menjadi saksi bisu ketika pesta pertunanganku digelar. Air mata mulai mengaliri pipi ini. Handphoneku tak henti berdering. Perlahan ibu jari menekan tombol hijau dan tanganku mengantarkan handphone ini mendekat ke telinga mungilku.
"Assalamu'alaikum..."
Suara itu... Yaaa... Suara itu tak asing bagiku. Sangat tidak asing. Bibirku seolah membeku untuk berkata. Kilauan mata ini bergilir menuju jari manis yang telah dilingkari cincin permata. Saat itu pula air mataku kembali mengalir semakin deras. Apakah aku harus menjawab salam ini? Tapi mengapa sulit sekali?
"Wa... wa... wa'alaikumsalam..."
Rasanya pita suaraku semakin berat.
"Kenapa lama sekali jawab salamnya? Apa kabar? Aku ada di rumah malam ini. Tadi pagi aku baru pulang dari Tasik. Aku ingin menemuimu walau sebentar. Mumpung waktu belum terlalu larut. Boleh kan?"
Mataku membelalak, menghela napas sedalam-dalamnya. Apakah ia sadar dengan apa yang dikatakannya. Apakah ia lupa bahwa diri ini telah dipersunting oleh laki-laki lain. Apa yang sedang ia pikirkan saat ini? Dengan tiba-tiba dia memintaku untuk menemuinya. Mana mungkin aku bisa melakukannya. Bagaimana aku harus membuat alasan kepada kedua orang tuaku?
Walau dalam hati kecil aku sangat bahagia. Bahkan lebih dari kata bahagia karena sekian lama aku tidak mendengar gema suaranya. Aku tak peduli walau jari manisku sudah terlingkari. Aku akui bahwa air mata ini adalah air mata rindu yang ku bendung selama ini.
Aku tahu aku tak berhak, namun apakah salah jika aku tetap mencintainya? Apakah salah jika aku tetap merindukannya? Sampai saat ini pun aku tidak mengerti dengan diriku sendiri. Aku tidak mengerti dengan keputusanku menerima pinangan pria lain yang belum aku kenal sepenuhnya. Sungguh aku tak mengerti.
"Iyaaa... aku tunggu di tempat biasa. 15 menit lagi aku akan menghubungimu."
Tanpa pikir panjang aku menyetujui permintaannya. Segera kuraih tas putih yang tergantung di sebelah lemari hitam dengan percikan bunga putih. Ku masukkan handphone, jilbab hitam, atasan hijau dan rok hitam favoritku. Tak lupa tas mukena ku gandengkan pada lengan kiriku.
Kata pamit terucap kepada mereka yang mengurusku sejak lahir sampai saat ini. Aku meminta izin akan pergi ke rumah sepupuku. Begitu leganya ketika mereka melontarkan senyum bahwa telah menyetujuku tanpa raut wajah curiga sedikitpun.
Sekitar 3 menit dengan lari sekencang mungkin aku tiba di rumah yang ku tuju. Rere, gadis sebaya sekaligus sepupuku. Dia tinggal bersama ayah dan adik laki-lakinya, karena ibu yang melahirkannya sekaligus bibiku telah pergi ketika kita masih duduk di bangku kelas 6 SD. Kini Rere bekerja di salah satu perusahaan saham ternama di kota Bandung.
KAMU SEDANG MEMBACA
Air Mata Jilbab
General FictionAku butuh bicaramu yang terus terang juga penuh kejujuran apa adanya. Kau menutupi kebenarannya yang ada sehingga kau telah menyakiti hati perempuan yang tak berdaya. Kau terus berkata bijak seakan kaulah yang paling benar di dunia ini. Aku sendiri...