03

71 16 35
                                    

Bab 03

Dira menatap Kaya yang sedang memasukkan sesendok nasi ayam geprek ke dalam mulutnya dari bawah masker yang ditarik ke depan sedikit untuk memberi jalan masuk. Lama-kelamaan ia merasa kasihan pada sahabatnya itu. Sepertinya dari dulu Kaya masih selalu terlihat kesusahan makan dengan posisi masker harus tetap menutupi wajahnya.

Andira Saraswati yang sudah menjadi teman dekat Kaya sejak awal masuk SMP itu berada di kelas 11 IPA 1. Karena jarak kelas mereka yang cukup jauh dan masing-masing sudah mempunyai teman baru jadi dua sejoli itu jarang bertemu. Tapi Kaya tahu betul Dira tak pernah meninggalkannya. Apalagi ketika Dira kebetulan juga ikut pindah ke Bandung, jadi mereka bisa satu SMA. Sebuah kebetulan yang menyenangkan.

Kaya sangat menyayangi Dira, karena cewek tomboy itu adalah satu-satunya orang yang selalu ada di samping Kaya bahkan saat keadaannya sangat buruk. Dira tak pernah meninggalkannya sendiri. Itulah namanya sahabat sejati.

"Lo kemana aja, sih. Kita jadi jarang ketemu akhir-akhir ini. Lo udah dapet temen baru terus lupain gue, ya? Wah, persahabatan macam apa ini," ujar Dira usai meneguk es tehnya.

Kaya terkekeh. Mulai kambuh sisi cerewetnya Dira. "Dira baperan, deh."

Dira tertawa. "Bercanda gue. Gue seneng lihat lo gampang berbaur. Gak kayak dulu apa-apa sama gue. Udah kayak gaada temen lain aja. Sekarang kemana-mana sama Putri, ya. Kalau ga, ya, berempat sama Juna terus sama cowok kacamataan itu. Baguslah."

"Jangan sedih, ya, Dir. Kamu tetep kesayangannya Kaya kok," ujar Kaya sambil mengerjap genit.

Dira sontak bergidik ngeri. "Yek, geli."

Kaya kembali memasukkan sesendok nasi ayam geprek. Walaupun pedas dan kadang kalau mau beli anternya banyak, itu tetap menu favoritnya di kantin. "Btw, kok lo tau Juna?"

"Tau lah. Oh iya, lo waktu kelas 10 gue ajak nonton DBL gamau ya. Gue tau Juna ya pas itu. Banyak yang nge fans setelah Juna masukin 11 poin buat sekolah kita. Awalnya dia pemain cadangan karena masih kelas 10 terus Mas Ziki cedera kan di tengah permainan, nah dia digantiin sama Juna. Ya terus dia beraksi deh. Keren banget bro mainnya. Tiga kali threepoint. Yah, walaupun gak seganteng Azzam, tapi karismanya gak nahan."

Kaya mengangguk paham. Jadi begitu pandangan orang luar soal Juna. Coba Dira berada di posisinya, duduk sebangku dengan Juna. Pasti Dira langsung berubah pikiran, deh. "Azzam? Putri sering banget ngomongin tu orang. Yang mana sih? Gue gak pernah tau."

"Rizky Azzam, anak debat Bahasa Inggris. Tinggi, putih, pinter banget, anak OSIS juga. Ganteng banget deh," jelas Dira sembari mengacungkan jempolnya.

Baru pertama kali si tomboy benar-benar memuji ketampanan cowok. Jika Dira sudah berkata 'tampan' berarti orang itu memang sangat, sangat, tampan. Kaya jadi penasaran seperti apa orangnya.

Kaya mengangguk lagi sembari melanjutkan menghabiskan makan siangnya. Kantin sekolah mereka sudah makin sepi karena matahari semakin turun dan pastinya siswanya sudah pulang ke rumah.

Kemudian, matanya melebar ketika mendengar seseorang menyebut nama seseorang yang sangat, amat, ia kenal. Sumber suara yang menyebut nama itu berasal dari tiga cewek duduk di belakangnya. Mereka juga sedang makan sambil mengobrol. Kaya pun memutuskan untuk diam-diam mendengarkan mereka.

"Pada tau ga Indonesia buat film horor lagi? Judulnya apa gitu lupa gue. Nah, aktris Citra Laili main juga di sana. Pasti ada adegan mesumnya tuh. Secara horor Indonesia biasanya ada adegan gituan terus yang main Citra Laili lagi. Haduh, parah parah."

"Citra Laili? Artis yang kena kasus prostitusi itu?"

"Iya, gila. Ada aja yang mau bayar dia main film lagi secara kemaren imejnya lagi anjlok-anjloknya."

"Gitu-gitu udah punya anak lho gais. Denger-denger seumuran kita. Kira-kira itu hasil dari laki-laki hidung belang yang mana, ya?"

"Lo jahat banget anjir. Hahaha."

Sebulir air mata menetes merembes ke dalam masker Kaya tanpa diminta. Ia langsung meletakkan sendok dan garpu makannya secara perlahan. Lalu menatap kosong ke depan.

Menyadari tingkah Kaya yang tiba-tiba berubah, Dira langsung memindah tempat duduknya untuk mendekat lalu memegang bahunya. "Lo kenapa, Kay? Kok tiba-tiba nangis?" tanyanya lirih.

Kaya tertawa parau. "Anu, ini gepreknya pedes banget. Haaaaah." Kaya tiba-tiba berdiri tapi ketika ekor matanya mendapat nasi ayam gepreknya belum habis, ia kembali duduk dan menghabiskan makanannya. Cari uang itu gak gampang. Apalagi makanan enak bakal rugi kalau tidak dihabiskan.

"Lo kenapa, sih? Gak mungkin lo nangis gara-gara kepedesan. Kalau lo kepedesan lo selalu langsung ke kamar mandi," ujar Dira yang sedang menatap Kaya bingung.

Kaya mengabaikan Dira dan terus makan. Sepertinya Dira tidak mendengar percakapan gadis-gadis yang duduk di belakangnya. Hari ini, Kaya ingin menangis sendiri dahulu. Mungkin baru besok atau nanti malam Kaya bisa menceritakan hal itu kepada Dira.

"Gue mau pulang dulu, ya," ujar Kaya cepat. Ia langsung berdiri dan berlari meninggalkan kantin.

Untuk beberapa detik Dira terdiam di tempat. Menatap sekitar. Lalu baru mengejar Kaya. "Kay! Tungguin gue!"

***

Azzam memasang earphone di telinganya. Lalu menekan tombol untuk memulai pada ipod-nya. Dengan begitu lagu dari band favoritnya, Red Hot Chilli Peppers, berjudul Can't Stop mulai menemani perjalanannya ke kantin.

Pembinaan dari klub debat Bahasa Inggris barusan membuat otaknya panas, lehernya kaku, dan matanya berat. Ia butuh sesuatu yang dapat mengisi perut karetnya.

Ketika ia sedang mengambil ponsel dari saku jaketnya, tiba-tiba seseorang menabrak bahunya. Tidak keras tapi cukup membuat salah satu earphone Azzam lepas.

Laki-laki bertubuh jangkung itu sontak menoleh. Keningnya berkerut melihat seorang gadis berdiri membelakanginya. Ia mundur selangkah ketika gadis itu memutar badannya dan membungkuk cepat.

"So-so-sss-sorry!"

Mata Azzam sempat bertemu dengan mata gadis yang mengenakan masker itu. Ia terdiam mendapati mata gadis itu merah dan air matanya tak berhenti keluar.

"Elo—" Belum sempat Azzam menyelesaikan perkataannya, gadis itu sudah berbalik dan berlari menjauhinya. Ia mematung di tempat, penasaran apa gadis itu tadi menangis?

"Oy, Zam, lo buat cewek nangis lagi, ya?" tanya anak cowok kenalannya yang kebetulan juga hendak menuju kantin dan berpapasan dengan gadis yang menabrak Azzam tadi.

Azzam menghela napas panjang sembari menggaruk rambutnya yang tidak gatal. "Jadi cewek tadi beneran nangis?"

Cowok yang memiliki nama Ardi itu langsung merangkul bahu Azzam dan menuntunnya kembali berjalan ke kantin. "Lo itu pinter tapi suka bego gini masalah cewek. Jelas-jelas tadi dia nangis. Lo apain sih?"

"Enggak gue apa-apain. Tadi gue ga sengaja tabrakan sama dia. Terus tau-tau udah nangis gitu."

Ardi tertawa. "Mungkin dia terlalu bahagia bisa nabrak lo. Saking bahagianya sampe nangis."

"Halah. Alay, Di. Btw, lo belum pulang?"

"Kalau gue masih di sini, berarti belum 'kan? Retoris, Zam. Lo beneran mendadak bego habis ketemu cewek."

"Latihan basket lo udah selesai?"

"Udah, Bro."

"Ooh," ujar Azzam, mengakhiri pembicaraan tak penting dengan Ardi. Ia membiarkan dirinya dituntun Ardi. Dan sesekali ia menolehkan kepalanya ke belakang, mengira-ngira kemanakah cewek tadi pergi.

TBC

Author's Note :

Halo! Gimana chapter kali ini? 

Jangan lupa vote, komen berikan aku kritik dan saran ya. Masukan cerita ini dalam perpus atau Reading List kamu ya! Thankyouu.

Girinssi, 28 Desember 2016.

Masked GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang